Secara umum, perhatian TK terhadap wartawan yang suda dikenalnya itu sangat emosional. Ada banyak yang Andus ketahui bagaimana TK menanyakan keluarga dan memberikan perhatian terhadap teman-teman wartawan. Terhadap wartawan Suara Karya Saul De Orne, TK hampir sama perlakuannya sebagaimana dengan Andus. Dia bahkan sempat dipinjamkan rumah di Tebet beberapa tahun karena TK saat itu melihat dia pindah-pindah kontrakan untuk keluarganya di Jakarta. Dalam perjalanannya, TK juga yang menikahkan dengan Saul dengan seorang wartawan Suara Pembaruan Erri Siahaan.

Cerita lain yang juga menunjukkan bagaimana humanisnya TK adalah waktu sedang kunjungan di daerah dalam posisinya sebagai anggota DPR saat itu. Salah satu rombongan yang ikut adalah Nazaruddin dari Suara Merdeka. Saat posisi sudah sampai di Buton, Sulawesi Tengah, Nazaruddin ditelepon oleh keluarganya yang melaporkan anaknya sakit keras. Karena posisinya sedang ikut rombongan TK, Nazaruddin menyampaikan informasi itu. TK seketika itu juga langsung telepon ke Jakarta dan meminta stafnya untuk mengurus secepatnya anak Nazaruddin ke rumah sakit. Jadi begitu cepat TK merespons ketika mengetahui salah seorang wartawan anaknya dalam kondisi sakit. Berkali-kali TK menelepon stafnya untuk memastikan apakah anak Nazaruddin sudah dibawa ke rumah sakit atau belum. Setelah ada kepastian stafnya sudah membawa ke rumah sakit, TK meminta Nazaruddin agar pulang untuk menemani dan mengurus anaknya.

Komunikasi TK dengan wartawan sangat intensif. Ketika TK sudah duduk di DPR saat Pemilihan Umum 1987, wartawan yang meliput di DPR hampir setiap hari ke lantai sembilan. Selain TK, di ruangan tersebut juga menjadi ruangan rekan separtai di Komisi I DPR, seperti Sabam Sirait, Marsel Beding, BN Marbun, dan Sophan Sophiaan. Ruangan itu kelak ditempati TK sebagai Ketua MPR.

Kalau kongko dengan wartawan, TK sudah terbiasa seharian menghabiskan waktu hanya untuk ngobrol, mulai dari obrolan santai hingga soal politik. Karena dulunya TK merupakan perokok berat, ruangannya tidak pernah sepi dari wartawan. Apalagi, saat itu memang sudah banyak wartawan yang merasa sepikiran dengan TK untuk melawan hegemoni kekuasaan Orde Baru.

Pribadi TK yang merakyat dan hangat juga dirasakan oleh Haryono, wartawan senior Merdeka yang kemudian menjadi Rakyat Merdeka. Hampir tidak ada teman-teman wartawan yang merasakan adanya perbedaan sikap TK dari dulu sampai akhir hayatnya. Sikapnya yang baik hati, merakyat, mau berbaur dengan siapa pun masih ajek sampai akhir hayatnya.

Haryono pernah melihat langsung kebahagiaan teman wartawan yang tidak menyangka saat anaknya khitanan ternyata TK mau memenuhi undangan. “Beliau menjaga persahabatannya itu komit. Tidak sungkan datang ke rumah wartawan yang anaknya sunatan meski saat itu beliau saat itu adalah suami wakil presiden,” ungkap Haryono.

Benar, saat itu wartawan senior Media Indonesia yang juga peliput di DPR Kleden Suban pernah menyampaikan undangan secara lisan ke TK melalui Andus Simbolon untuk acara khitanan anaknya. TK waktu itu tentu sudah dalam posisi yang waktunya cukup padat dengan berbagai acara sebagai suami wakil presiden. Di rumah Kleden, TK yang juga ditemani Andus cukup lama karena memang di situ juga banyak teman wartawan yang hadir.

