Dalam kesempatan FGD, apa yang dinyatakan Tito tersebut dibantah Ketua Umum MUI K.H. Ma’ruf Amin. Karena, ungkapnya, fatwa yang dikeluarkan MUI sudah melalui serangkaian kajian yang panjang dan tidak sembarangan dikeluarkan. “Kalau dikatakan fatwa MUI bisa timbulkan benturan, menurut saya tidak ada benturan,” ujar K.H. Ma’ruf.

Dijelaskan Ma’ruf, hampir semua fatwa yang dikeluarkan MUI merupakan permintaan undang-undang. Misalnya soal penentuan halal atau tidaknya suatu produk, sudah diatur dalam undang-undang bahwa MUI adalah satu-satunya lembaga yang berwewenang mengeluarkan fatwa. “Juga prinsip perbankan syariah. Dalam undang-undang, yang menetapkan syariah dalam perbankan adalah MUI. Kemudian diregulasi OJK [Otoritas Jasa Keuangan], Kementerian Keuangan, atau oleh Bank Indonesia,” katanya.

K.H. Ma’ruf juga memberikan contoh fatwa MUI soal kelompok Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar), yang dinilai kelompok sesat. Fatwa tersebut dijadikan acuan oleh aparat penegak hukum untuk menindak tegas pengikutnya.

Menurut K.H. Ma’ruf, alasan lain MUI mengeluarkan fatwa atau sikap adalah tingginya desakan masyarakat terhadap fenomena tertentu. Itu sebabnya, MUI juga mengeluarkan sikap bahwa Ahok telah menistakan agama.

Setelah itu muncullah kelompok GNPF MUI, yang memobilisasi masyarakat dalam sejumlah aksi. Tapi, kata K.H. Ma’ruf, GNPF MUI bukan dibuat oleh MUI. “Itu masyarakat sendiri yang melakukan kegiatan. Menurut saya, fatwa itu murni permintaan masyarakat dan untuk kepentingan masyarakat,” tuturnya.

Sungguhpun begitu, Rais Aam Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama itu tak memungkiri fatwa MUI bisa disalahtafsirkan oleh masyarakat, bahkan hingga menimbulkan pelanggaran hukum. Jika yang demikian terjadi, MUI menyerahkan urusan itu kepada aparat penegak hukum. “Pada setiap fatwa disebutkan, masyarakat tidak boleh melakukan tindakan eksekusi dan harus diserahkan ke pihak berwewenang. Tapi, kadang ada masyarakat yang tidak patuh pada aturan,” ujar K.H. Ma’ruf.

Karena itu, ia setuju jika ada yang mengatakan fatwa MUI ada yang memiliki dampak yang harus diantisipasi. “Apa pun ada dampaknya, bahkan hukum dan kebijakan pemerintah pun ada dampaknya,” tuturnya. Para pihak, lanjutnya, harus mempersiapkan langkah antisipatif untuk mencegah munculnya konflik.

Misalnya soal fatwa larangan bagi perusahaan untuk memaksakan pekerjanya yang beragama Islam mengenakan atribut Natal.Dampaknya: ada sejumlah kelompok yang mengatasnamakan agama melakukan sosialisasi fatwa tersebut ke pusat perbelanjaan dan perusahaan. Malah, ada juga kelompok yang melakukan tindakan anarkistis, melakukan perusakan di sebuah kafe dan menganiaya pengunjung.

Dinyatakan K.H. Ma’ruf, jika kasus tersebut tak diambil langkah tegas, itu bisa memunculkan konflik lebih besar. “Maka, saya dan Kapolri melakukan press conference, menyampaikan tidak boleh ada sweeping. Sosialisasi harus dilakukan oleh MUI, harus dikawal polisi,” katanya.