Selama lebih dari seribu tahun, Konstantinopel berdiri tegak sebagai salah satu kota terpenting dalam sejarah dunia. Dibangun di atas fondasi Kekaisaran Romawi, kota ini menjadi pusat kekuasaan, agama, dan perdagangan yang menghubungkan Timur dan Barat. Dikelilingi tembok-tembok raksasa dan laut yang strategis, Konstantinopel dikenal tak tertembus, sebuah simbol kekuatan Kekaisaran Bizantium yang seolah abadi. Namun, pada pertengahan abad ke-15, sejarah mengambil arah baru. Ketika dunia tengah berubah, kota yang pernah berjaya itu bersiap menghadapi akhir dari kejayaan lamanya.
Tanggal 29 Mei 1453 menjadi saksi runtuhnya salah satu kekuatan paling tua dalam sejarah dunia: Kekaisaran Romawi Timur atau Bizantium. Setelah lebih dari seribu tahun berdiri sebagai benteng terakhir dunia Kristen di Timur dan pusat peradaban Eropa, Konstantinopel akhirnya jatuh ke tangan pasukan Kesultanan Utsmaniyah di bawah komando Sultan Mehmed II yang kemudian dikenal dengan gelar Muhammad al-Fatih.
Peristiwa ini tidak hanya menandai berakhirnya era Bizantium, tetapi juga membuka lembaran baru dalam sejarah global yaitu kebangkitan kekuatan Islam di Eropa Tenggara, percepatan perubahan jalur perdagangan dunia, dan peralihan zaman dari Abad Pertengahan menuju era modern.
Namun keagungan Konstantinopel pada akhirnya tidak cukup untuk menahan gelombang kekuatan baru yang bangkit dari timur. Di tengah kemerosotan internal dan tekanan eksternal yang semakin besar, kota yang pernah disebut sebagai “Roma Baru” itu bersiap menghadapi tantangan terbesar dalam sejarahnya.
Ketika pasukan Ottoman mulai mengepung gerbang kota, tak hanya benteng fisik yang diuji, tetapi juga daya tahan terakhir dari satu peradaban yang telah berjaya selama lebih dari seribu tahun. Berikut rangkuman kronologi lengkap runtuhnya Konstantinopel dan bagaimana peristiwa ini mengubah arah sejarah dunia.
Kota Strategis di Ambang Kehancuran
Konstantinopel yang letaknya yang strategis di persimpangan antara Asia dan Eropa, di tepi Laut Marmora dan dekat Selat Bosporus menjadikan kota ini pusat distribusi rempah-rempah dan barang dagangan dari Timur ke Barat.
Sebagai benteng Kristen Ortodoks, Konstantinopel juga menjadi simbol pertahanan Eropa terhadap ekspansi kekuatan Islam. Namun, sejak abad ke-13, Bizantium semakin melemah karena perang internal, serangan Latin dalam Perang Salib, dan penyusutan wilayah kekuasaan.
Pengepungan Konstantinopel dimulai pada 6 April 1453. Pasukan Ottoman yang diperkirakan berjumlah antara 80.000 hingga 120.000 orang mengepung kota dari darat dan laut. Mereka membawa artileri berat, termasuk meriam raksasa buatan insinyur asal Hungaria bernama Orban, yang digunakan untuk menghancurkan tembok-tembok kuno kota.
Di sisi lain, pertahanan Bizantium berada dalam posisi genting. Di bawah kepemimpinan Kaisar Konstantinus XI Palaiologos, hanya sekitar 7.000 hingga 8.000 prajurit tersedia untuk mempertahankan kota, termasuk bantuan terbatas dari Genoa dan Venesia.
Salah satu langkah strategis paling cerdik Sultan Mehmed II adalah memindahkan kapal-kapal perangnya melewati daratan dengan menggunakan kayu gelondongan yang dilumasi minyak, guna melewati Galata dan masuk ke Tanduk Emas. Langkah ini memungkinkan serangan dari dua sisi sekaligus dan memperlemah pertahanan kota.
Detik-detik Kejatuhan
Malam tanggal 28 Mei 1453 menjadi malam penuh harapan dan kecemasan di dalam kota. Prosesi keagamaan besar digelar di Hagia Sophia sebagai persiapan spiritual terakhir bagi warga kota yang menyadari kemungkinan besar akan kalah.
Pada dini hari 29 Mei, serangan besar-besaran dimulai. Pasukan Ottoman menyerang dalam tiga gelombang: dimulai dengan pasukan azap (infanteri tak terlatih), dilanjutkan dengan pasukan Anatolia, dan akhirnya pasukan elite Janissari yang berhasil menembus tembok kota.
Kaisar Konstantinus XI memilih bertempur hingga akhir. Ia dilaporkan gugur dalam pertempuran di dekat gerbang kota, menolak melarikan diri demi kehormatan.
Menjelang sore hari, Sultan Mehmed II memasuki Konstantinopel. Ia menuju Hagia Sophia dan menjadikannya masjid, simbol perubahan kekuasaan dan permulaan era baru di bawah Kesultanan Utsmaniyah.
Dampak Global yang Masif
Kejatuhan Konstantinopel memiliki dampak jangka panjang yang luar biasa besar. Di Eropa, peristiwa ini sering dipandang sebagai penanda berakhirnya Abad Pertengahan dan awal era Renaisans dan modernitas. Arus pelarian ilmuwan dan seniman Bizantium ke Italia turut memicu perkembangan intelektual di Eropa Barat.
Dari sisi ekonomi, ditutupnya jalur dagang melalui Konstantinopel mendorong bangsa-bangsa Eropa mencari alternatif jalur laut ke Asia, yang pada akhirnya membuka era penjelajahan samudra. Inilah awal mula kedatangan bangsa Portugis, Spanyol, dan kemudian Belanda ke kawasan Nusantara demi mencari rempah-rempah.
Di sisi politik dan militer, Kesultanan Utsmaniyah menjadikan Konstantinopel yang kemudian berganti nama menjadi Istanbul sebagai ibu kota kekaisaran. Kota ini berkembang menjadi pusat kekuasaan Islam yang baru, menggantikan peran lama Damaskus dan Baghdad, serta menjadi basis ekspansi Ottoman ke Balkan dan Eropa Tengah.
Kejatuhan Konstantinopel bukan hanya soal pergantian kekuasaan, tetapi titik balik peradaban dunia. Ia menunjukkan bagaimana kekuatan besar sekalipun bisa runtuh jika gagal menyesuaikan diri dengan perubahan zaman. Namun, ia juga memberi pelajaran bahwa dari kehancuran, bisa lahir kebangkitan baru baik bagi dunia Islam maupun dunia Barat yang terdorong untuk menjelajah lebih jauh dan lebih luas dari sebelumnya. [UN]