Di waktu yang berbeda, dengan posisi Mega juga sudah menjadi wakil presiden, TK juga menyempatkan melayat ketika mengetahui wartawan senior Sinar Harapan Petron Coery meninggal dunia. “Waktu itu Ibu Mega sudah jadi wakil presiden, saya ikut Bang TK melayat di rumah duka di kawasan Tomang,” kata Andus.

Pengalaman-pengalaman unik antara TK dengan wartawan sebagai gambaran bagaimana sosok TK yang begitu low profile dan gampang berbaur dengan siapa pun adalah bagaimana dalam berbagai kesempatan selalu menyempatkan untuk berkunjung ke kampung-kampung di daerah Bogor, Jawa Barat. Dengan mobilnya, TK sering mengajak wartawan keliling Bogor untuk sekadar nongkrong sambil minum kopi dan makan gorengan di pinggir jalan atau di tempat tongkrongan masyarakat sekitar. Dari tongkrongan dan obrolan seperti itulah kemudian oleh wartawan ditulis menjadi berita soal bagaimana pengenalan Mega yang disampaikan langsung oleh suaminya ke masyarakat. “Dulu kalau klayaban seringnya ke Bogor, nongkrong beli gorengan, orang jadi tahu suami Megawati. Pendekatannya merakyat dan mengena. Memang pemimpin yang baik perlu turun ke bawah diam-diam. Jalan-jalan dengan wartawan. Itu ciri pemimpin rakyat, mau bergaul dengan siapa saja,” tutur Haryono.

Pengalaman persahabatan ternyata tidak hanya dirasakan oleh para wartawan yang sudah lama mengenal TK. Banyak juga wartawan muda generasi baru yang merasakan betul kehangatan persahabatan dengan TK, di antaranya adalah wartawan RCTI Raja Bane Manalu dan wartawan Sindo Rahmat Sahid.

Bane yang awal mengenal TK karena intensitasnya meliput Mega dan PDIP saat pemilu dan pilpres 2009 lalu semakin akrab karena, selain sering berdiskusi, juga perlakuan TK yang lebih menunjukkan kekeluargaan. Bane menceritakan bagaimana dirinya harus sering menjawab pertanyaan sama berulang-ulang karena saat bertemu selalu ditanyakan bagaimana kondisi istrinya yang saat itu sedang mengandung anak pertamanya. Pertanyaan kabar dan kapan melahirkan selalu diutarakan setiap kali bertemu. Sikap seperti itulah yang menurut Bane sulit dilupakan dari TK karena dia merasa tersanjung tokoh sekelas dan sebesar TK menanyakan kehidupan dan kondisi keluarganya.

“Jadi, saya merasa, selain sebagai sahabat, juga ada semacam kekeluargaan. Apalagi, Pak TK juga tidak pernah mengatur-atur atau dalam istilahnya sok kuasa. Beliau melihat betul profesionalisme dalam pekerjaan, tetapi di satu sisi tetap memegang komitmen persahabatan,” ungkap Bane.

Pengalaman lain yang juga pernah dia alami adalah ketika dia mendapatkan telepon sehari setelah hari ulang tahun TK pada 2010 lalu. Saat itu, dalam pembicaraan di telepon, TK nadanya tinggi dan seperti menunjukkan rasa marahnya karena saat tanggal 31 Desember, di hari ulang tahun TK, Bane batal hadir meski sudah menjanjikan akan datang. Kebetulan, ulang tahun TK ketika itu dirayakan di Jakarta, sehingga Bane menyanggupi untuk ikut datang dan memberikan ucapan selamat. Namun, karena yang datang di acara itu orang-orang penting dengan mobil-mobil mewah, Bane memutuskan untuk tidak jadi masuk karena merasa tidak enak.

