Koran Sulindo – Sepanjang sejarah Indonesia tak pernah mengenal istilah pemilu rakyat, bahkan pemilu tahun 1955 sekalipun. Tak ada yang berbeda, kecuali tingkat kebebasan ‘demokrasi’ yang ditunjukkan oleh perimbangan politiknya. Semua tetap menjadi hajatan golongan borjuis, khas politik liberal.
Boleh saja orang mengklaim pemilu tahun 1955 dan 1999 sebagai hajatan yang paling bebas sekaligus merakyat. Namun, pemilu-pemilu itu tak lebih menjadi sekadar politik petung. Praktik itu mengacu pada modal yang dikeluarkan politisi untuk konstituennya namun menarik dukungan politik sebagai imbalannya.
Tak cuma imbalan politik, di ujung yang paling jauh kapital mesti balik dalam hitungan berkali-kali lipat ketika mereka berkuasa. Pemilu menjadi pasar di mana hal-hal ideologis diberi harga dan diperjualbelikan. Pemilu legislatif, pun juga pemilihan presiden tak berbeda. Pemenangnya adalah mereka yang punya uang atau paling tidak disokong oleh mereka yang punya uang.
Tengok saja audit dana kampanye pemilu presiden putaran pertama tahun 2004. Pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla yang menjadi pemenang menghabiskan uang hingga Rp 71.2 miliar. Jumlah itu hanya di urutan ketiga setelah pasangan Wiranto-Salahuddin Wahid sebesar Rp 86.2 miliar dan Megawati-Hasyim Muzadi senilai Rp 85.9 miliar. Sedangkan dua pasangan lain yakni Amien Rais-Siswono Yudo Husodo dan Hamzah Haz-Agum Gumelar mengeluarkan dana kampanye Rp 31.6 miliar dan Rp 16.2 miliar.
Tanpa satupun calon meraih suara lebih dari 50 persen dalam putaran pertama, dua pasangan teratas diadu ulang yakni Megawati-Hamzah Haz vs SBY-JK. SBY-JK menang telak dengan perolehan 60,62 dibanding 39,38 persen.
Selain modal dari kocek sendiri, secara formal akumulasi dana kampanye itu bisa dikumpulkan dari sumbangan pribadi, perusahaan atau cara-cara lain.
Lima tahun berikutnya, SBY kembali maju sebagai calon presiden menggandeng pasangan berbeda, Boediono. Bekas wakilnya, Jusuf Kalla tampil sebagai lawan berpasangan dengan Wiranto. Sedangkan Megawati Soekarnoputri memilih berpasangan dengan Prabowo Subianto.
Catatan KPU menyebut SBY-Boediono mengeluarkan biaya kampanye sebesar Rp 232.5 miliar, Megawati-Prabowo Rp 260.14 miliar sementara JK-Wiranto menghabiskan dana hingga Rp 83.3 miliar.
Meski diikuti tiga pasangan calon, SBY-Boediono menang satu putaran dengan merebut 60,80 persen suara, jauh meninggalkan Megawati-Prabowo dan JK-Wiranto yang hanya meraup 26,79 persen dan 12,41 persen.
Pada pilpres terakhir tahun 2014 lalu, pasangan Joko Widodo dan Jusuf Kalla menggelontorkan Rp 311.8 miliar sedangkan ‘Prabowo Subianto-Hatta Rajasa ‘hanya’ menghabiskan Rp 166.5 miliar. Jokowi-JK mengalahkan pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dengan kemenangan tipis yakni 53,15 persen banding 46,85 persen.
Semua angka-angka itu adalah angka resmi karena didasarkan pada laporan pasangan calon presiden, jumlah sesungguhnya tentu saja berkali-kali lipat. Dari mana uang sebesar itu didapat? Tentu saja dari cukong yang tak peduli besar atau kecil jelas niatnya menyumbang bukan nir pamrih.
Ketidaksetaraan kekuatan ekonomi yang njomplang antar warga negara selalu memicu tendensi ketidaksetaraan politik. Pemilu tereduksi semata-mata sebagai ajang pertarungan kepentingan para oligark, bukan sebagai cara yang jujur dan demokratis untuk menyeleksi pemimpin kompeten dan memiliki integritas.
Oligarkhi
Rakyat tidak memilih apa yang mereka kehendaki karena telah ‘dipilihkan’ elit politik yang memiliki kekuasaan formal dalam institusi demokrasi. Bagaimana bisa disebut sebagai pilihan rakyat luas jika mereka mesti melalui saringan internal partai yang tentu saja penuh petung.
Lepas dari belenggu ketat Orde Baru, praktik demokrasi sejak era reformasi sudah benar-benar kebablasan di satu kaki, namun terpejara politik oligarki di kaki yang lain. Keruntuhan rezim otoriter Soeharto, eforia justru tampil lebih dominan sekaligus lupa tugas utama yakni melenyapnya kekuatan oligarki yang dibesarkannya.
Mereka justru berhasil mengonsolidasi diri dengan era baru yang ternyata jauh lebih menguntungkannya. Ini merujuk pada fakta bahwa posisi strategis di berbagai institusi publik dan partai politik bahkan hingga saat ini rata-rata adalah wajah-wajah lama.
Gerombolan oligark itu, termasuk mereka yang sangat diistimewakan di rezim Soeharto dalam relasi patron-client justru tampil sebagai pendukung utama reformasi. Rakyat ditipu dengan politik pencitraan yang dipoles media, yang tentu saja milik mereka. Mereka mampu menaklukkan ‘kekuasaan’ negara sekaligus melakukan kerusakan oposisi masyarakat sipil yang menyebabkan oligarki sukses menancapkan dominasi politiknya.
