Fakta-fakta yang terjadi di masyarakat memperlihatkan, negeri ini semakin jauh dari konsepsi sosialisme Indonesia, terutama aspek keadilan sosial. Berdasarkan hasil survei Bank Dunia yang diluncurkan akhir tahun 2015 lalu ditemukan fakta: 1% rumah tangga di Indonesia itu sudah menguasai aset nasional sebesar 50% rumah tangga.

Dengan angka itu, Indonesia menempati urutan ketiga di dunia. Nomor satu yang paling timpang adalah Rusia, nomor dua Thailand, baru kemudian Indonesia. Antara Thailand dan Indonesia selisihnya sedikit, Thailand itu 50,2%, sementara Indonesia 50,3%.

Sejalan dengan itu, perkembangaan indeks gini (indikator ketimpangan sosial: angka 0 berarti tak ada ketimpangan sama sekali alias pemerataan sempurna, sedangkan angka 1 menunjukkan ketimpangan absolut) juga menunjukkan arah yang mengkhawatirkan. “Selama pemerintahan Soeharto, indeks gini yang menggambarkan kesenjangan antara si kaya dan si miskin itu tidak pernah sampai pada angka 0,4. Hanya berkisar 0,32, 0,35, atau 0,37. Justru setelah era Soeharto dan terutama sekali pada tahun-tahun terakhir ini, indeks gini naik kencang sekali. Sudah tidak lagi 0,37, tapi sudah naik ke 0,40, 0,41, dan 0,42. Inilah yang kemudian menjelaskan, dilihat dari sudut tujuan mewujudkan keadilan, era pasca-Soeharto justru jauh lebih jelek. Angka-angka dengan jelas sekali menunjukkan itu. Ini gila sekali,” kata Revrisond Baswir.

Data Badan Pertanahan Nasional tentang penguasaan tanah yang dilansir awal tahun ini juga membuat miris. Dari data tersebut dapat dilihat, 0,2% orang (WNI dan warga asing) menguasai 56% tanah di wlayah Indonesia. Itu artinya, tanah dari seluas hampir 1 juta kilometre persegi (dari keseluruhan luas wilayah daratan Indonesia yang mencapai 1,92 juta kilometer persegi) dikuasai 550 ribu orang (dari jumlah penduduk Indonesia sekarang yang mencapai 255 juta jiwa). Jika dihitung dengan indeks gini, ketimpangan kepemilikan tanah itu mencapai angka 0,60. Perlu diketahui, angka 0,40 di atas saja sudah menunjukkan ketimpangan sosial yang buruk.

Para penguasa tanah itu adalah konglomerat perorangan atau konglomerasi pemilik perusahaan real estate, pertambangan, perkebunan, dan pemegang Hak Penguasaan Hutan (HPH). Dan tentunya, tanah yang dikuasai segelintir orang tersebut adalah tanah-tanah produktif—berupa hutan dan kawasan yang kaya sumber daya alam.

Di Provinsi Maluku Utara, misalnya, hampir seluruh wilayahnya dikuasai perusahaan tambang raksasa, seperti Newmont Halmahera Mineral yang menguasai 1,6 juta hektare, Weda Bay Nickel 76,280 ribu hektare, dan 148 kuasa pertambangan lainnya menguasai seluas 593,3 ribu hektare.

Di Provinsi Riau, menurut  data yang pernah dilansir warga dari Front Perjuangan Rakyat dan Gerakan Rakyat Kampar, sekitar 70% tanah yang ada di wilayah Riau dikuasai korporasi asing. Di provinsi kaya minyak ini, korporasi asing yang banyak beroperasi terutama perusahaan minyak multinasional dan perusahaan perkebunan kelapa sawit. Akibatnya, banyak kaum tani terusir dan terampas tanahnya tanpa perlindungan. Dan trend penguasaan dan perampasan tanah itu makin hari semakin masif.

Apa yang terjadi di Maluku Utara dan Riau hanyalah sejumput kisah dari sekian banyak kasus penguasaan tanah rakyat untuk kepentingan komersial. Itu sebabnya demo, gugatan ke pengadilan, sampai dengan bentrok warga dengan aparat dalam eksekusi pembebasan lahan merupakan potret yang telah lazim terjadi di Indonesia.

