Presiden Sukarno dan Presiden John F Kennedy/istimewa

Sukarnoisme bukan penamaan Bung Karno! Kalau tak salah ingat B.M. Diah-lah yang menggunakannya untuk pertama kali. Menulis B.M. Diah dalam harian Merdeka terbitan 1 Februari 1965 antara lain: “…Karena tekad kita adalah memenangkan ajaran Bung Karno, yaitu Sukarnoisme, maka perjuangan kita tidak akan berhenti sebelum paham-paham Sukarnoisme itu menjadi perisai dan benteng ideologi seluruh rakyat Indonesia. Kalah menang dalam perjuangan ideologi tidak terbatas pada waktu dan tempat…”

Suka tidak suka, isme itu, yang jelas maksudnya ialah paham-paham Bung Karno, ajaran-ajaran Bung Karno. Ini yang menurut B.M. Diah mesti diperjuangkan terus-menerus hingga jadi perisai dan benteng ideologi seluruh rakyat Indonesia. Kalah menang dalam perjuangan ideologi tidak terbatas pada waktu dan tempat. Artinya, dalam kaitan paham, penggarisan pihak Pustaka Sinar Harapan tentang era post Sukarno tidaklah pedoman ketat buat tulisan-tulisan saya berikut ini, kalau saja saya senada dengan jalur anggapan B.M. Diah.

Sepanjang menyangkut paham, mengapa saya tidak mesti senada? Sebab, masalah pokoknya memang paham. Awal dan ujungnya adalah paham yang tak ada sangkut pautnya dangan ada atau tidaknya kekuasaan formal. Paham itu dapat ada, sementara Bung Karno jadi Presiden Republik Indonesia,, paham itu dapat ada sedangkan Bung Karno tidak jadi Presiden Republik Indonesia. Paham itu dapat ada sementara orangnya masih hidup, dan paham itu dapat ada sedangkan orangnya sudah tiada. Masalahnya, seberapa lama dan seberapa jauh hal itu sebagai paham dapat tahan teruji sejarah? Apakah paham itu sirna bersama sirnanya kekuasaan formal, atau paham itu akan merasuk terus sampai ke ujung-ujungnya akar serabut?

Di tahun 1967 saya ke Uni Soviet. Jangan-jangan saya termasuk orang Indonesia pertama ke negeri itu sesudah 30 September 1965 sehingga rasanya seperti makhluk yang baru turun dari planit lain. Tak ada yang penting kecuali omong-omong dengan Prof. Groeber, ketua Lembaga Persahabatan Uni Soviet-Indonesia. Konon kabarnya ia ahli sejarah dan ahli Jawa Kuno. Saya tidak peduli Jawa Kuno-nya, saya hanya berkepentingan dengan ahli sejarahnya. Orang gaek yang sudah lanjut usia hingga melengkung itu, kepadanya saya ajukan satu pertanyaan ringkas dan gampang. Maka terjadilah tanya jawab berikut:

“Apakah menurut tovarich, Bung Karno itu seorang ahli sejarah, seorang historian?”

“Nyet, nyet. Sama sekali bukan”.

”Lantas apa dia itu? Apa tidak ada arti dia buat tovarich?”

“Tentu saja ada”.

“Apa gerangan itu, wahai tovarich yang sepuh?”

“Bung Karno bukan seorang historian. Bung Karno bukan seorang ahli sejarah!”

“Lantas apa? Angin?”

“Bung Karno seorang pembikin sejarah. Seorang history maker!”

Saya setuju hingga ke tumit-tumitnya. Apa sebab? Karena saya yakin betul Bung Karno bagaikan potongan kayu bakar yang terbesar gelondongannya yang sudah membakar apinya nasionalisme Indonesia, membakar apinya persatuan nasion Indonesia, membakar apinya revolusi nasional yang pada tingkat tertingginya memerdekakan negeri ini. Kalau itu bukan disebut pembuat sejarah, lantas apa namanya?

Sejarahwan bisa diprodusir di bangku-bangku sekolah tetapi pembikin sejarah diperanakkan oleh sang sejarah dari rahimnya, paling cepat seratus tahun sekali. Oleh sang kayu bakar kesemua tugas itu sudah dilaksanakan sebaik-baiknya dan sehormat-hormatnya. Berpuluh tahun Bung Karno jadi titik sentral berkobarnya api yang membakar semangat seantero nasion sehingga yang kena sambarannya mendidih bagai kepundan.

Ambil contoh semburan-semburannya terhadap semangat kemerdekaan sambil mengutip ucapan LALA LAJPAT RAI sebagai berikut: “Kamoe ingin India merdeka?” Jakinlah saudara-saudara, bahwa mengedjar India merdeka bukan pekerdjaan jang gampang. Pekerdjaan ini meminta segenap kamoe poenja kemaoean, segenap kamoe punja keoeletan, segenap kamoe punja roh dan djiwa. Kemerdekaan boekanlah barang jang ditawar-tawarkan dan bisa dibeli di pinggir djalan. Kemerdekaan boekanlah pelakat yang ditempelkan di podjok djalan. Kemerdekaan hanyalah bisa kita tjapai kalau kita semoea soedah tidak maoe diperbudakkan, ja’ni kalau kita semoea bisa membalas perboedakan itoe dengan menimboenkan segenap kita poenja kekoeatan energie menjadi satoe natie. Kaloe kita soedah bersatoe djadi satoe natie, nistjaja goegoerlah perboedakan kita!” (cover majalah politik Fikiran Ra’jat, 15 Juni 1932).