Namun apa yang terjadi, justru keputusan itulah yang membuat TK tersinggung. “Di telepon, saya dimarahi. Beliau bilang, ‘Kamu kan sahabat aku, kamu itu harusnya datang sebagai sahabat aku. Yang lain juga sama, sama-sama sebagai sahabat, jadi enggak ada bedanya.’,” tutur Bane.

Rahmat Sahid, yang dalam peliputan satu angkatan dengan Bane, juga punya pengalaman yang hampir sama. Dalam hal perhatian dan dianggap sebagai sahabat, Sahid merasa sangat tersanjung ketika dalam kesempatan ulang tahun cucu TK dan Mega, yakni anak laki-laki dari Puan Maharani, tanpa disangka TK memesan sate kambing dan sate ayam beserta ketupat kepada dirinya. Saat itu, Sahid memang baru saja membuka usaha kecil-kecilan berupa warung makan Pak Mat di bilangan Bantargebang, Bekasi. Dengan rasa bangga, dia menyediakan pesanan itu karena merasa mendapatkan perhatian. Sahid sulit membayangkan dan sulit percaya kenyataan bahwa, untuk acara ulang tahun cucu mantan presiden dan juga cucu dari Ketua MPR, dia dipercaya ikut menyediakan salah satu menu untuk disuguhkan di acara yang digelar di kediaman keluarga TK di Jalan Teuku Umar.

Saat itu, waktunya bertepatan dengan hari Sabtu dan hari pertama puasa Romadon tahun 2012. Selepas mengantarkan pesanan sate ayam kampung dan sate kambing itu, Sahid langsung menuju kantornya di kawasan Kebonsirih, jakarta Pusat. Dia memilih untuk melanjutkan kerja, tidak ikut dalam acara perayaan ulang tahun tersebut meski sebelumnya sudah diwanti-wanti TK untuk ikut.

Sekitar 15 menit menjelang waktu berbuka puasa, Sahid menerima telepon dari nomor yang tertuliskan Ajudan TK. Dan benar, di ujung sana sang ajudan mengatakan Ketua MPR ingin bicara. Dalam pembicaraan di telepon itu, TK meminta Sahid untuk datang dan mengikuti pengajian dan santunan anak yatim di acara ulang tahun cucunya itu. Melalui sambungan telepon itu, Sahid sempat menolak dengan alasan tidak enak dengan tamu-tamu yang lain. Tetapi, yang terjadi justru TK dengan nada sedikit meninggi menanyakan, “Jadi, Mas Sahid tidak mau datang?”

Akhirnya, dengan rasa sedikit minder, Sahid memutuskan datang dan ikut berbuka puasa di Jalan Teuku Umar setelah selesai pengajian dan santunan anak yatim. “Di situ, saya ikut berbuka satu meja dengan Pak TK dan beberapa tamunya. Di meja sebelah ada Ibu Mega yang juga ikut berbuka dengan para tamu yang hanya sekitar 25 orang. Agak minder sebenarnya, enggak enak, tapi bagaimana lagi? Pak TK maunya begitu,” kata Sahid.

Berbeda dengan kebanyakan orang besar atau pejabat tinggi yang cenderung hanya mau berbicara, TK justru menempatkan diri sebagai sosok yang mau mendengarkan, entah dari mana pun saran itu. Nah, posisi wartawan sebagai mitra diskusi adalah yang sering didengar saran-sarannya dan dia tidak sungkan untuk menanyakan atau sekadar meminta diceritakan kondisi politik belakangan dan bagaimana dinamikanya.

Beberapa wartawan sampai TK menjadi Ketua MPR, sebelum akhirnya dipanggil menghadap Ilahi, masih kerap diundang TK ke ruangannya untuk berdiskusi atau ditelepon setiap pagi setelah TK membaca koran dan melihat situasi politik terkini. Sururi Alfaruq, Haryono, dan Rahmat Sahid adalah beberapa di antara wartawan yang menceritakan bagaimana TK masih intensif mengajak diskusi. Itulah yang membuat banyak wartawan sulit melupakan sosok Taufiq Kiemas. [PUR, IHS]