Bung Karno

Koran Sulindo – Munculnya politik konfrontasi terhadap Malaysia pada 1960-an bukanlah tanpa sebab. Bung Karno pada masa itu menentang keputusan pembentukan Federasi Malaysia yang digagas oleh imperialisme Inggris. Malaysia akan tetapi berkeras dan menganggapnya sebagai urusan dalam negeri. Di lain pihak, Bung Karno menilai pendirian Federasi Malaysia sebagai proyek imperialisme Inggris yang membahayakan Revolusi Indonesia.

Tanpa mempedulikan pandangan Bung Karno, Federasi Malaysia berdiri melalui jajak pendapat pada 16 September 1963. Mengetahui hal tersebut, Bung Karno murka. Ia merasa jajak pendapat tersebut hanya akal-akalan kaum imperialisme Inggris untuk mendirikan negara boneka untuk mengepung wilayah Republik. Federasi tersebut mencaplok Kalimantan Utara dan Singapura. Seperti di Timur Tengah, jazirah Arab, dan Israel, Inggris melalui Kuala Lumpur disebut membentuk jaringan imperialismenya di Asia Tenggara.

Bersama dengan Amerika Serikat (AS), Inggris ingin membantu kantung-kantung koloninya untuk mencegah kemerdekaan negara-negara Dunia Ketiga dan sosialisme dari Indonesia, Vietnam dan Myanmar. Tujuan utama dari politik neo-kolonialisme dan imperialisme ini adalah untuk membuat negara-negara yang baru merdeka secara politik tetap bergantung secara ekonomi kepada AS sekutunya. Dengan demikian, akumulasi modal negara-negara imperialis itu tetap berputar.

Sehari setelah pendirian Federasi Malaysia itu, Bung Karno memutuskan hubungan diplomatik dengan Kuala Lumpur. Dari situ ia kemudian mencetuskan politik konfrontasi dengan Malaysia. Sikap politik konfrontasi itu kemudian tersebar ke seluruh penjuru negeri melalui pidatonya yang tersohor itu:

“Ancik anciko Gunung Semeru. Maburo kaya manuk Branjangan. Kopat kapito kaya tatit. Iki dadaku, endi dadamu Abdurahman.”

Pidato Bung Karno dalam bahasa Jawa pada 1963 itu merujuk kepada Perdana Menteri Malaysia (Tengku Abdul Rachman) mengundang tepuk tangan bergemuruh dan gempita dari rakyat dalam menyikapi permasalahan dengan Malaysia. Ia kemudian melanjutkan:

“Kalau Malaysia mau konfrontasi ekonomi, Kita hadapi dengan konfrontasi ekonomi. Kalau Malaysia mau konfrontasi politik, Kita hadapi dengan konfrontasi politik. Kalau Malaysia mau konfrontasi militer, Kita hadapi dengan konfrontasi militer!”

“Amerika kita setrika. Inggris kita linggis.”

Sebelum pendirian federasi tersebut, tiga negara yakni Indonesia, Filipina bersama Malaysia sempat membahasnya. Sesungguhnya yang paling berkepentingan dari wilayah-wilayah itu adalah Filipina. Indonesia sejak awal tidak mau ikut campur terhadap rencana pencaplokan wilayah Kalimantan Utara oleh Kuala Lumpur. Pasalnya, wilayah Sabah dan Sarawak awalnya merupakan daerah kekuasaan Kesultanan Sulu (Filipina Selatan). Presiden Diosdado Macapagal protes terhadap pencaplokan Sabah dan Sarawak itu. Apalagi daerah itu dulunya disewa Inggris dari Sultan Jamal Alam dari Sulu.

Setelah masa sewa habis, justru Malaysia mengancam akan mengobarkan perang untuk mendapatkan hak atas Sabah dan Sarawak. Dari situ, Malaysia mengancam Filipina agar tidak memasuki wilayah Kalimantan Utara. Tidak hanya pada Filipina, hal serupa juga terjadi pada rakyat Brunei. Pada waktu itu, Partai Rakyat Brunei yang dipimpin Kapten Azhari (pernah berjuang dalam revolusi kemerdekaan Indonesia) memenangi 54 kursi dari 55 kursi pemilihan umum distrik di Kalimantan Utara pada Agustus 1962. Kemenangan itu akan tetapi ditolak pemerintah Kuala Lumpur. Sebagai antek Inggris, Kuala Lumpur justru menuduh Azhari sebagai pemberontak dan kaki tangan Soekarno. Padahal, Azhari sama sekali tidak berhubungan dengan Indonesia. Ia justru acap berkomunikasi dengan Wakil Presiden Filipina Immanuel Palaez.

