Pemimpin Redaksi Koran Suluh Indonesia yang juga penulis biografi Taufiq Kiemas, Imran Hasibuan, berziarah ke makam Taufiq Kiemas di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta, 8 Juni 2016.

Koran Sulindo – Rabu sore sampai malam ini (8/6), Keluarga Besar Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri memperingati haul 1.000 hari wafatnya Taufiq Kiemas, mantan Ketua MPR yang merupakan suami dari Megawati. Haul ini dilaksanakan di kediaman keluarga mereka di Jalan Teuku Umar, Menteng, Jakarta Pusat. Berbagai tokoh pun hadir, termasuk Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla.

Menurut Jokowi dalam sambutannya, Taufiq Kiemas adalah sosok yang banyak mendamaikan konflik antar-individu dan golongan. “Kita kembali mengingat beliau yang selalu dengan ikhlas, dengan segala risiko, bisa kita lihat banyak sekali konflik individu, beliau selalu menjadi jembatan kembalinya antar-individu, antar-lembaga yang telah berkonflik,” tutur Jokowi.

Selain itu, lanjutnya, Taufiq Kiemas selalu memberikan orientasi empat pilar kebangsaan kepada para pejabat pemerintah dan lembaga semasa hidupnya. “Pancasila sebagai dasar negara, sebagai kegiatan sehari hari, beliau selalu ingatkan itu,” tutur Jokowi.

Taufiq Kiemas memang sosok multidimensi. Dan, beliau semasa hidupnya terlihat sebagai seorang nasionalis yang gigih. Perjalanan panjangnya sebagai aktivis, politisi, dan kemudian menjadi seorang negarawan dapat menjadi landasan yang kuat untuk membuktikan pernyataan itu.

Bukti yang masih bergema hingga kini adalah upayanya yang sungguh-sungguh, baik sebagai pribadi maupun sebagai Ketua MPR semasa hidupnya, untuk melakukan reaktualisasi terhadap nilai-nilai dasar kebangsaan dan kebernegaraan, yang beliau namakan “Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara” dan dengan cepat menjadi populer dengan sebutan “Empat Pilar”: Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan Bhinneka Tunggal Ika.

Secara historis, gerakan ini memang tak terlepas dari fenomena mengerasnya politik identitas setelah Orde Baru tumbang. Namun, semangat Taufiq Kiemas yang menggelora dalam mengampanyekan dan menyosialisasi “Empat Pilar” itu ke seluruh lapisan masyarakat bisa juga dibaca sebagai upaya peneguhan dirinya sebagai penggenggam warisan kaum nasionalis, yang di dalamnya tertera nama-nama sebagian besar pejuang perintis kemerdekaan dan Bapak Bangsa republik ini. Taufiq Kiemas begitu yakin bahwa nasionalisme yang terkandung dalam “Empat Pilar” adalah jawaban yang paling rasional sekaligus memiliki kandungan historis untuk menghadapi persoalan-persoalan yang melanda bangsa dan negara Indonesia yang plural, baik kini maupun di masa yang akan datang.

Lihatlah bagaimana Taufiq Kiemas memulai kehidupannya sebagai seorang aktivis. Pidato Bung Karno ketika membubarkan Partai Masjumi dan PSI telah membetot perhatiannya dan mewarnai hari-hari remajanya, sampai akhirnya Taufiq Kiemas ketika menjadi mahasiswa memilih Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) sebagai wadah aktivitasnya. Ayahnya, Tjik Agus Kiemas, sampai menangis karena pilihannya tersebut. Bukan menangis haru karena sang sulung bergiat dalam hal yang positif, tapi benar-benar menangis sedih. Pasalnya, Tjik Agus Kiemas adalah seorang kader Masjumi dan seluruh keluarganya adalah pendukung partai berideologi Islam itu. Taufiq Kiemas telah “menyeberang”, yang lewat diskusi panjang akhirnya sikapnya ini bisa dipahami oleh kedua orang tuanya dan juga seluruh keluarganya.

Sebagai aktivis GMNI, Taufiq Kiemas juga bukan sekadar mengepalkan tinju atau berteriak untuk mengekspresikan tanggung jawab sosial terhadap rakyat kecil. Tapi, Taufiq Kiemas menghayati kehidupan rakyat dengan terjun langsung ke tengah mereka. Bersama kawan-kawannya sesama aktivis GMNI di Palembang, Taufiq Kiemas pernah membuat koperasi untuk para tukang becak dan mengorganisasi gerakan buruh di Palembang. Sejalan dengan itu, Taufiq Kiemas muda juga menyadari, seorang aktivis harus selalu mengembangkan wawasannya, terutama yang berkenaan dengan politik kebangsaan. Untuk itu, aktivitas Taufiq Kiemas muda juga diisi dengan laku ngangsu kawruh kepada tokoh-tokoh pejuang yang ada di daerahnya, Palembang dan sekitarnya—seperti A.K. Gani, Johan Hanafiah, dan Abihasan Said—dan juga bertekun dengan banyak buku bacaan.

