Tito Karnavian sebelum menjadi Kepala Polri, masih menjadi Kepala Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme dan berpangkat komisaris jenderal polisi, 1 Juli 2016.

Koran Sulindo – Entah ada apa dengan jajaran Kepolisian Republik Indonesia. Dalam beberapa bulan terakhir ini, publik kerap sekali mendengar kata “kesulitan” dari mereka. Pada Jumat ini saja (3/11), pihak Kepolisian Daerah (Polda) Metro Jaya mengaku kesulitan dalam melakukan penyelidikan terkait kasus reklamasi pantai utara Jakarta. Menurut Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Argo Yuwono, pihaknya berencana menelusuri izin dan mengumpulkan data-data terkait reklamasi sejak 1995. Jadi, hingga saat ini, penyelidikan masih terus berjalan.

Ia mengaku, sampai penyidik menemukan titik terang dari kasus itu, dirinya belum bisa menyampaikan apa-apa. “Ini kan masih penyelidikan, tunggu saja,” tuturnya, seperti dikutip Republika. Menurut Argo, kesulitan dalam penyelidikan adalah hal yang biasa dihadapi oleh penyidik pada setiap kasus. “Ya namanya penyelidikan tentu ada kesulitan. Kesulitannya kan tidak mungkin diketahui untuk umum.”

Beberapa hari lalu, 1 November 2017, Kepala Badan Reserse Kriminal Mabes Polri Komisaris Jenderal Polisi Ari Dono Sukmanto juga menyatakan, Polri kesulitan mengungkap kasus penyerangan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan, yang terjadi sekitar enam bula lalu. Karena, katanya, keadaan di lapangan dan jenis kriminal-nya relatif sulit ditangani. “Jadi itulah yang saya sampaikan, kalau model kasus-kasus hit and run ini memang relatif sulit, dalam arti bukan kami tidak bisa, bisa saja, ini baru berapa bulan,”  ungkap Ari Dono di Bareskrim Polri, Jakarta.

Menurut dia, untuk sejumlah kasus perlu waktu bertahun-tahun untuk pengungkapannya. Karena, sulitnya kondisi di lapangan. “Ada yang sudah empat tahun baru ketangkap pelakunya,” ujarnya.

Dalam kasus Novel, puluhan saksi telah dimintai keterangan. Tapi, menurut Ari Dono, hingga kini belum ada keterangan signifikan yang memberikan titik terang untuk mengungkap penyerang Novel Baswedan. “Sekian puluh saksi yang sudah dimintai keterangan tapi belum bisa menunjukkan satu peristiwa itu sehingga jalannya seperti ini, sehingga siapa yang kita harus mintai pertanggungjawaban, jadi sementara saksi-saksi ini, setiap ada informasi pasti kami kejar,” kata dia.

Pada September 2017 lalu, polisi juga mengaku kesulitan memberantas aksi premanisme di Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK) Senayan, Jakarta Pusat. Alasannya: masyarakat yang dirugikan atau korban tidak ada yang melapor. “Iya, mesti [buat laporan], harus ada yang dirugikan, itu kan delik aduan. Mengamankannya sering kami lakukan. Tapi, begitu kami meminta lapor, tak mau. Itu kesulitan kami,” kata Kepala Polres Jakarta Pusat Kombes Polisi Suyudi Ario Seto, 26 September 2017 lalu.

Dijelaskan Suyudi lebih lanjut, polisi kerap mengamankan preman dari kawasan GBK. Misalnya pada 22 September lalu, polisi meringkus empat orang preman. Toh, katanya, masyarakat yang merasa dirugikan akibat aksi premanisme harus membuat laporan sehingga polisi bisa menindak pelaku.

Selain itu, lanjutnya, ada kesalahan komunikasi dengan pihak pengelola. Ia berharap pengelola GBK bisa bekerja sama membantu kepolisian memberantas aksi premanisme di sana, mengingat polisi tidak bisa sembarangan bertindak dalam sebuah kawasan yang dikelola oleh pihak tertentu.

Lalu, Agustus 2017 lalu,  Tim Penyidik Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri juga mengaku kesulitan mengungkap pihak yang pernah memesan ke kelompok Saracen untuk menyebarkan ujaran kebencian bernuansa suka, agama, ras, dan antar-golongan, serta hoaks.

Dijelaskan Kepala Bagian Mitra Divisi Hubungan Masyarakat Polri Komisaris Besar Awi Setiyono, penyidik belum cukup bukti mengungkap siapa pemesan dan kapan ada pemesanan. Saat ini baru ada bukti proposal yang mengindikasikan petunjuk adanya pemesan. Proposal itu disiapkan oleh kelompok Saracen untuk menawarkan paket penyebaran ujaran kebencian.

Penyidik, kata Alwi lagi, juga akan menelusuri transaksi pelaku, baik melalui bank maupun secara tunai. “Tidak semudah membalikkan telapak tangan dan perlu waktu untuk melengkapi alat buktinya,” tutur Awi di Mabes Polri, Jakarta Selatan, 25 Agustus 2017.

Mengungkap pemesannya, tambahnya, tidak mudah karena menyangkut dunia maya dan transaksi-transaksinya tidak semua melalui dunia maya. “Ada kopi darat, Penyidik sedang melacak transaksi-transaksinya itu,” katanya. [RAF]