Perempuan kombatan dalam Perang Kemerdekaan.

Koran Sulindo – Harus diakui, penulisan sejarah Perang Kemerdekaan lebih banyak menonjolkan laki-laki, baik di bidang politik (termasuk diplomasi) maupun di medan tempur.  Peran perempuan memang ada juga disebutkan, namun lebih banyak ditempatkan di bidang domestik, seperti dapur umum atau merawat tentara atau pejuang yang luka. Padahal, sumber untuk penulisan sejarah tentang peran perempuan di front pertempuran bisa dikatakan tak sedikit.

Yang paling menonjol bisa dilihat pada periode awal Perang Kemerdekaan, tahun 1945 hingga Perjanjian Linggarjati pada Maret 1947. Para perempuan Republik Indonesia yang bertempur bukan hanya ada di Jawa, tapi juga di sejumlah daerah lain.

Sebenarnya, jauh sebelum Perang Kemerdekaan juga sudah ada perempuan kombatan di Nusantara. Dari Aceh, misalnya, bisa disebut nama Laksamana Keumlahayati, Cut Nyak Dien, dan Cut Meutiah. Di Minagkabau ada Siti Mangopoh (Manggopoh), yang memimpin Pemberontakan Kamang 1908.

Maluku juga  punya Martha Christina Tihahu, yang terlibat dalam pertemuran di Desa Ouw, Saparua, ketika terjadi Pemberontakan Saparua pada 1817. Di Jawa ada Nyi Ageng Serang atau Raden Ajeng Kustiyah Wulaningsih Retno Edi, Panglima Perang Sultan Hamengku Buwono I dan ikut berperang melawan pasukan Belanda ketika pecah Perang Jawa atau Perang Diponegoro, 1825-1830.

Yang menarik, dalam Perang Kemerdekaan, keikutsertaan perempuan di medan tempur justru sempat mengundang polemik di media yang terbit di masa itu, apakah bisa dibenarkan atau tidak sesuai “kodrat” perempuan. Kenyataannya, sejumlah perempuan membuktikan mereka sama saja dengan laki-laki.

Laskar Wanita Indonesia

Pada masa Perang Kemerdekaan ada Laskar Wanita Indonesia (Laswi). Penggagasnya istri seorang perwira TNI, Arudji Kartawinata, yang berkeinginan kaum perempuan bisa ikut dalam medan pertempuran. Sang suami mengabulkan keinginan istrinya dan Laswi kemudian membuktikan kaumnya bukan hanya “pemanis” dalam Perang Kemerdekaan.

Mortir telah berdentoem/Tandanja moelai kami bikin berangkat ke medan perang/Seandainja beta goegoer di medan pertempoeran/selimoetilah badan ini dengan Sang Merah Poetih.

Demikian salah satu syair yang tersimpan dalam saku baju salah seorang anggota Laswi di Ciparay, Jawa Barat, yang gugur suatu hari pada Agustus 1946. Pesawat tempur terbang rendah sekali dan mengebom dan menembak asrama tempat 40 anggota Laswi berada. Serangan pesawat itu diikuti serangan mortir.

Laswi yang berada di sana sudah pernah mengalami serangan beberapa kali. Namun, serangan pada  Agustus 1946 lebih besar. Tiga anggota Laswi gugur dalam serangan tersebut.

Ada juga syair kedua di saku anggota Laswi itu, yang diambil dari lagu “Halo-Halo Bandung”.

Halo-halo Bandoeng/Iboekota Priangan/Halo-halo Bandoeng/kota kenang-kenangan/ telah lama beta tidka bertemoe dengan kau/walaopeon telah mendjadi laooetan api, Mari Boeng Reboet kembali.

Syair kedua dari anggota Laswi yang gugur itu memperkuat bahwa lagu “Halo-Halo Bandung” terinspirasi dari peristiwa Bandung Lautan Api. Pencipta lagu ini sendiri sampai sekarang masih menjadi polemik, walaupun ada yang mengatakan penciptanya adalah komponis terkemuka asal Betawi, Ismail Marzuki atau Bang Maing.