Pada lahan perkebunan saja, menurut  peneliti dari lembaga swadaya masyarakat Transformasi untuk Keadilan (TuK) Indonesia, Rahmawati  Winarni, sebanyak 25 kelompok perusahaan sawit yang dimiliki para taipan menguasai 31% lahan atau seluas 5,1 juta hektare dari total area penanaman kelapa sawit di Tanah Air.  Sebagian taipan berasal dari Malaysia dan Skotlandia. Mereka telah mengantongi  izin pengembangan kelapa sawit seluas 2 juta hektare yang belum ditanami.

Sebaran area kelapa sawit tersebut meliputi 62% di Kalimantan, 32% di Sumatera, 4% di Sulawesi dan 2% di Papua. Adapun 25 taipan konglomerasi tersebut, antara lain Wilmar Group, Sinar Mas Group, Raja Garuda Mas Group, Batu Kawan Group (Malaysia), Salim Group, Jardine Mathenson Group (Skotlandia), Genting Group (Malaysia), serta Bakrie Group.

Data lain mengemukakan, dari 9,1 juta hektare kebun sawit di Indonesia itu hanya dimiliki oleh 264 perusahaan saja atau sekitar puluhan grup saja. Begitu juga dengan pengusaan hutan produksi: dari 41 juta hektare hutan produksi di negara kita, itu hanya dikusaia oleh 366 perusahaan. Tapi, ada 22 juta rumah tangga petani di Indonesia hanya memiliki rata-rata 0,3 hektare.

Itu menunjukkan struktur pertanian di Indonesia sekarang ini sangat mirip dengan zaman kolonial, ketika perusahaan asing mengusai tanah, bibit, hingga produk ekspor.

Dalam produk minyak sawit mentah (CPO), misalnya, perusahaan asing mengusai tanah, produk derivatif, hingga produk ekspornya. Akibatnya, sekalipun kita dikenal sebagai eksportir terbesar CPO di dunia, pemerintah sendiri tidak sanggup mengontrol atau menyediakan harga minyak goreng murah untuk rakyat.

Sebaliknya, Sensus Pertanian 2013 juga menunjukkan, 26,14 juta rumah tangga tani menguasai lahan rata-rata 0,89 hektare per keluarga. Sekitar 14,25 juta rumah tangga tani lain hanya menguasai lahan kurang dari 0,5 hektare per keluarga. Padahal, skala ekonomi untuk satu keluarga minimal 2 hektare.

Masih menurut data Sensus Pertanian di atas, jumlah petani gurem yang menguasai lahan kurang dari 1.000 meter persegi turun, tapi jumlah rumah tangga yang menguasai lahan lebih dari 3 hektare bertambah. Itu artinya telah terjadi konsolidasi lahan pada petani kaya.

Ketimpangan kepemilikan lahan berakibat pada ketimpangan kemakmuran, terutama bagi rakyat yang menggantungkan hidupnya dari penguasaan tanah, yaitu kelompok petani, peternak, dan nelayan budidaya. Penguasaan tanah oleh pemodal di pedesaan akan memiskinkan masyarakat desa yang kehilangan alat produksi dan segala yang terdapat di tanah, termasuk air.

Ketimpangan penguasaan tanah tidak terbatas pada lahan pertanian. Di perkotaan pun kasat mata. Lahan dalam skala luas dikuasai sekelompok orang, sementara kekurangan rumah di perkotaan lebih dari 10 juta unit, salah satunya karena mahalnya harga tanah. Tanah telah menjadi komoditas dan obyek spekulasi.

Dan, selama Jokowi-JK berkuasa, kita pun mendengar jeritan penderitaan rakyat miskin yang huniannya dibongkar paksa, yang pembongkarannya dengan mengerahkan polisi dan tentara, seolah orang-orang miskin itu bukan suadara sebangsa.

Seperti kata John Tobing dalam lagu karyanya, “Darah Juang”, mereka dirampas haknya, tergusur, dan lapar….  [CHA/GKD/YUK/PUR]