Pada tahun 1913, Soetan Casajangan menerbitkan sebuah buku kecil atau brosur berjudul: ‘Indische Toestanden Gezien Door Een Inlander’ (Negara Bagian di Hindia Belanda dilihat oleh Penduduk Pribumi). Brosur ini adalah sebuah monograf (kajian ilmiah) yang mendeskripsikan dan membahas tentang perihal ekonomi, sosial, sejarah budaya Asia Tenggara (Nusantara), khususnya pembangunan pertanian di Indonesia.

Meski masih dalam kerangka berpikir loyalis Kerajaan Belanda, brosur itu telah dilengkapi dengan sejumlah nada kritis. Soetan Casajangan mengemukakan tuntutan yang mendasar, bahwa persamaan di hadapan hukum bagi orang pribumi dan orang Belanda harus segera diwujudkan. Hal ini, tulis Soetan Casajangan: “…. mengacu pada hak yang lebih tinggi, yaitu hak asasi manusia. Apakah semua orang di negeri Belanda sama semua sifatnya, tabiatnya, kebajikannya, dan kemajuannya? Tidak ‘kan? Tapi, di hadapan undang-undang, semua orang di negeri Belanda sama, ‘kan?”

Soetan Casajangan mengambil contoh-contoh dari sejarah Tanah Batak untuk membuktikan kebenaran tuntutannya itu. Kesamaan di hadapan hukum itu harus berarti juga pemerintah secara luas menyelenggarakan pengajaran; dan waktu itu juga kembali ia mengemukakan rencananya mengenai program beasiswa untuk anak-anak kaum pribumi. Penerangan pertanian dan penggalakkan perdagangan pun juga merupakan tugas penguasa kolonial. Dengan menjadikan orang pribumi sama dalam hukum, dan dengan membuat mereka sama dalam kemajuan lewat pengajaran, maka mereka pun akan sama, kata Soetan Casajangan “dalam menyatakan kesetiaan dan keterikatan, dan dalam menghormati bendera Belanda.” (Poeze, 2008:81)

Brosur ini mendorong penyatuan yang lebih besar di kalangan perhimpunan kaum pribumi, seperti Perhimpunan Hindia (digagas oleh Soetan Casajangan dan kawan-kawan di Belanda), Boedi Oetomo (digagas oleh Wahidin Soedirohusodo dan dr. Soetomo di Batavia) dan Sarikat Dagang Islam (yang didirikan Haji Samanhudi di Solo). Brosur ini cukup mengejutkan berbagai pihak di kalangan orang Belanda, baik di Negeri Belanda maupun di Hindia Belanda. Bisa dikatakan, brosur ini adalah karya pertama orang pribumi yang diterbitkan dan diedarkan di Eropa. Lewat buku yang dicetak di Baarn oleh percetakan Hollandia-Drukkerij itu Soetan Casajangan menggugah warga Belanda untuk memperhatikan apa yang terjadi di Hindia.

Selama bermukim di Belanda, Soetan Casajangan juga menjadi mentor para pelajar dan mahasiswa yang belajar di Belanda, terutama yang berasal dari Tapanuli, tanah kelahirannya. Beberapa diantaranya kemudian menjadi tokoh terkemuka: Todung Soetan Goenoeng Moelia (pernah menjadi anggota dan Wakil Ketua Volksraad dan Menteri Pengajaran dalam Kabinet Sjahrir), Abdoel Firman gelar Mangaradja Soangkoepon (mahasiswa ilmu hukum di Leiden, yang kemudian dikenal sebagai vokalis Volksraad), dan Sorip Tagor Harahap (pelopor pendidikan kedokteran hewan di Indonesia).

Selain Perhimpunan Hindia, gagasan Soetan Casajangan yang direspon kalangan elit di Belanda adalah mengenai program beasiswa bagi anak-anak kaum pribumi. Berkat seruan dalam bentuk surat pembaca yang dikirimkannya ke suratkabar-suratkabar Belanda, ia memperoleh hasil yang cukup besar. Pernyataan simpati datang dari Ratu Emma, Pangeran Hendrik, dua bekas gubernur jenderal Hindia-Belanda, dan banyak orang lainnya. Pernyataan kesanggupan mengirim uang untuk program beasiswa itu datang mengalir. Sehingga pada akhir April 1930, atas dukungan dari Abendanon, mantan Menteri Pengajaran Belanda, dilangsungkanlah pembentukan dana seperti diusulkan Soetan Casajangan. Implementasi dari gagasan Soetan Casajangan ini adalah didirikannya Juliana Instituut. Dana abadi yang dikelola Juliana Institut ditujukan untuk persatuan dan kemajuan di Hindia-Belanda.