Aceh dan Daerah Lain

Perempuan kombatan ada banyak dalam sejarah Aceh. Perang yang panjang dengan Belanda selama puluhan tahun sejak 1873 membentuk militansi yang tidak dibatasi gender. Sesudah generasi Cut Nyak Dien dan Cut Meutiah, pada masa setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dibentuk Pocut Baren, sayap Barisan Rencong. Organisasi ini sebeutlnya bentukan Pesindo, organisasi yang dalam sejarah Indonesia di beberapa tempat diidentifikasi sebagai “sayap kiri”, namun di Aceh agak berbeda.

Komandannya bernama Zahara. Perempuan tentara (kebanyakan masih remaja) ini disebut secara terang-terangan dalam buku Sumatera Utara yang diterbitkan Kementerian Penerangan (1953) dan sebuah buku Perang  Kemerdekaan di Aceh 1945-1949. Namun, tidak dijelaskan dalam pertempuran apa resimen ini terlibat.

Selama Perang Kemerdekaan, Aceh merupakan daerah yang tidak berani dimasuki Belanda. Pada 1945 dan 1946 malah terjadi konflik berdarah dalam kelompok uleebalang dengan ulama. Tapi, resimen perempuan ini memang dilatih kemiliteran.

Nama pasukan Pocut Baren diambil dari Pocut Baren (1880-1933), seorang pahlawan dan perempuan kombatan yang gugur dalam Perang Aceh. Pocut Baren masih berusia 18 tahun ketika kehilangan suaminya pada 1898. Dia melanjutkan perjuangan melawan Belanda. Tentara Belanda menjadikan dia sebagai salah satu prioritas, karena keberadaannya dianggap berbahaya.

Pada 1906, dalam suatu pertempuran di Kuala Bhee, Baren tertembak di kakinya dan ditawan pasukan Marsose.Dia kemudian dibuang ke Jawa.

Keberadaan Pocut Baren memang jarang diungkap dalam penulisan sejarah Indonesia. Dalam artikel yang ditulis Elsa Clave Celik  dalam jurnal  Archipel 87 tahun 2014., “Silenced Fighters: AnInsight into Woman Combatans History in Aceh (17th-20th)”, ada kisahnya.

Masih banyak perempuan kombatan atau kiprah perempuan di garis depan pertempuran. Ada juga Soemartini (tokoh Laskar Puteri Indonesia) dan Sri Koeshartini yang bergabung di Brigade Pelajar Ke-17 di Yogyakarta dan Jawa Tengah. Namun, seperti halnya Pocut Baren, kiprah mereka juga hanya disebutkan sepotong-potong.

Latar belakang  pendiri Laskar Puteri Indonesia, disebutkan dalam beberapa referensi, masih memiliki “darah” keraton. Rata-rata pendidikannya SMP.

Pada Oktober 1945, jumlah pasukan Laskar Puteri Indonesia sekitar 120 orang. Mereka berlatih ketentaraan dan punya lagu mars sendiri. Petikannya: “Marilah kawan-kawan Laskar/Puteri Indonesia, Mari capai tujuan Indonesia yang merdeka/marilah teman-teman.

Menurut sebuah artikel yang ditulis oleh Nur Janti dalam Historia, di front Sumatera Utara juga ada pasukan perempuan bernama Barisan Srikandi, yang dibentuk Kayatin Sahir Nitihardjo dan Hadjah Siregar. Kayatin punya peran sebagai kurir, telik  sandi, dan pernah ditangkap pasukan Gagak Hitam KNIL. Dia juga menyalurkan obat-obatan ke berbagai front dan juga mengakali Belanda untuk mendapatkan peluru. [Irvan Sjafari]