Sekolah Pelayaran Zaman Jepang
PADA Perang Asia Timur Raya atau dikenal sebagai Perang Pasifik, Jepang mulai terdesak oleh pasukan Sekutu pada tahun 1943, terutama setelah jatuhnya Guadalacanal, yang merupakan basis kekuatan Jepang di Pasifik. Akibatnya, kebutuhan logistik Jepang untuk perang semakin meningkat.
Jepang kemudian membuat aturan untuk bangsa Indonesia yang mereka sedang jajah: menyerahkan bahan makanan 30% untuk pemerintah, 30% untuk lumbung desa, dan 40% menjadi hak pemiliknya. Penyerahan bahan pangan dan barang secara besar-besaran itu dilakukan melalui organisasi bentukan mereka, yakni Himpunan Kebaktian Rakjat Djawa (Jawa Hokokai) yang didirikan pada 1 Maret 1944 dan semacam koperasi pertanian (Nagyo Kumiai). Juga melalui instansi resmi pemerintah.
Untuk peperangan di laut melawan pasukan Sekutu, juga untuk membawa logistik dari Pulau Jawa dan sekitarnya ke berbagai pangkalan militernya, terutama ke Filipina, Jepang membuat banyak pabrik kapal kayu: di Semarang, Pekalongan, Tegal, Jakarta, dan Singapura. Jepang membutuhkan kapal pengangkut logistik, karena kapal-kapal milik Angkatan Laut Kerajaan Belanda, Koninklijke Marine [KM], sudah dilarikan ke Australia. Anak buah kapalnya juga lari ke sana, yang di antaranya banyak juga orang Indonesia. Padahal, Jepang juga banyak membutuhkan pelaut yang akan mengawaki kapal mereka.
Angkatan Laut Kekaisaran Jepang (Kaigun) kemudian menugaskan suatu perusahaan Jepang, Jawa Unko Kaisha, untuk mendirikan sekolah pelayaran. Ada dua jenis sekolah yang didirikan Jawa Unko Kaisha, yakni Sekolah Pelayaran Tinggi untuk menghasilkan perwira serta Sekolah Pelayaran Rendah untuk anak buahnya, bintara atau kelasi.
Para pengajar sekolah pelayaran ini antara lain para pemuda yang sebelumnya mengeyam pendidikan pelayaran di masa Belanda, bahkan dilatih oleh KM, seperti Raden Eddy Martadinata (mantan Menteri/Panglima Angkatan Laut) dan Ali Sadikin (mantan Gubernur DKI Jakarta). Juga ada beberapa orang Belanda. Mereka dijadikan guru bantu di sekolah-sekolah pelayaran, yang antara lain didirikan di Surabaya, Semarang, Tegal, Cilacap, Jakarta, Makassar, dan Singapura. Murid yang telah lulus dan punya prestasi bagus, peringkat satu sampai tiga, juga ada yang diminta menjadi guru bantu.
Karena tenaga pelayaran ini sangat dibutuhkan, Jepang memaksa murid-murid kelas tiga MULO yang punya prestasi bagus, ranking satu sampai tiga, untuk melanjutkan sekolah di Sekolah Pelayaran Tinggi, sementara yang punya peringkat di bawah itu masuk ke Sekolah Pelayaran Rendah.
Karena kebutuhan untuk tenaga pelayaran terdidik mendesak, Tentara Fasis Jepang lewat Jawa Unko Kaisha memadatkan rentang belajar di sekolah ini hanya sembilan bulan per kelompok. Ada tiga kelompok: A, B, dan C. Setiap kelompok terdiri dari 30 sampai 50 anak.
Materi pengajarannya meliputi pengetahuan umum, ilmu kelautan, astronomi, dan navigasi. Para pelajar di sekolah pelayaran tinggi antara lain diajarkan menggunakan sextant, alat navigasi di laut yang digunakan untuk mengukur ketinggian benda-benda langit di atas cakrawala, agar dapat menentukan posisi kapal. Sextant umumnya berbentuk segitiga, yang salah satu kakinya berupa busur. Ketika menggunakan sextant, kami juga dibekali buku yang berisi gambar konstelasi benda-benda langit.
Selama enam bulan pertama, mereka belajar di kelas. Setelah itu, tempat belajar pindah ke kapal latih yang berada di tengah laut. Para pelajar tersebut diajarkan praktik langsung di kapal selama tiga bulan. Kelak, para lulusan sekolah pelayaran tinggi dan rendah ini banyak menjadi tokoh penting dalam Angkatan Laut Republik Indonesia. [PUR]
* Tulisan ini pernah dimuat pada 27 Januari 2018