Koran Sulindo – Kelereng dikenal dengan berbagai nama di negeri ini. Seperti di Betawi namanya gundu, di Jawa disebut keneker, masyarakat di daerah Sunda menyebutnya dengan kaleci, orang Palembang menyebutnya ekar, sedangkan di wilayah Melayu penyebutannya adalah guli, serta kleker adalah sebutan kelereng bagi orang Banjar.
Merupakan bola kecil dibuat dari tanah liat, marmer atau kaca untuk permainan anak-anak. Permainan ini dimainkan hampir di seluruh daerah di Indonesia. Kebanyakan memang dimainkan oleh anak laki-laki.
Baca juga Congklak : Permainan Tradisional yang Hilang
Bermain kelereng biasanya dilakukan di luar ruangan, bisa bermanfaat untuk melatih kemampuan motorik; selain itu mempunyai banyak manfaat lainnya seperti, dapat melatih anak agar pandai mengatur emosi; mengasah kemampuan berfikir; melatih tingkat kecermatan dan ketelitian; juga bermanfaat melatih kemampuan berkompetisi, hingga melatih kemampuan sosial (menjalin pertemanan) dan bersikap jujur.
Kelereng sebagai permainan tidak hanya dikenal di Indonesia. Di Asia Tenggara biji dan buah-buahan bulat digunakan sebagai kelereng. Bahkan di Birma kerang cowrie dipakai untuk permainan ini.
Studi-studi modern telah menunjukkan bahwa setiap komunitas besar di Asia Tenggara mempunyai lusinan mainan anak-anak dan banyak diantaranya serupa bentuknya dengan mainan-mainan di bagian dunia lainnya.
Sejak abad ke-12, di Perancis telah dikenal permainan kelereng yang disebut bille, yang artinya bola kecil, sedang orang Belanda menyebutnya knikkers. Ditengarai sekitar tahun 1694 ada permainan kelereng di Inggris, dan penyebutannya adalah marbles. Sebenarnya marbles adalah sebutan untuk kelereng yang terbuat dari marmer yang didatangkan dari Jerman. Kenyataannya masyarakat Inggris sendiri sudah sejak lama mengenal permainan ini dengan sebutan bowls atau knikkers. Di Turki pun dikenal permainan kelereng dengan sebutan hakantuncer.
Tahukah anda bahwa ada kejuaraan kelereng tingkat dunia yang diselenggarakan di Crawley, West Sussex, Inggris. Kejuaraan ini ternyata sudah berlangsung sejak tahun 1932 dan dimainkan tidak hanya oleh anak-anak, tetapi para pemuda, bahkan orang tua.
Kelereng tertua yang berhasil ditemukan berasal dari tahun 2000-1700 Sebelum Masehi dan merupakan koleksi The British Museum, London. Kelereng tersebut ditemukan di Kreta, Yunani, pada situs Minoan of Petsofa.
Bangsa Romawi Kuno dikenal sebagai bangsa yang begitu banyak menciptakan permainan, lebih dari bangsa manapun di dunia. Karena kehidupan sehari-hari mereka memang banyak didedikasikan untuk memainkan berbagai permainan. Permainan kelereng yang kita kenal sekarang pun merupakan permainan yang berasal dari bangsa Romawi Kuno.
Ada banyak referensi atas permainan biji-bijian bangsa Romawi ini. Penyair Romawi Ovid atau Publius Ovidius Naso (43SM-18M) penah menulis syair mengenai permainan satu ini. Raja Romulus Augustus, Kaisar Romawi Barat terakhir, bahkan diketahui juga memainkan permainan kelereng pada masa kanak-kanaknya.
Ada juga sejumlah relief yang menggambarkan anak-anak bermain kelereng dari biji-bijian. Bahkan, permainan ini menjadi salah satu bagian dari Festival Saturnalia, yaitu semacam perayaan menjelang Natal bangsa Romawi. Pada saat itu semua orang saling memberikan sekantung biji-bijian yang berfungsi sebagai kelereng tanda persahabatan.
Kelereng merupakan permainan yang populer di Inggris dan negara Eropa lain sejak abad ke-16 hingga abad ke-19. Sementara teknologi pembuatan kelereng kaca baru ditemukan pada 1864 di Jerman. Kelereng yang semula satu warna, menjadi berwarna-warni menyerupai permen. Hingga pada masa Perang Dunia II. Perang mengakibatkan pengiriman dan pembuatan kelereng kaca terpaksa terhenti. Teknologi ini pun kemudian segera menyebar keseluruh Eropa dan Amerika, sebelum kemudian di produksi secara besar-besaran dan dikembangkan masing-masing negara hingga keseluruh dunia.
Kelereng yang kita kenal sebagai permainan sehari-hari, yang kerap dimainkan di sore hari oleh anak-anak lelaki di kampung sebelah, ternyata mempunyai sejarah panjang dan perjalanan panjang untuk sampai di pekarangan kita. [Nora E]
Artikel ini pertama kali tayang di Koransulindo.com pada tanggal 14 Agustus 2021