Pada tahun 1914, Soetan Casajangan pulang ke tanah air. Mula-mula ia ditugaskan menjadi guru di Bogor. Beberpa bulan kemudian, ia ditempatkan menjadi guru di Sekolah Raja di Fort de Kock (Bukit Tinggi). Kemudian, ia juga pernah mengajar di berbagai tempat, seperti di Ambon, Dolok Sanggul (Tapanuli), dan Batavia. Mata pelajaran yang diajarkan oleh Soetan Casajangan meliputi matematika, ilmu ukur, sejarah, biologi, botani, fisika dan geografi. Tentu saja Soetan Casajangan mengajar bahasa Melayu dan bahasa Belanda. Pada periode 1917-1918 Soetan Casajangan menjadi asisten J.H. Nieuwenhuys dan D.A. Rinkes (penasehat urusan pribumi).

Sementara itu pemikiran-pemikiran Soetan Casajangan Soripada tentang pendidikan masih digalangnya. Soetan Casajangan pernah mengundang dalam suatu pertemuan tokoh-tokoh di daerah asalnya  (termasuk pegawai negeri pribumi) maupun perwakilan dari organisasi di akhir Agustus tahun 1915. Tema pidatonya dalam pertemuan itu tentang Kemakmuran di Nusantara yang dapat dikaitkan dengan ‘Pemerintahan Kolonial’  yang menitikberatkan kepentingan penduduk yang erat terkait dengan orang-orang dari pemerintah. Soetan Casajangan bertanya pada dirinya sendiri bagaimana orang bisa melindungi kepentingan sendiri dan orang-orang dari pemerintah jika mereka tidak punya senjata. Sarannya itu disambut para hadirin dan sebuah korps relawan dibentuk. Empat hari kemudian permintaan resmi yang ditandatangani oleh delapan puluh orang telah disampaikan kepada Asisten Residen. Hari berikutnya diresmikan dan dihadiri oleh Asisten Residen.

Di Padang Sidempuan, kampung halamannya, Soetan Casajangan menerbitkan surat kabar berbahasa Batak: Poestaha. Kehadiran koran berkala ini tidak saja telah memberikan pengetahuan bagi rakyat di Padang Sidempuan dan sekitarnya, tetapi juga telah membangkitkan kesadaran kebangsaan atas ketidakadilan pemerintah kolonial Belanda. Salah seorang anak-didiknya yang menjadi tokoh kebangkitan kebangsaan melalui Poestaha ini adalah Parada Harahap, yang kelak menjadi tokoh pers nasional. Parada Harahap pernah menjadi pemimpin redaksi Poestaha. Beberapa kali Parada Harahap ditangkap dan dipenjarakan oleh Belanda di Padang Sidempuan karena sering menulis artikel di Poestaha tentang ketidakadilan yang dialami masyarakat.

Jabatan terakhir Soetan Casajangan adalah Direktur Normaal School di Meester Cornelis, Batavia. Tapi, karena kondisi kesehatannya yang terus menurun, ia pun mengundurkan diri. Tak lama setelah pengunduran diri itu, ia meninggal dunia 2 April 1927 karena serangan stroke. [Satyadarma]