Frederick Barbarossa. (Foto: The Collector)

Dalam sejarah Kekaisaran Romawi Suci, nama Frederick I Barbarossa melambung sebagai salah satu penguasa yang paling dikenang, bukan hanya karena peran politik dan militernya yang kuat, tetapi juga karena warisan budayanya yang hidup berabad-abad kemudian.

Lahir sekitar tahun 1122 atau 1123, Frederick dikenal luas dengan julukan Barbarossa, yang berarti “berjenggot merah” dalam bahasa Italia, sebuah gambaran fisik yang kelak menjadi simbol kekuasaan dan keteguhan dalam imajinasi publik Eropa.

Asal Usul dan Jalan Menuju Kekuasaan

Frederick berasal dari Wangsa Hohenstaufen, dinasti kuat di Jerman selatan. Ia adalah putra Adipati Friedrich II dari Swabia dan Judith dari Bayern, yang berasal dari Wangsa Guelf, dua keluarga besar yang sering terlibat dalam persaingan politik.

Kombinasi darah kedua keluarga ini menjadikannya tokoh kompromi, diterima sebagai Raja Jerman pada 4 Maret 1152, lalu dimahkotai di Aachen pada 9 Maret tahun yang sama. Tiga tahun kemudian, ia dinobatkan sebagai Raja Italia, dan pada 18 Juni 1155, ia menerima mahkota Kaisar Romawi Suci dari Paus Adrianus IV.

Sebagai penguasa, Frederick menghadapi tantangan besar dalam mengelola wilayah yang terpecah oleh kekuasaan lokal dan otoritas gerejawi. Di tengah bayang-bayang Kontroversi Investitur, ia berusaha memperkuat posisi monarki dan menyatukan wilayah Jerman.

Namun, alih-alih membentuk pemerintahan terpusat yang kokoh seperti di Prancis dan Inggris, kebijakannya justru memperkuat sistem feodal yang memperlemah kekuasaan pusat.

Salah satu aspek paling mencolok dalam pemerintahannya adalah ekspedisi berulang ke Italia, enam kali dalam total untuk menegakkan otoritas kekaisaran atas kota-kota Italia utara yang memberontak, seperti Milan. Ia menghadapi perlawanan sengit dari Liga Lombard dan konflik berkepanjangan dengan paus, terutama terkait kendali atas wilayah dan kekuasaan gereja.

Frederick juga berseteru dengan sepupunya, Henry the Lion dari Wangsa Welf, yang awalnya menjadi sekutu namun kemudian dicopot dari kekuasaan setelah perselisihan mengenai dukungan militer dan pembagian wilayah.

Perseteruan dengan Paus dan Sengketa di Italia

Hubungan Frederick dengan Paus Adrianus IV dan penggantinya tidak pernah mulus. Ia harus berhadapan dengan kaum republik di Roma yang dipimpin oleh Arnaldus dari Brescia, serta menghadapi persoalan protokoler yang mencerminkan perebutan supremasi antara kekaisaran dan gereja.

Salah satu insiden paling terkenal terjadi ketika Frederick menolak untuk memegang sanggurdi Paus sebelum menerima ciuman perdamaian, simbol yang menunjukkan penolakan terhadap dominasi spiritual atas kekuasaan sekuler.

Pada puncak kekuasaannya, Frederick memutuskan ambil bagian dalam Perang Salib Ketiga bersama Raja Richard dari Inggris dan Raja Philippe dari Prancis. Namun takdir berkata lain. Pada 10 Juni 1190, ia tenggelam di Sungai Saleph (kini Göksu di Turki) saat menyeberangi sungai tersebut dalam perjalanan menuju Tanah Suci.

Kematian mendadaknya mengguncang kekuatan pasukannya yang kemudian tercerai-berai. Peristiwa ini juga menjadi titik balik yang menandai semakin terpecahnya wilayah Jerman menjadi negara-negara kecil yang feodal.

Meski gagal membentuk kekaisaran yang terpusat dan kuat, Frederick Barbarossa dikenang sebagai figur monumental dalam sejarah Jerman. Ia menjadi simbol nasionalisme dan legenda rakyat, dipercaya oleh sebagian kalangan akan bangkit kembali suatu hari nanti untuk memulihkan kejayaan tanah Jerman. Sosoknya melampaui batas sejarah, memasuki ranah mitos dan seni.

Frederick Barbarossa menjadi inspirasi dalam berbagai karya sastra, seni, dan dongeng. Ia tampil dalam narasi puisi epik dan kisah-kisah rakyat, tetapi juga dalam novel-novel sejarah modern. Beberapa karya yang menonjol di antaranya adalah Adler und Löwe: Friedrich Barbarossa und Heinrich der Löwe im Kampf um die Macht karya Paul Barz, yang menggambarkan dinamika kekuasaan antara Barbarossa dan sepupunya, Henry the Lion.

Karya lain yang terkenal adalah Barbarossa – Im Schatten des Kaisers: Historischer Roman oleh Michael Peinkofer, yang menyajikan sisi kemanusiaan sang kaisar dalam bayang-bayang kekuasaan. Sementara itu, Le fils chartreux de Barberousse karya Annie Maas mengeksplorasi kehidupan salah satu anak Frederick, membawa perspektif baru tentang warisan dan pergulatan batin keluarga kaisar.

Frederick I Barbarossa bukan sekadar penguasa abad pertengahan. Ia adalah simbol dari ambisi kekuasaan, perjuangan untuk menyatukan bangsa, dan batas tipis antara sejarah dan legenda.

Kematian tragisnya di tanah asing tak mengakhiri pengaruhnya. Justru sebaliknya, dalam kesunyian makamnya yang tak pasti, ia hidup dalam ingatan kolektif bangsa Jerman dan warisan budaya Eropa sebagai kaisar yang terus menginspirasi. [UN]