Sumatera Barat

Ranah Minang punya Rahma El Yunusiyah, perempuan yang membidani pembentukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) Kota Padang Panjang pada 1945. Dia bergerak mengumpulkan bekas anggota Giyugun, mengusahakan logistik, dan melakukan pembelian senjata dengan harta yang ia miliki.

Dalam beberapa literatur dikatakan, Rahma juga mengatur dapur umum di Kompleks Perguruan Diniyah Putri yang ia dirikan dan ia pimpin, untuk kebutuhan TKR. Kiprah perempuan kelahiran 1900 ini memang lebih banyak di bidang pendidikan

Rahmah juga disebut berperan dalam pembentukan berbagai barisan perjuangan umat Islam, termasuk Laskar Sabilillah dan Laskar Hizbullah. Ia bahkan memimpin penyediaan logistik dan persenjataan untuk laskar Republik.

Beberapa sumber primer memang belum ada yang menyebutkan namanya. Buku Sumatera Tengah yang diterbitkan Kementerian Penerangan (1953) hanya menyebutkan soal pembentukan TKR dan Laskar Muslimin Indonesia dengan sayap putrinya Laskar Muslimat di Padang Panjang pada 24 Desember 1945.

Dicatat pula Partai Politik Tirikat Indonesia membentuk Puteri Ksatria pada Juni 1946. Anggota Puteri Ksatria mendapat latihan kemiliteran, selain latihan Palang Merah. Tidak ada catatan yang mengatakan perempuan kombatan ini terlibat konflik bersenjata seperti Laswi di Jawa. Namun, buku itu menyebutkan, pada waktu Agresi Militer I Belanda, Juli 1947, beberapa anggota Barisan Sabil Perempuan terbunuh ketika mereka menjadi anggota barisan Palang Merah.

Sebuah artikel di situs tirto.id berjudul “Rahma El Yunusiyah Memperjuangkan Kesetaraan Muslimah” menuliskan, Rahmah El Yunusiyah tertangkap di lereng Gunung Singgalang pada 7 Januari 1949, ketika turut bergerilya melawan pasukan Agresi Militer II Belanda. Ia dijebloskan ke rumah tahanan perempuan di Padang selama tiga bulan, kemudian menjadi tahanan kota selama lima bulan berikutnya.

Itu artinya perempuan kombatan di Sumatera Barat—seperti halnya Siti Manggopoh waktu Perang Kamang—ada dalam Perang Kemerdekaan.

Dalam cerita rakyat Ranah Minang juga ada tokoh Sabai nan Aluhi,  yang menembak mati musuh ayahnya dengan senapan lantak.  Secara tak langsung cerita itu  mengungkapkan, persamaan derajat perempuan dan laki-laki di Ranah Minang diakui dalam budaya, termasuk menjadi kombatan.