Oligarki adalah bentuk pemerintahan yang kekuasaan politiknya secara efektif dipegang oleh kelompok elit kecil dari masyarakat, baik menurut kekayaan, keluarga, atau militer.
Berbeda dengan kaum elit pada umumnya yang cenderung menggunakan kekuasaan non-material, oligark mengeksploitasi kesenjangan sumber daya material untuk memenangkan konstestasi politik. Biaya politik yang mahal dan tradisi politik transaksional menjadi salah satu pemicu begitu mudahnya oligark ini menentukan kekuasaan politik.
Jauh-jauh hari praktik demokrasi semodel itu sudah begitu menjadi kekhawatiran utama Bung Karno. Liberalisme di lapangan ekonomi jamak diikuti hal serupa di lapangan politik. Dengan menguasai koran-koran, radio, sarana pendidikan, rumah sakit, dan peribadatan, borjuis mengontrol produksi pengetahuan sekaligus paling siap memenangkan pertarungan dalam pemilihan umum.
Bung Karno menyebut demokrasi cuma bisa menyediakan demokrasi politik semata, sedangkan demokrasi ekonomi di mana hak massa rakyat berhak mengontrol alat-alat produksi tidak pernah terjadi. “Setiap orang memerlukan kampanye, propaganda, dan logistik atau sumber daya. Dan kita tahu, kaum borjuis-lah yang menguasai semua alat-alat propaganda dan logistik,” kata Bung Karno.
Menurut Bung Karno, meski hakikatnya semua warga negara memiliki hak dan mendapatkan perlakuan sama, namun karena kekuatan ekonominya berbeda kesetaraan hak itu pada praktiknya batal. “Si pemegang uanglah yang bisa membiayai surat-kabar, membiayai propaganda,” kata Bung Karno.
Cacat bawaan
Jauh sebelum Bung Karno mengumandangkan Manifestasi Politik, UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia atau Manipol Usdek, masa-masa awal pergerakan menjadi bulan madu ‘kekuatan’ rakyat. Masa itu ditandai bersatunya kelas buruh dan kelas kapitalis yang kedua-duanya masih sangat muda. Imperialisme yang dianggap sebagai tahapan terakhir kapitalisme baru muncul dan menampilkan kontradiksinya yang memuncak di Perang Dunia I.
Perang itu tak lebih dari adu otot antar sesama imperialis yang bertujuan ‘membagi’ ulang dunia di bawah kekuasaannya. Kontradiksi imperialisme inilah yang memicu tumbuhnya kesadaran negara-bangsa di antara rakyat-rakyat yang terjajah. Terutama dimulai dari lapisan atas yang paling tipis, golongan intelektual.
Golongan inilah yang kemudian memercikkan perjuangan pembebasan nasional di Indonesia dan juga koloni-koloni lainnya. Rakyat Indonesia bangkit menantang kaum kapitalis sekaligus menuntut kemerdekaan nasional mereka. Selain Belanda, perlawanan itu juga ditujukan pada ide imperialisme secara umum.
Sayangnya, intelektual borjuis yang lahir di era imperalis itu mengusung cacat permanen. Mereka jelas berwatak peragu dan penuh kebimbangan akibat dua karakter bawaannya yakni ketergantungan pada modal asing dan ketakutan pada kelas pekerja. Bahkan, mereka lebih takut pada rakyat pekerja mereka sendiri dibanding tuan mereka si imperialis.
Sejarah mencatat, satu-satunya pukulan serius yang menantang imperialisme Belanda justru tak dilakukan golongan borjuasi nasionalis. Tetapi oleh kelas buruh lewat partainya dengan Partai Komunis Indonesia. Di antara kelompok-kelompok politik lainnya di Indonesia di masa-masa awal pergerakan PKI merupakan organisasi politik dengan militansi, jumlah anggota, simpatisan, basis massa dan pengaruh terbesar.
Tan Malaka dalam Massa Aksi mencela partai-partai borjuis di Indonesia seperti Budi Utomo yang digambarkannya sebagai partai yang semalas-malasnya partai borjuis di Indonesia. Mereka dianggap tak mau dan bahkan tak menggunakan cara-cara borjuis radikal dan emoh menggerakkan rakyat.
“Sesungguhnya bukan kualitas pimpinan itu sendiri yang menyebabkan partai-partai borjuasi Indonesia beriring-iring patah di tengah. Karena kapital besar bumiputra tidak ada, program nasional dan organisasi mereka sebagai partai borjuis tak tahan hidup.”
Mengejek National Indische Party, Tan Malaka menyebut, “dengan pikiran pincang dan ragu-ragu tidak dapat juga NIP ‘mencium’ kebangsaan Indonesia berdiri dengan sebelah kakinya di sisi jurang imperialisme dan sebelah lagi di sisi jurang kebangsaan Indonesia. Jangankan aksi revolusioner, mogok saja jauh dari keinginan Indo anggota NIP.”
Borjuasi Indonesia dianggap tetap berada di bawah jempol kapital asing yang jauh lebih besar dan terus menerus memelihara ketergantungannya. Mereka inilah yang dianggap lemah dan beriring-iring patah di tengah usaha memenuhi tugas-tugas nasional dan demokratis.(TGU)