PADA AWAL tahun 1500-an, pelaut Portugis mencapai perairan Asia Tenggara dan menemukan kawasan ini didominasi kapal-kapal jung Jawa. Kapal dagang milik orang Jawa ini menguasai jalur rempah-rempah yang sangat vital, antara Maluku, Jawa, dan Malaka. Para pelaut Portugis itu memuji kehebatan kapal jung Jawa raksasa sebagai penguasa laut Asia Tenggara.
Kota pelabuhan Malaka pada waktu itu praktis menjadi kota orang Jawa. Karena, di sana banyak saudagar dan nakhoda kapal Jawa yang menetap sekaligus mengendalikan perdagangan internasional. Galangan kapal di Malaka juga dibangun oleh tukang-tukang kayu yang terampil dari Jawa.
Kapal jung Jawa atau Nusantara memiliki empat tiang layar, terbuat dari papan berlapis empat serta mampu menahan tembakan meriam kapal-kapal Portugis.
Bobot jung rata-rata sekitar 600 ton, melebihi kapal perang Portugis.
Tercatat, kapal jung Jawa dari Kerajaan Demak bobotnya mencapai 1.000 ton, yang digunakan sebagai pengangkut pasukan Nusantara untuk menyerang armada Portugis di Malaka pada 1513. Kapal jung Nusantara ini boleh dikatakan bisa disandingkan dengan kapal induk di masa sekarang.
Yang menarik, seluruh badan kapal dibangun tanpa menggunakan paku. Ini sama dengan teknologi pembuatan perahu bercadik seperti yang ada di relief Candi Borobudur. Relief ini juga merupakan bukti kemahiran orang Jawa dalam bidang perkapalan. Perahu bercadik di relief tersebut kemudian dikenal sebagai “Kapal Borobudur”. Cadik atau katir adalah potongan/batang bambu atau kayu yang dipasang di kiri-kanan perahu serupa dengan sayap sebagai alat pengatur keseimbangan agar tidak mudah terbalik.
Penggunaan cadik memungkinkan penangkapan ikan dan bahan makanan lain di perairan yang cukup jauh dari garis pantai. Menurut banyak ahli, kemunculan cadik-cadik pada perahu terjadi di perairan muka pantai Asia Tenggara serta pulau-pulau sekelilingnya yang terletak di bagian barat Indonesia. Masyarakat pendukungnya kemudian berpencar dengan perahu-perahu bercadik berlayar lebih jauh lagi ke jurusan timur, menyebabkan hampir seluruh kepulauan Indonesia mengenal cadik ganda, pengapung yang dipasang di kedua sisi perahu, seperti yang sekarang bias dilihat di perahu jukung di Bali atau londe di Sulawesi Utara.
Kendati begitu, ketika pelaut-pelaut itu sampai di perairan yang lebih besar, Samudra Pasifik, cadik ganda itu dianggap membahayakan. Maka, ketika itulah, menurut ahli sejarah perkapalan, hanya digunakan cadik tunggal. Itu sebabnya di Oceania lebih dikenal keberadaan perahu-perahu bercadik tunggal.
Jadi, berdasarkan relief kapal di Candi Borobudur jelaslah nenek moyang kita sejak dulu telah menguasai teknik pembuatan kapal. Kapal Borobudur telah memainkan peran utama dalam pelayaran, selama ratusan tahun sebelum abad ke-13. Tak salah kiranya lagu “Pelaut” mengatakan dalam liriknya mengatakan nenek moyangnya adalah orang pelaut: Nenek moyangku orang pelaut, gemar mengarung luas samudra, menerjang ombak tiada takut, menempuh badai sudah biasa….
Bahkan, jauh sebelum Cheng Ho dan Columbus, para penjelajah laut Nusantara sudah melintasi sepertiga bola dunia. Walau sejak 500 tahun sebelum Masehi orang-orang Cina sudah mengembangkan beragam jenis kapal dalam berbagai ukuran, hingga abad ke-7 kecil sekali peran kapal Cina dalam pelayaran laut lepas. Dalam catatan perjalanan keagamaan I-Tsing (671-695 M) dari Kanton ke Perguruan Nalanda di India Selatan saja disebutkan, ia menggunakan kapal Sriwijaya.