Sementara itu, Mahfud M.D. menjelaskan, penerapan fatwa MUI tak bisa disamakan dengan hukum positif di Indonesia. Fatwa MUI, ungkapnya, hanya sebagai pendapat hukum secara keagamaan. “Selama fatwa belum menjadi undang-undang sama sekali tidak mengikat secara hukum. Tidak bisa dijatuhi sanksi bagi yang melanggar,” kata Mahfud.
Kalau fatwa tersebut telah dipositifkan dalam undang-undang, tambahnya, barulah pelanggarnya bisa dikenakan sanksi. Misalnya penentuan halal atau tidaknya suatu produk, yang sudah dimasukkan ke dalam undang-undang. Dengan begitu, fatwa itu sudah dijadikan hukum positif negara.
Mengenai fatwa lainnya, misalnya larangan penggunaan atribut Natal bagi pekerja muslim, Mahfud menganggap hal tersebut tak diatur dalam hukum positif di Indonesia. Karena itu, pelanggarnya pun tak bisa dikenakan sanksi. “Salah kalau aparat penegak hukum sampai melarang, apalagi masyarakat biasa memaksa menegakkan fatwa itu. MUI juga salah kalau menegakkan karena belum jadi undang-undang,” tuturnya.
Akan halnya sanksi bagi yang melanggar fatwa MUI hanya bisa dirasakan setiap individu yang meyakini fatwa tersebut, misalnya muncul rasa bersalah. Kendati demikian, penerapan fatwa tak bisa diatur oleh siapa pun. “Bahkan umat Islam pun sendiri kalau tidak setuju dengan isi fatwa itu tidak apa-apa, tidak usah dipaksa, apalagi umat yang bukan Islam,” ujar Mahfud.
Sungguhpun begitu, lewat akun Twitter-nya pada Selasa malam, Mahfud juga menjelaskan fatwa MUI bisa sebagai penguat pembuktian unsur pidana, seperti yang diatur di dalam Pasal 156a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. “Tapi, bukan sebagai hukum yang berdiri sendiri. Hanya sebagai pendapat ahli,” tulisnya. [RAF]