Komisaris Jenderal Polisi M. Iriawan (kiri) saat dilantik sebagai Penjabat Gubernur Jawa Barat oleh Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo di Gedung Merdeka, Bandung, 18 Juni 2018.

Koran Sulindo – Komisaris Jenderal Polisi M. Iriawan dilantik sebagai Penjabat Gubernur Jawa Barat oleh Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo pada Senin (18/6) di Gedung Merdeka, Bandung. M. Iriawan atau Iwan Bule adalah perwira polisi yang masih aktif dan masih menjadi Sekretaris Utama Lembaga Ketahanan Nasional.

Tjahjo Kumolo mengungkapkan, dipilihnya Iwan Bule itu telah sesuai dengan undang-undang. Ia juga menyatakan, dirinya sebagai Menteri Dalam Negeri yang bertanggung jawab atas pemilihan tersebut, meski pengangkatan itu berdasarkan keputusan presiden (keppres). “Saya bertanggung jawab sesuai undang-undang. Tidak mungkin saya ajukan nama untuk keppres kalau melanggar undang-undang,” tutur Tjahjo melalui keterangannya kepada wartawan, Senin.

Dijelaskan Tjahjo, keluarnya keppres pasti jelas sudah ditelaah tim hukum Sekretariat Negara. Artinya: sudah sesuai aturan.

Kendati begitu, Tjahjo mengaku siap menerima kritik terkait dengan penunjukan Iriawan tersebut. “Saran, pendapat, kritik saya terima. Yang penting, saya tidak melanggar undang-undang,” katanya.

Sebelumnya, setelah melantik Iwan Bule, Tjahjo sempat mengatakan, dirinya menyodorkan nama Sekretaris Jenderal Kementerian Dalam Negeri Hadi Prabowo kepada Presiden Joko Widodo untuk menjadi Penjabat Gubernur Jawa Barat. Namun, Presiden Jokowi memilih M. Iriawan atau Iwan Bule. “Presiden Jokowi memilih Iriawan, ya, enggak apa-apa. Itu kan terserah presiden,” tutur Tjahjo.

Namun, pada Januari 2018, Tjahjo pernah mengatakan, dirinyalah yang mengusulkan agar perwira Polri menjadi penjabat gubernur. “Saya yang meminta dengan melihat tingkat kerawanan pilkada,” kata Tjahjo, 25 Januari  2018.

Kemudian, pada Februari 2018, pemerintah melalui Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Jenderal (Purn.) Wiranto pun menegaskan, tidak akan mengangkat perwira TNI atau polisi untuk menjadi penjabat gubernur.

“Untuk Jawa Barat dan Sumatera Utara sudah dipertimbangkan. Nanti ada kebijakan lain yang akan kami lakukan,” kata Wiranto di Jakarta, 20 Februari 2018.

Menurut pemerhati politik Said Salahudin, undang-undnag memang membuka ruang anggota kepolisian dan TNI untuk menduduki jabatan Aparatur Sipil Negara (ASN). ”Namun, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN tegas membatasi jabatan mana saja yang boleh diisi anggota Polri/TNI,” ujar Said di Jakarta, Senin.

Tidak semua jabatan ASN, seperti jabatan administrasi, jabatan fungsional, dan jabatan pemimpin tinggi untuk pegawai ASN bisa diisi oleh anggota Polri atau prajurit TNI. Pasal 20 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang ASN menjelaskan, anggota Polri atau prajurit TNI hanya diperbolehkan mengisi jabatan ASN tertentu saja, yaitu jabatan yang ada pada instansi pusat, tidak untuk jabatan pada instansi daerah.

“Apa itu instansi pusat? Instansi pusat adalah kementerian, lembaga nonkementerian, kesekretariatan lembaga negara, dan kesekretariatan lembaga nonstruktural. Pada pos-pos inilah anggota Polri dan prajurit TNI boleh ditempatkan,” kata Said.

Penempatan pada instansi pusat pun tidak bisa dilakukan sesuka pemerintah. Ada asas kepatutan yang penting diperhatikan. Misalnya untuk penempatan di Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawasan Pemilihan Umum.  “Apakah pantas jika anggota Polri atau prajurit TNI ditempatkan sebagai sekretaris jenderal di lembaga penyelenggara pemilu? Tentu ini kurang tepat,” tutur Said.

Kalau pada instansi pusat saja ada rambu-rambu etika yang harus diperhatikan oleh Menteri Dalam Negeri, apa lagi ditempatkan pada instansi daerah yang jelas-jelas ditutup pintunya oleh Undang-Undang ASN. Instansi daerah itu meliputi perangkat daerah provinsi dan kabupaten/kota yang terdiri dari sekretariat daerah, sekretariat DPRD, dinas daerah, dan lembaga teknis daerah.

Kalau menduduki jabatan setingkat sekretaris daerah saja tidak diperbolehkan oleh Undang-Undang ASN, apalagi jika anggota Polri atau prajurit TNI ditunjuk sebagai penjabat gubernur. “Itu lebih tidak masuk akal lagi. Karena itu, saya menentang keras penunjukan perwira tinggi Polri sebagai penjabat gubernur. Hormatilah amanat Reformasi yang menghendaki penghapusan Dwifungsi ABRI, termasuk Dwifungsi Polri. Mari cintai institusi Polri dengan mengawalnya di jalan yang benar,” kata Said lagi

Sementara itu, dalam wawancara yang disiarkan sebuah televisi swasta, pakar tata negara yang mantan Ketua Hakim Konstitusi mengatakan, penunjukan M. Iriawan sebagai Penjabat Gubernur Jawa Barat secara yuridis tidak salah, karena polisi sekarang sudah menjadi bagian dari pemerintahan sipil. “Tapi, kemudian timbul pro-kontra. Terutama yang kontra, menganggap itu kurang fair. Nah itu, kalau sudah kurang fair itu bukan soal yuridis, tapi soal etis,” ujar Mahfud. [RAF]