Protes Ali Sastro

Tuduhan ini lalu memicu protes dari Ketua Umum Partai Nasional Indonesia (PNI) Ali Sastro yang pernah menjadi Perdana Menteri pada era Konferensi Asia Afrika pada 1955. Ali mengatakan, kendati Indonesia tidak tahu menahu persoalan di Kalimantan Utara, tapi jikalau perjuangan itu merupakan perlawanan terhadap imperialisme, maka Indonesia akan mendukung. Menanggapi pernyataan Ali itu, PM Malaysia malah balik membentak Indonesia agar tidak mencampuri urusan Kalimantan Utara.

Tentu saja sikap Malaysia itu terang membuat Bung Karno marah. Di depan Konferensi Pers Wartawan Asia Afrika pada April 1963 di Jakarta, Bung Karno mengatakan: “Perjuangan rakyat Serawak, Brunai dan Sabah, adalah bagian dari perjuangan negara-negara the new emerging forces yang membenci penghisapan manusia oleh manusia.”

Kemudian, keberadaan pangkalan militer asing yang ditujukan antara lain menentang Indonesia dan juga New Emerging Forces (Nefos) di Asia Tenggara juga menjadi persoalan tersendiri jika Federasi Malaysia tetap berdiri. Itu sebabnya ketiga negara mengadakan beberapa kali perundingan yang dilaksanakan mulai April hingga September 1963. Meski telah bertemu beberapa kali, Perdana Menteri Malaysia Tengku Abdul Rachman waktu itu tetap menandatangani dokumen pembentukan negara Federasi Malaysia di London. Keputusan tersebut sempat membuat Malaysia bersitegang dengan Indonesia dan Filipina.

Untuk meredakan ketegangan, pemerintah Malaysia bersedia kembali bertemu dengan pihak Indonesia dan Filipina. Pertemuan kemudian diselenggarakan di Manila pada 3 Juli hingga Agustus 1963. Pertemuan itu menghasilkan Deklarasi Manila, Persetujuan Manila dan Komunike Bersama. Selain menghasilkan beberapa perjanjian itu, Bung Karno dan Macapagal dalam pembicaraan empat mata sepakat mengeluarkan doktrin yang dikenal Doktrin Soekarno-Macapagal yang isinya: “Urusan Bangsa Asia diselesaikan oleh Bangsa Asia sendiri”.

Kelahiran doktrin ini menggemparkan London. Apalagi pada waktu itu Inggris sedang merancang Federasi Malaysia yang akan mencaplok Kalimantan Utara yang tujuan utamanya untuk menentang Indonesia. Merasa didahului, agen Inggris dan Melayu menyebarkan isu bahwa pembentukan Federasi Malaysia selambat-lambatnya akan diresmikan pada 31 Agustus 1963. Padahal, salah satu isi Persetujuan Manila menyebutkan bahwa Indonesia dan Filipina akan menyambut baik pembentukan Federasi Malaysia apabila dukungan rakyat di daerah Borneo diselidiki oleh otoritas yang bebas dan tidak memihak yakni Sekretaris Jenderal PBB atau wakilnya.

Rumors yang disebar agen Inggris dan Melayu itu sepertinya mengabaikan perjanjian tersebut. Malaysia bahkan mengabaikan protes Indonesia, bahkan Inggris meningkatkan jumlah tentaranya di Malaysia menjadi 50 ribu pasukan. Dengan demikian, Inggris dan Malaysia seakan-akan sudah siap menghadapi politik konfrontasi Indonesia. London juga membujuk AS agar masuk ke Asia Tenggara sekaligus mendorong agar Pakta ANZUS (Australia, New Zealand, United States) memberi dukungan atas kemungkinan perang Inggris – Indonesia di Kalimantan Utara.

Bung Karno Berang

Memang Malaysia kemudian meresmikan negara Federasi Malaysia pada 16 September 1963 tanpa menunggu hasil penyelidikan dari misi PBB. Itu sebabnya, Bung Karno berang dan menuduh Malaysia melanggar perjanjian bersama itu. Rakyat di Jakarta menyambut dengan gemuruh pidato Bung Karno tentang konfrontasi dengan Malaysia. Rakyat menggelar demonstrasi besar-besaran di Keduataan Besar Malaysia di Jakarta. Tak mau berdiam diri. Rakyat Malaysia juga melakukan hal serupa di depan Kedutaan Besar Indonesia di Kuala Lumpur. Hubungan kedua negara benar-benar putus pada 17 September 1963.

