Koran Sulindo – Pada Kamis pagi ini (26/1), trending topics di Twitter memuat hastag atau tanda pagar Patrialis Akbar, hakim Mahkamah Konstitusi (MK) yang mantan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Isinya antara lain soal adanya informasi operasi tangkap tangan yang dilakukan Tim Satgas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di sebuah hotel di Jakarta. Dan, yang dikabarkan ditangkap dalam operasi tersebut adalah Patrialis Akbar. Namun, sampai berita ini diturunkan belum ada keterangan resmi dari pihak KPK.
Selain Patrialis diinformasikan juga ada dua orang lagi yang ditangkap dalam operasi itu. Pihak KPK, katanya, menyita pula sejumlah uang tunai dalam operasi tersebut.
Entah ada hubungannya atau tidak, MK sebelumnya telah membuat keputusan mengenai Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Dalam keputusan tersebut, hakim MK memutuskan tindak pidana korupsi menurut Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi harus memenuhi adanya kerugian negara atau perekonomian negara yang nyata. Putusan MK Nomor 25/PUU-XIV/2016, menurut Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), tidak tepat dan mengaburkan pengertian korupsi itu sendiri.
Dalam siaran pers yang dikeluarkan PSHK dinyatakan, apabila ditelisik lebih jauh, tidak ada persoalan norma pada kedua pasal itu. Inti delik (bestandelen) dari kedua pasal itu adalah “memperkaya diri sendiri dan/atau orang lain secara melawan hukum” dan bukan pada “dapat merugikan keuangan negara”.
“Kedua pasal itu hanya menempatkan unsur ‘dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara’ sebagai elemen delik. Apalagi MK melalui Putusan Nomor 003/PUU-IV/2006 sudah menyatakan bahwa pemaknaan merugikan keuangan atau perekonomian negara tidak merupakan akibat yang harus nyata terjadi,” demikian siaran pers PSHK.
Karena itu, menurut lembaga swadaya masyarakat tersebut, jika suatu tindakan memenuhi unsur memperkaya diri sendiri dan/atau orang lain secara melawan hukum sudah terpenuhi, tindak pidana korupsi sudah terjadi. Sebaliknya, kalaupun sudah ada kerugian negara tetapi unsur memperkaya diri sendiri dan/atau orang lain secara melawan hukum tidak terpenuhi, tindak pidana korupsi belum terjadi.
“Interpretasi dan pelaksanaan penegakan hukum harus diakui selama ini turut mengaburkan pengertian kedua pasal itu. Seakan-akan harus ada kerugian negara untuk terpenuhinya delik menurut Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Penegak hukum pun cenderung menunggu dan bergantung pada hasil audit pemeriksa keuangan. Hal ini dilakukan hanya untuk tujuan memudahkan pembuktian. Tidak ada persoalan norma dari kedua pasal itu,” ungkap pihak PSHK.
Namun, lanjutnya, penghilangan kata “dapat” pada kedua pasal itu oleh MK membawa pengertian yang sama sekali jauh berbeda. MK tidak berhasil mendudukkan pengertian kedua pasal itu sebagaimana mestinya melainkan membentuk norma yang akhirnya mengaburkan pengertian korupsi menurut kedua pasal itu sekaligus menyulitkan pemberantasan korupsi.
Dengan adanya putusan tersebut, dampak yang akan terjadi adalah pengusutan kasus korupsi berdasarkan Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi akan sulit sekali dilakukan. “Hampir dipastikan mustahil ada Operasi Tangkap Tangan meskipun Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi terpenuhi,” demikian PSHK.
Dengan begitu, KPK dan penegak hukum lainnya akan sangat bergantung pada pemeriksa keuangan, yang menurut Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016 adalah Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK). “Selain itu, tentu yang paling perlu diwaspadai adalah gelombang upaya hukum untuk kasus-kasus berjalan dengan dalih Putusan MK tersebut. Apabila BPK tidak segera mengeluarkan perhitungan kerugian negara yang nyata (actual loss) atas permintaan penegak hukum, dapat dipastikan para terdakwa akan melenggang bebas,” kata PSHK. [PUR]