Puluhan tahun lampau, Bung Karno telah mengatakan, rakyat Indonesia akan mengalami celaka, bencana, malapetaka dalam waktu dekat kalau soal makanan rakyat tidak segera dipecahkan, sedangkan soal persediaan makanan rakyat ini bagi kita adalah soal hidup atau mati. “Camkan, sekali lagi camkan, kalau kita tidak camkan soal makanan rakyat ini secara besar-besaran, secara radikal dan revolusioner, kita akan mengalami malapetaka!” kata Bung Karno dalam pidatonya pada peletakan batu pertama Fakultas Pertanian Universitas Indonesia—kelak bernama Institut Pertanian Bogor—pada 27 April 1952.
Pada tahun itu, tiga tahun setelah penyerahan kedaulatan oleh Belanda, ekonomi Indonesia memang masih morat-marit. Harga beras naik berkali-kali lipat. Bahaya kelaparan terus mengintai rakyat. Bahkan di desa-desa ada rakyat yang makan bonggol pisang.
Pada kesempatan tersebut, Bung Karno bicara panjang-lebar soal pangan dan masa depan bangsa. “Pidato saya ini mengenai hidup matinya bangsa kita di kemudian hari,” katanya.
Soal kedaulatan pangan juga menjadi bagian dari visi-misi pasangan Joko Widodo dan Jusuf Kalla ketika berkampanye dalam Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 2014 lalu. Jokowi-JK berjanji akan menyusun kebijakan mengendalikan impor pangan melalui pemberantasan mafia impor. Para mafia ini disebut hanya mencari keuntungan untuk pribadi dan kelompoknya sehingga mengorbankan kepentingan pangan nasional. Kemudian, pemerintah juga akan mengembangkan ekspor pertanian berbasis pengolahan pertanian dalam negeri.
Selanjutnya, gagasan Jokowi-JK untuk mencapai kedaulatan pangan adalah pencanangan 1.000 desa berdaulat benih hingga 2019. Juga meningkatkan kemampuan petani, organisasi tani, dan pola hubungan dengan pemerintah, terutama melibatkan secara aktif kaum tani perempuan sebagai tulang punggung kedaulatan pangan.
Namun, peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Ahmad Heri Firdaus, mengatakan klaim-klaim pemerintah dalam capaian kedaulatan pangan jauh panggang dari api. Justru impor beras hingga Oktober 2016 meningkat dan melebihi dibanding tahun lalu. Pada 2015, impor beras mencapai US$ 351 juta; sementara tahun ini, terutama periode Januari hingga Juli 2016, impor beras menurut data Badan Pusat Statistik mencapai US$ 447 juta. Jauh melebihi jumlah tahun lalu. “Desember bahkan bisa naik 200 persen impor beras,” kata Heri. Selain beras, impor terhadap bahan pangan seperti gandum juga meningkat hingga 50% pada tahun ini, mencapai US$ 1,49 miliar. Sementara itu, catatan Badan Pusat Statistik menyebutkan, impor beras naik hampir lima kali lipat pada tahun ini.
Sepanjang Januari hingga September 2016, beras impor yang masuk ke Indonesia mencapai 1,14 juta ton. Padahal, periode yang sama tahun lalu hanya 229.611 ton. Atas fakta ini, Kementerian Pertanian berdalih impor beras tahun ini hanya berupa beras premium untuk kebutuhan hotel, restoran, dan kafe.
Dengan kondisi seperti itu, tak mengherankan jika The Economist Intelligence Unit’s lewat Global Food Security Index menempatkan Indonesia di posisi 73 dari 113 negara. Artinya, indeks ketahanan pangan Indonesia masih rendah dan rapuh. Bahkan, Indonesia masih kalah jika dibandingkan Kazakhstan dan Botswana, yang masing-masing berada pada posisi 68 dan 54. [PUR]