Sejak itu hubungan kedua negara memanas. Bung Karno sebagai kepala negara dan Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata kemudian berpidato mengenai Dwikora. Isi pidato itu antara lain memperhebat revolusi Indonesia, membantu perjuangan revolusioner rakyat Malaya, Singapura, Sabah, Serawak dan Brunei untuk membubarkan Negara Boneka Malaysia. Untuk menggagalkan pembentukan Negara Federasi Malaysia itu pemerinta melakukan beberapa tindakan seperti mengadakan konfrontasi senjata dengan Malaysia; membentuk sukarelawan yang terdiri atas Angkatan Bersenjata dan rakyat; dan  mengirimkan sukarelawan ke Singapura dan Kalimantan Utara, wilayah Malaysia melalui Kalimantan untuk melancarkan operasi terhadap Perang Persemakmuran Inggris.

Politik konfrontasi dengan Malaysia memang kompleks. Tentu saja sikap Bung Karno ketika itu tidak bisa dilepaskan dari situasi global yang sedang dilanda Perang Dingin. Berbagai negara mulai dari AS bersama sekutunya hingga negara-negara sosialis seperti Uni Soviet dan Tiongkok punya kepentingan besar terhadap Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura dan negara-negara Asia Tenggara lainnya. Sikap politik Bung Karno pada waktu itu menjadi bukti bahwa Republik benar-benar ada selepas proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. pembentukan Poros Jakarta-Hanoi-Peking juga membuat berbagai negara resah termasuk Uni Soviet. Kemudian siapa yang tidak gentar dengan terselenggaranya Konferensi Asia Afrika dan pembentukan Nefos.

Itu sebabnya, mengapa Barat begitu getol menjatuhkan Bung Karno. Ia dianggap berbahaya dan sebagai hambatan bagi perluasan neo-kolonialisme dan imperialisme Barat. Bung Karno karena itu menjadi bahaya besar bagi AS dan sekutunya. Bahkan dianggap bahaya besar ketimbang Uni Soviet dan Tiongkok. Pasalnya, politik Bung Karno berusaha memutus secara total ketergantungan Indonesia terhadap negara-negara kapitalis. Ia tidak mau menjual konsesi-konsesi sumber daya alam Indonesia karena itu sama saja dengan kolonialisme.

Pembebasan Irian Barat

Tidak mudah memang menjadi pemimpin seperti Bung Karno yang anti-kolonialisme dan imperialisme. Politik konfrontasi yang gencar dikampanyekan pada waktu itu juga mendapat tentangan dari dalam negeri. Dengan kata lain, Bung Karno waktu itu “dihajar” dari luar dan dalam. Bung Karno akan tetapi berkeras. Satu-satunya cara agar Indonesia merdeka secara politik dan ekonomi, maka harus menghajar AS dan Inggris. Selain politik konfrontasi dengan Malaysia yang dikenal dengan sebutan “Ganyang Malaysia”, Bung Karno juga sibuk mengkampanyekan politik konfrontasi dengan Belanda untuk membebaskan Irian Barat.

Kendati Republik sudah memproklamirkan kemerdekaan pada Agustus 1945, Belanda mau mengakui kemerdekaan Indonesia. Belanda baru mau mengakui kedaulatan Indonesia pada 1949. Itu sebabnya tidak usah heran mengapa mereka tidak mau melepaskan Irian Barat sejak 1945. Karena kemerdekaan Indonesia saja baru diakui setelah empat tahun setelah 1945. Belanda beralasan bahwa pulau itu dan suku-sukunya memiliki budaya yang berbeda. Sejak itu Bung Karno merancang misi untuk membebaskan Irian Barat dari kekuasaan Belanda.

Bung Karno memulai upaya pembebasan Irian Barat dengan cara bernegosiasi secara langsung dengan Belanda. Upaya itu akan tetapi gagal. Indonesia lantas menggalang dukungan di Majelis Umum PBB. Lagi-lagi upaya tersebut menemui jalan buntu.

“Awalnya ini merupakan upaya yang sia-sia,” kata Clarice Van den Hengel,  peneliti dan ahli Indonesia berbasis di Den Haag, Belanda ketika berbincang dengan RBTH pada akhir Januari lalu. “Amerika Serikat yang telah membentuk NATO awalnya mendukung Belanda, dan Stalin sama sekali tidak peduli dengan Indonesia.”

Bung Karno secara politik memiliki kecenderungan sosialis. Ia kemudian memulai kunjungan pertamanya ke Moskow pada 1956. Di sana ia membahas masalah Indonesia dengan Belanda yang kemudian disebut sebagai “Sengketa Irian Barat”. Dengan kata lain, ia menempuh jalur konfrontasi dengan Belanda.

