Koran Sulindo – Ketika Sultan Hamengkubuwono II akhirnya menyerah ketika Keraton Yogyakarta mulai diserbu Inggris 18 Juni 1812. Jelas terlihat tentara Sultan bukan lawan sebanding Inggris.
Pertempuran hanya berlangsung beberapa hari dan dengan segera mereka menyerah kepada Inggris di Benteng Vredenberg.
Sementara HB II ditangkap dan digiring ke benteng pukul delapan pagi tanggal 20 Juni 1812, Keraton yang kosong segera menjadi sasaran penjarahan.
Meninggalkan keraton tanpa penjaga, penyerahan itu ibarat tengara untuk dimulainya penjarahan.
Tak hanya merampas pusaka Keraton seperti Kiai Paningset, Kiai Sangkelat, Kiai Urub, Kiai Jinggo, Kiai Gupito, Kiai Joko Piturun, dan Kiai Mesem. Tentara Inggris juga merampas kancing baju Sultan HB II yang terbuat dari berlian.
Mereka juga menjarah gamelan, wayang, ribuan kitab-kitab sejarah Jawa, serta naskah-naskah daftar tanah. Bahkan dalam babad Bedhahing Ngayogyakarta tercatat pedati-pedati selama empat hari berturut-turut mengangkut harta rampasan itu ke kediaman Residen Yogya John Crawfurd.
Baca juga: Keraton Yogya Dijarah, Bangsawan Jadi Kuli Angkut
Kekacauan di dalam keraton bermula ketika serdadu Inggris dan Sepoy meringkus perempuan-perempuan keraton untuk merampas kandutan dan bundelan mereka.
Kandutan umumnya digunakan untuk menyebut barang-barang berharga yang disimpan dalam setagen dan diikatkan di perut mereka sebagai pengunci jarit. Sedangkan bundelan merujuk pada barang-barang berharga yang dibundel, biasanya menggunakan kain dan dibawa dalam oleh perempuan-perempuan Jawa.
Serdadu-serdadu itu merampas apa saja dan dari siapa saja tak peduli besar atau kecil, tua atau muda, dan sama sekali mengabaikan rasa hormat bahkan kepada anak-anak bangsawan.
Serdadu Sepoy secara khusus bahkan mengincar prajuriting dyah atau pengawal perempuan sultan yang dikabarkan menyimpan berlian-berlian sultan.
Penjarahan juga menimpa para putri raja yang sebelumnya hidup dalam keadaan sangat makmur dan kaya.
Keadaan serupa juga dialami istri kesayangan HB II, Ratu Kencana yang terkenal sampai ke seberang untuk keuntungan besar yang diperolehnya dari promosi pejabat dan penguasaan lahan.
Ratu ini dikenal karena siapa saja yang ingin menjadi priyayi asal memiliki uang dengan perantaraannya bisa mendapatkan kedudukan itu. HB II yang sangat menyayangi istrinya ini mengikuti keinginannya hampir dalam segala hal sehingga ruang harta di keraton penuh dengan perak, emas dan berlian.
Di masa penjarahan itu, Ratu Kencono mendapat tekanan keras oleh serdadu Inggris agar menyerahkan harta dan berlian-berlian milik Sultan. Sebelumnya serdadu Inggris suda mendegar kabar bahwa Sultan memiliki berlian sebesar jempol kaki.
Ratu Kencono menolak tudingan itu dan mengatakan memang ada seorang telah menawarkan kepadanya berlian besar milik seseorang di Solo namun transaksi belum dilakukan. Tentara Inggris yang tak percaya tetap menakuti sang ratu dengan sikap mengancam.
Ratu Kencono akhirnya menyerah dan mengambil kantong sabuk penuh perhiasan dan menyerahkan kepada tentara Inggris sembari mengatakan, “tinggal ini saja milikinya.”
Ia juga beralasan harta Sultan telah dibawa lari oleh para pemimpin pasukan perempuannya dan tahu bagaimana mereka mengambilnya kembali.
Tentu saja penjelasan ini ditolak tentara Inggris sehingga ia segera memanggil dua pengawal perempuannya untuk mencari harta-harta itu.
Belakangan pengawal yang dipanggil itu sia-sia mencari pemimpin pasukan itu, namun berhasil menemukan sebuah berlian yang sudah dilempar ke sebuah sumur dan menyerahkan kembali kepada Ratu Kencono.
Sang Ratu segera menyerahkan berlian itu kepada tentara Inggris dan menyebut bahwa itulah satu-satunya harta Sultan Yogya yang merupakan hadiah dari ayahnya, Sultan HB I.
Berlian itu diterima dengan senang oleh tentara-tentara Inggris yang segera membawa berlian itu kepada Thomas Stamford Raffles yang membayarnya seharga 500 ringgit Spanyol.
Di hari-hari itu Keraton terus menerus dalam keadaan kacau dengan penjarahan berlangsung tanpa henti. Meski para perempuan itu tak diserang secara fisik atau diperkosa.
Kondisi itu berbeda dengan yang terjadi saat kejatuhan Keraton Kartasura tahun 1742 atau Geger Cina dan selama pendudukan oleh Trunojoyo. [TGU]