Sebagai politisi, pergaulan Taufiq Kiemas memiliki spektrum yang luas, bahkan ketika banyak pihak menilai predikat “negarawan” layak disematkan di dadanya. Dari sekian luas rentang pergaulan Taufiq Kiemas atau biasa disapa TK, pertemanan dengan kalangan wartawan adalah salah satu yang istimewa. Sejak masa-masa awal menjadi anggota parlemen, ia sudah menjalin pertemanan dengan para wartawan yang bertugas atau ngepos di Gedung DPR/MPR, Senayan, Jakarta.

Rumah keluarga TK dan Megawati Soekarnoputri di Jalan Kebagusan IV, Jakarta Selatan, dan dua SPBU—yang berlokasi di Lapangan Ros-Jakarta Selatan dan di Pejompongan-Jakarta Pusat—juga menjadi saksi sejarah bagaimana pergumulan TK dengan para wartawan, yang saat itu menjadi benih kekuatan melawan dominasi dan otoritarianisme politik Orde Baru. Gerakan TK bersama Megawati, yang saat itu menjadi anggota DPR/MPR dari PDI di bawah kepemimpinan Soerjadi, masih kelompok kecil.

Meski Megawati adalah putri Proklamator Bung Karno, saat itu potensinya sebagai simbol perlawanan belum begitu terlihat, karena memang geraknya dikekang rezim Orde Baru. Mungkin itu sebabnya TK berupaya agar Megawati bisa menjadi simbol perlawanan dan saluran aspirasi. Dan, upayanya tersebut banyak terbantu berkat pergaulan TK yang erat dengan banyak wartawan. Lewat peran media massa, tak bisa dinafikan, baik bangsa Indonesia maupun kalangan internasional semakin mengenal sosok Mega, baik pemikiran, sikap, maupun tindakannya.

Figur TK yang mudah bergaul, hangat dalam membangun perkawanan, dan pandai melihat situasi, tanpa logistik yang “wah” sekalipun, ternyata dapat memerankan diri sebagai pendamping dan pendorong Mega sebagai simbol perlawanan wong cilik yang sudah cukup geram dengan situasi politik Orde Baru. TK sendiri mengakui peran penting para wartawan dalam menyalurkan suara arus bawah.

Di tengah keterbatasannya dan tekanan rezim Orde Baru, TK masih bisa berbuat banyak karena menyadari punya banyak teman wartawan. “Kita tidak mungkin berani kalau wartawannya tidak punya jalur dengan arus bawah. Jadi arus bawah disuarakan wartawan, lalu kita didorong maju. Waktu itu yang didorong Bu Mega,” kata Taufiq.

Sukses menjadi pelaku sejarah dengan para wartawan memang kemudian memisahkan “nasib” bagi sebagian mereka yang dulunya ikut berbaur dalam konsolidasi di Jalan Kebagusan, serta sekadar kongko membicarakan situasi nasional di SPBU Lapangan Ros atau SPBU Pejompongan. Meski ada beberapa wartawan yang kemudian ikut bersama Taufiq terjun ke politik dan terpilih sebagai anggota DPR, kebanyakan memilih untuk tetap pada jalurnya sebagai wartawan.

Namun, apakah itu menjadi pemisah komunikasi persahabatan antara Taufiq dan wartawan? Tidak. Saat PDI yang kemudian berubah nama menjadi PDI Perjuangan dengan kepemimpinan Mega menjadi pemenang Pemilihan Umum 1999 dan Mega menjadi wakil presiden, dan kemudian menjadi presiden, pertemanan Taufiq sebagai suami presiden dengan para wartawan yang selama ini ikut “berjuang” bersamanya tetap terjaga.

Dalam buku 70 Tahun Taufiq Kiemas dipaparkan bagaimana hubungan Taufiq Kiemas dengan Sururi Alfaruq, Pemimpin Redaksi Harian Seputar Indonesia (Sindo), misalnya. Sururi Alfaruq adalah salah satu wartawan yang saat itu secara batin dan sikap ikut partisan dan menunjukkan keberpihakannya kepada Megawati.

Dia adalah salah satu yang rajin menyambangi Megawati di Kebagusan untuk mewawancarai agar masyarakat mengetahui bagaimana sikap politik dan pemikirannya. Saat itu, semua wartawan tahu bagaimana berhubungan dengan Mega sangat susah.

Memang, jika sudah bertemu dan mengenal, Mega selalu menyambut baik, tetapi untuk bertemu saja susah. Nah, saat itu, TK menyalurkan atau mencairkan kebekuan antara Mega dengan wartawan. “Dia selalu yang merayu Mega agar mau terima,” kata Sururi.

Sururi menceritakan, dalam perjalanannya, hubungan TK dengan wartawan sangat baik, karena tidak sekadar hubungan personal antara narasumber dan media. Tapi, secara batin, TK sangat dekat dengan wartawan. Untuk membuktikan itu, TK selalu ingat nama-nama wartawan yang sudah dikenalnya dan ketika kumpul dia tahu namanya siapa saja, sehingga ketika ada satu yang tidak kelihatan dia langsung bertanya.

Memori TK kuat sehingga ingat wajah dan nama dan ditunjukkan dengan sikap yang wellcome. “Bagi TK, wartawan sangat penting, apalagi Mega dan PDI versi Mega itu dizalimi Orde Baru. Banyak yang saat itu tidak mau berteman dengan Mega karena akan dicurigai oleh rezim,” ungkap Sururi.

Dengan kondisi yang dizalimi itu, ternyata masih banyak wartawan yang memang secara obyektif mau menjadikan Mega sebagai narasumber dan teman. Apalagi, ada semacam sikap partisan dan keberpihakan dari beberapa wartawan untuk menjadikan Megawati sebagai simbol perlawanan. Di situlah TK merasakan keberadaan wartawan penting, agar di situasi yang terjepit dibantu oleh media, agar masyarakat lain tahu Mega masih ada suaranya, dan suara yang disampaikan suara kebenaran. Kalau suara itu tidak disampaikan, masyarakat juga tidak akan tahu Mega seperti apa dan bagaimana sikap dan pemikirannya.

“Di situlah peran strategis TK yang selalu menjembatani, selalu mencairkan hubungan Mega dengan wartawan agar tidak beku. TK tahu cara mendekati Bu Mega itu sulit, tapi tetap dia menjadikan para wartawan itu ada semangat ke Mega. Makanya, dia menjadikan suasana agar para wartawan itu tetap nyaman,” kata Sururi lagi .