Ketika aktif di GMNI inilah Taufiq Kiemas merasakan dua kali dinginnya lantai penjara: yang pertama pada masa peralihan Orde Lama ke Orde Baru di Palembang; yang kedua dipenjarakan di Rumah Tahanan Militer Boedi Oetomo, Jakarta, ketika Orde Baru telah berkuasa. Lepas dari penjara, Taufiq Kiemas menjalani kehidupannya sebagai politisi yang melakukan gerakan secara tertutup atau klandestin, terutama karena rerpresifnya rezim Orde Baru.

Selama belasan tahun bergerak di bawah tanah melawan kesewenang-wenangan rezim otoriter Orde Baru, lagi-lagi Taufiq tergugah oleh Bung Karno dalam menjalankan kehidupan berpolitiknya. “Aku pelajari dan aku renungkan, Bung Karno tidak pernah berpolitik secara tertutup. Bung Karno selalu berpolitik secara terbuka, dengan mendirikan partai politik dan menggugah kesadaran politik rakyat lewat pidato-pidato politiknya di tengah masyarakat,” ungkap Taufiq Kiemas.

Kesadaran Taufiq pun muncul untuk mengikuti jejak Bung Karno dalam berpolitik, yakni berpolitik secara terbuka. Apalagi, pada tahun 1973 Taufiq Kiemas resmi menjadi menantu Bung Karno, menjadi suami dari Megawati Soekarnoputri. Setelah berdiskusi dengan beberapa orang kawannya dan tokoh-tokoh politik senior, Taufiq Kiemas pun pada akhirnya memutuskan untuk masuk Partai Demokrasi Indonesia (PDI) pada awal 1980-an.

Cara berpolitik yang terbuka ini tentu saja membawa konsekuensi logis pada perubahan pola gerakan dan pemikiran strategis Taufiq Kiemas. Sungguhpun begitu, cara berpolitik tertutup yang Taufiq lakoni selama belasan tahun juga tak serta-merta sirna jejaknya. Justru, apa yang telah ia jalani di masa silam memiliki pengaruh yang tidak sedikit dalam kehidupan politik Taufiq Kiemas yang disalurkan lewat PDI. Maka, tak mengherankan juga ketika Taufiq Kiemas pada rentang waktu ini lebih banyak berkiprah di belakang layar dan membangun jejaring politik sampai ke pelosok-pelosok desa.

Soal membangun jejaring politik ini juga bisa ditafsirkan sebagai upaya Taufiq Kiemas merintis jalan menuju kursi kekuasaan, suatu peluang bagi dirinya sebagai seorang nasionalis untuk menerapkan gagasan-gagasan kebangsaan dan kebernegaraan di tanah air yang ia cintai. Walaupun pada akhirnya, sejarah mencatat, yang kemudian menduduki kursi nomor satu di republik ini adalah sang istri, Megawati Soekarnoputri. Toh, apa yang dilakukan Taufiq Kiemas punya andil yang tak sedikit untuk itu. Pada akhirnya, memang, pasangan Taufiq Kiemas-Megawati Soekarnoputri bukan sekadar pasangan suami-istri biasa, tapi sepasang politisi yang saling mengisi dan melengkapi, yang dimatangkan oleh suka-duka bersama dalam perjuangan membawa bangsa dan negara ini mencapai cita-cita Proklamasi Kemerdekaan.

Kesempatan berada di lapisan teratas kekuasaan membuat jangkauan pandangan Taufiq Kiemas menjadi lebih luas terhadap berbagai persoalan yang sedang dihadapi bangsa dan negaranya. Pada gilirannya, ini membuat Taufiq Kiemas menjadi semakin arif dan bijak sebagai seorang politisi. Dari titik inilah tranformasi terjadi pada sosok Taufiq Kiemas: dari seorang politisi yang cenderung berpikir untuk taktis dan praktis menjadi seorang negarawan, yang memprioritaskan kepentingan bangsa dan negara di atas segalanya. Taufik Kiemas berhasil menunjukkan perannya sebagai sosok yang memiliki kebijaksanaan dan kemampuan mengarahkan urusan bangsa dan negara serta isu-isu publik penting sebagai persoalan bersama, terutama ketika beliau mulai menjadi Ketua MPR.