Pemimpin Uni Soviet, Nikita Khrushchev yang mendukung gerakan anti-kolonial di Asia dan Afrika menyatakan dukungannya kepada Indonesia yang waktu itu sedang menggalang dukungan di PBB. Soviet mulai memberi bantuan militer kepada Indonesia. Bantuan itu berupa satu kapal penjelajah, 14 kapal perusak, delapan kapal patroli antikapal selam, 20 kapal rudal dan beberapa kapal torpedo bermotor dan kapal meriam serta kendaraan-kendaraan lapis baja dan ampifibi, helikopter, dan pesawat pengebom.

Bantuan persenjataan ini diberikan dari akhir 1950-an hingga ujung kekuasaan Bung Karno pada 1966. “Situasi menjadi berubah karena itu,” kata Hengel, “Tidak ada yang mau berurusan dengan militer Indonesia yang dilengkapi dengan persenjataan modern.”

Sejak itu, Indonesia menerapkan politik konfrontasi terhadap Belanda pada 1960. Konfrontasi ini melibatkan tekanan diplomatik, politik, ekonomi dan kekuatan militer secara terbatas. Puncaknya, konfrontasi ini memaksa Indonesia menggunakan kekuatan militer secara penuh yang berisiko melibatkan Amerika Serikat campur tangan untuk membantu sekutu NATO mereka.

Pada 4 Mei 1963, Bung Karno berpidato di Kota Baru, Jayapura:

“…Dan apa yang dinamakan tanah air Indonesia? Yang dinamakan tanah air Indonesia ialah segenap wilayah yang dulu dijajah oleh pihak Belanda, yang dulu dinamakan Hindia Belanda, yang dulu dinamakan Netherlands Indië. Itulah wilayah Republik Indonesia. Dengar-kan benar kataku, itulah wilayah Republik Indonesia. Itu berarti bahwa sejak 17 Agustus 1945 Irian Barat telah masuk di dalam wilayah Republik Indonesia. Apa yang belum terjadi? Karena penjajah Belanda di Irian Barat sesudah proklamasi itu masih berjalan terus, maka Irian Barat belum kembali termasuk di dalam wilayah kekuasaan Republik Indonesia. Sehingga kita punya perjuangan yang lalu ialah Saudara-Saudara perhatikan benar-benar, bukan memasukan Irian Barat ke dalam wilayah kekuasaan Republik Indonesia. Kesalahan ini masih kadang-kadang dibuat. Orang masih berkata, berjuang memasukan Irian Barat kembali ke dalam wilayah kekuasaan Republik Indonesia. Tidak! Irian Barat sejak 17 Agustus 1945 sudah masuk dalam wilayah Republik Indonesia. Orang kadang-kadang berkata, memasukan Irian Barat ke dalam wilayah Ibu Pertiwi. Salah! Tidak! Irian Barat sejak daripada dulu sudah masuk ke dalam wilayah kekuasaan Republik Indonesia…”

Selama masa puncak konfrontasi, Menteri Luar Negeri Indonesia Subandrio yang fasih berbahasa Rusia terbang ke Moskow untuk meminta dukungan Soviet. Pemimpin Soviet Khrushchev merekam pertemuannya dengan Subandrio dalam memoarnya.

“Saya bertanya kepada Subandrio: ‘Seberapa besar kemungkinan kesepakatan bisa tercapai,” tulis Khrushchev.

“Ia menjawab: ‘Kecil kemungkinannya.’ Saya katakan, ‘jika Belanda tidak rasional dan memilih perang, ini merupakan perang dalam batas tertentu dan bisa menjadi pembuktian terhadap pilot-pilot pesawat kami yang dilengkapi dengan rudal. Kita akan lihat bagaimana rudal kami bekerja,” kata Khrushchev.

Setelah berbicara dengan Subandrio, Khrushchev heran mengapa hasil pembicaraan yang seharusnya rahasia kemudian disampaikan kepada AS. Memang Soviet secara terbuka mendukung Indonesia dalam sengketa Irian Barat dan AS nampaknya tidak ingin terlibat dalam konfrontasi yang berpotensi menimbulkan Perang Dunia.

Menurut Van den Hengel, itu merupakan saat-saat terakhir Belanda di Irian Barat. Selain tidak ingin terlibat perang secara langsung dengan Soviet, AS tidak ingin dituduh sebagai pendukung negara kolonial Eropa terhadap negara-negara Dunia Ketiga yang baru saja merdeka. [Kristian Ginting]