Potret 2 kemiri yang siap diadu menggunakan alat ngadu muncang. (Foto: Sulindo/Ulfa Nurfauziah)

Seiring waktu, banyak warisan budaya seperti permainan tradisional tak lagi akrab di tangan generasi muda. Di era serba digital saat ini, banyak anak-anak dan remaja lebih akrab dengan dunia game online daripada lapangan bermain atau halaman rumah tempat mereka bisa berinteraksi langsung. Gawai telah menggantikan bambu, tanah, dan alat-alat sederhana yang dulu lekat dalam keseharian.

Padahal, ada masa ketika anak-anak sepulang sekolah berlarian ke luar rumah untuk bermain lompat karet, kelereng, atau menerbangkan layangan hingga petang menjelang. Di sela-sela itu, mereka pergi ke hutan atau kebun untuk mencari kemiri yang jatuh dari pohon dan dijadikan bekal untuk permainan ngadu muncang yang menantang sekaligus mengasyikkan. Suasana seperti itu kini hanya tinggal kenangan, perlahan terkikis oleh perkembangan zaman.

Namun di tengah derasnya arus permainan digital yang merambah kehidupan anak-anak masa kini, masih tersisa secercah ingatan tentang permainan rakyat yang pernah menjadi bagian dari keseharian. Salah satunya adalah ngadu muncang, sebuah permainan adu biji kemiri yang dahulu populer di kalangan anak-anak Sunda.

Meski kini mulai jarang dimainkan, ngadu muncang sesungguhnya menyimpan nilai budaya yang penting, baik sebagai media hiburan, ajang adu ketangkasan, maupun sebagai cermin kreativitas masyarakat tempo dulu.

Apa Itu Ngadu Muncang?

Ngadu muncang adalah permainan tradisional yang menggunakan biji kemiri kering atau muncang sebagai alat utama. Permainan ini dimainkan dengan cara mengadu satu muncang dengan muncang lainnya untuk melihat mana yang lebih kuat. Muncang yang berhasil memecahkan muncang lawan dinyatakan sebagai pemenang.

Permainan ini lazimnya dimainkan oleh dua orang atau lebih. Masing-masing membawa muncang andalan mereka biasanya dipilih dari biji-biji terbaik yang telah dikeringkan sempurna, keras, dan tidak mudah retak.

2 biji kemiri atau muncang. (Foto: Sulindo/Ulfa Nurfauziah)

Untuk mengadunya, para pemain menggunakan alat sederhana yang dirakit dari bahan-bahan alami. Kedua muncang atau kemiri diletakkan di atas permukaan keras seperti tanah padat atau aspal, ditindih dengan batang bambu pipih, kemudian bambu tersebut dipukul dengan batu hingga salah satu kemiri itu pecah, yang menandakan kekalahan. Dentuman kemiri pecah yang dihasilkan menandai dimulainya pertarungan mungil nan seru ini. Kemiri yang tidak pecah dan kuat disebut sebagai juara.

Meski tampak sederhana, permainan ini ternyata memiliki akar sejarah yang panjang. Dalam wawancara via telepon pada 22 April 2025, Oesep Kurniadi, S.Sn., seorang pegiat budaya, menjelaskan bahwa ngadu muncang sudah ada sejak masa kerajaan.

“Menurut senior di bidang budaya, ngadu muncang sudah ada sejak dulu zaman kerajaan. Bahkan dipakai sebagai arena adu kemampuan yang diwakilkan oleh permainan ngadu muncang,” ungkap Oesep.

Di masa lalu, permainan ini diyakini merepresentasikan pertarungan atau kompetisi para ksatria. Muncang yang kuat menjadi simbol ketangguhan, dan keberhasilan memecahkan muncang lawan adalah kemenangan yang membanggakan.

Selain itu, permainan ini juga melatih strategi dan ketelitian. Pemain harus memilih muncang yang tepat, mempelajari cara memukul bambu dengan sudut dan kekuatan yang sesuai, dan tentu saja, menjaga sportivitas dalam setiap pertandingan.

Dalam penuturan Oesep, perbedaan utama permainan ngadu muncang zaman dulu dan sekarang terletak pada alat yang digunakan.

“Kalau zaman dulu hanya menggunakan alat seadanya, seperti alas tanah yang keras untuk menahan kemiri atau aspal, dengan batang bambu pipih di atas kemiri, lalu batu untuk memukul bambu. Kalau sekarang kan ada alat khusus yang dibuat untuk permainan ngadu muncang ini,” jelasnya.

Meskipun alat-alat modern mulai menggantikan bambu dan batu, prinsip dasarnya tetap dipertahankan. Perubahan ini menunjukkan bahwa tradisi bisa beradaptasi tanpa kehilangan esensinya.

Sayangnya, seperti banyak permainan tradisional lainnya, ngadu muncang kini jarang dijumpai. Banyak anak-anak yang bahkan belum pernah mendengarnya, apalagi memainkannya. Padahal, permainan ini bisa menjadi alternatif hiburan edukatif yang memperkuat nilai-nilai interaksi sosial, kreativitas, dan daya juang.

Ngadu muncang adalah bukti bahwa kebudayaan bisa hadir dalam bentuk paling sederhana, sebutir biji kemiri yang dijadikan medium untuk bermain, berkompetisi, dan membangun karakter. [UN]