Baiklah, mau merdeka. Baiklah, mau berhenti jadi budak. Baiklah, bersatu dalam satu nation. Tetapi, nation yang lembek bagai bubur tidak ada guna, sekali diinjak sudah gepeng dia. Masih diperlukan lagi bajanya, baja yang membalut tubuh sampai menutup batang leher sehingga gempuran apapun tidak membuatnya terjungkal. Di tahun 1932 itu juga, selaku pimpinan sidang redaksi majalah politik Fikiran Rakjat terbitan Bandung tanggal 15 Juli 1932, cover majalah yang ditangani langsung oleh Bung Karno itu, mengutip barisan kalimat menggelegak seperti berikut dari VIVEKANANDA:

“Kita sekarang tida berkesempatan lagi oentoek menangis, kita soedah kenjang menangis!

Bagi kita sekarang ini boekan saatnja oentoek lembek-lembekan.
Berabad-abad kita soedah lembek sebagai kapoek dan agar-agar.
Ra’jat dan tanah toempah darah kita itoe memboetoehkan otot-otot jang kerasnya sebagai badja, oerat-oerat jang koeatnja sebagai besi, kemaoean jang kerasnja sebagai batoe-iten jang tegoeh dan sentausa oentoek menolak serangan-serangan dari moesoeh, dan djika perloe bagi mentjapai toedjoean berani terdjoen didasarnja samodra…”

Roh dari kalimat kutipan itu adalah juga menjadi roh Bung Karno—kapan pun juga—baik di tahun 30-an maupun di tahun 60-an. Roh macam itu juga, ketika ia meninggalkan jasadnya! Roh lelaki, roh patriot, roh pemimpin yang berorientasi pada massa yang menyemut hingga ke pucuk-pucuknya gunung, meletup-letup baik di balik tirai penjara, baik di Istana Negara, bahkan di saat-saat kejatuhannya tatkala awan mendung sudah mengambang di atas kepala.

Membangun keberanian bangsa dalam arti umum, adalah suatu proyek pembangunan yang bukan alang kepalang besar dan sulitnya, lebih susah daripada membangun gedung toserba bertingkat 30. Jauh sebelum negeri ini merdeka, dalam pembahasan masalah kooperasi dan non kooperasi dengan kolonial Belanda, melalui majalah politik Fikiran Ra’jat terbitan 8 Agustus 1932, Bung Karno ada menulis dengan sikap posisi non-kooperasi: “…Djadi oentoek membangoen kekoeatan Ra’jat yang terbenam menjadi kekoetan yang dynamisch itu, kita:  1. Haroes jakin bahwa Ra’jat kita itoe ada. 2. Kita haroes jakin bahwa Ra’jat kita itoe mempoenyai kekoeatan. 3. Kita haroes jakin bahwa kekoeatan Ra’jat jang sekarang statisch itoe bisa dijadikan dynamisch”.

Apa tidak penting membangun keberanian itu? Untuk menunjang pendapatnya, majalah itu dalam covernya mengutip pendapat THOMAS CARLYLE yang berbunyi: “Kami jakin bahwa kewadjiban pertama dari seseorang itoelah oentoek memboeang ketakoetan. Melinjapkan ketakoetan dari roch dan batinnya. Kita haroes merdika dari ketakoetan itoe. Selama kita beloem berani memboeang sifat boedak itoe, selama itoe kita masih djadi boedak jang terhina!”

Dan…Pancasila itu sendiri! Pembangunan apakah yang lebih hebat daripada meletakkan dasar-dasar filosofi suatu Negara yang diucapkan tanpa teks dalam pidato selama tidak lebih dari – 45 menit? Tak seorang pun zaman sekarang dan zaman-zaman sesudah sekarang, dapat bayangkan, andaikata tanggal 1 Juni 1945 itu Bung Karno memilih nonton bioskop ketimbang membikin pidato yang mencakup seluruh hasil renungannya selama puluhan tahun! Ini prototip sesungguhnya dari seorang nation builder.

Dan…Konstitusi 1945 itu sendiri! Sulit disangkal, dialah the first among others dalam penyusunan ini, tanpa melupakan peran penting pemuka-pemuka bangsa saat itu. Dan bukankah dia pula yang tampil dalam kualitas negarawan, melakukan fungsi penuh selaku decision maker, tatkala pengusulan kembali ke UUD 1945? Momentum besar hanya bisa tampak oleh mata seorang besar dan berjangka jauh. Ini memang bukan pembangunan pabrik terigu, tetapi lantai dasar di atas mana seluruh bangunan negara, baik yang fisik maupun yang non fisik didirikan. Tanpa ini, negeri ini akan menjadi berantakan seperti pasar loak.

Membangun Jiwa dan Karakter
Mpu-mpu produk mutakhir –- berkat hasil renungan yang tidak kepalang tanggung—sampai pada kesimpulan: Bung Karno itu potongan solidarity maker. Titik. Potongan macam begini hanya dieperlukan dalam kaitan perjuangan merebut kemerdekaan. Bahkan paham nasionalisme pun begitu. Bukankah bekas Menteri Luar Negeri Singapura, Rajaratnam, semudah orang membuang ludah ke lantai pernah berkata: “Nasionalisme hanya diperlukan di saat pra-kemerdekaan dan tak ada perlunya lagi sesudah kemerdekaan di tangan”.  Yang diperlukan sekarang adalah seorang tokoh pembangunan, innovator, pragmatis pokoknya untung, lain-lain soal belakangan.