Para pemuda ikut dalam pembacaan Proklamasi Kemerdekaan Agustus 1945 [Foto: Istimewa]

Koran Sulindo – Revolusi bukanlah sebuah pesta makan malam atau semacam menulis esai; bukan pula melukis atau membordir; revolusi tidak halus, santai atau lemah lembut; revolusi juga bukan situasi yang sedang dalam damai, ideal, sopan, terkontrol dan murah hati. Revolusi adalah pemberontakan, sebuah tindakan kekerasan oleh satu kelas untuk menggulingkan kelas lainnya.

Demikian Mao Zedong mengartikan revolusi ketika membawa Tiongkok ke arah sosialisme. Kenyataan dari kata-katanya itu mengingatkan kita pada kisah revolusi Indonesia sebelum dan selepas Proklamasi Kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Sebuah revolusi fisik untuk menggulingkan kekuasaan kolonial yang sudah bercokol berabad-abad di Nunsatara. Revolusi, menurut Mao, menjadi benar adanya: sebuah tindakan kekerasan untuk menggulingkan kekuasaan yang menindas.

Akan tetapi, ketika berbicara revolusi di Indonesia tanpa mengikutsertakan peran pemuda, itu namanya “memalsukan” sejarah. Justru keterlibatan pemuda dalam revolusi membuat perjuangan rakyat menjadi bergairah dan bergelora. Lalu, dari mana dan bagaimana pemuda memulai revolusi itu?

Benedict Anderson dalam kitabnya berjudul Revolusi Pemuda menceritakan peran pemuda itu dalam revolusi. Ia mencatat peran pemuda dan keikutsertaannya menyuarakan percepatan kemerdekaan dengan berbagai gerakan yang dibangun seperti yang dilakukan kelompok pemuda membentuk sebuah Komite Aliansi Pemuda Indonesia. Aliansi terdiri atas Pemuda Menteng 31, Asrama Indonesia Merdeka, dan Prapatan 10.

Tiap-tiap kelompok diwakili Chaerul Saleh, Wikana dan Darwis. Terbentuknya aliansi itu lalu memicu pembentukan Aliansi Pemuda Indonesia (API) di berbagai penjuru negeri terutama di Pulau Jawa. Dan dari kelompok ini pula letupan pertempuran mula-mula digelorakan menjelang kemerdekaan. Setelah itu menyusul Kongres Pemuda yang diselenggarakan di Bandung pada 16 hingga 18 Mei 1945.

Kongres itu menghasilkan dua resolusi yaitu seluruh golongan muda harus disatukan dan disentralisasikan di bawah pemimpin tunggal. Kedua, kemerdekaan harus diwujudkan secepat mungkin. Kaum muda karena itu siap mengabdikan tenaga jiwa raga kea rah pengkoordinasian seluruh upaya untuk mencapai tujuan itu: kemerdekaan.

Para pemuda ini lalu mengawali gerakannya dengan merebut tempat-tempat strategis di Jakarta. Aliansi pemuda ini berhasil merebut stasiun radio penyiaran dan stasiun kereta api seperti Jatinegara dan Manggarai. Kedua tempat ini merupakan tempat strategis informasi dan transportasi. Penyerbuan dan pembakaran kantor-kantor pemerintahan Jepang menjadi kegiatan yang terus digerakkan pemuda.

Segera gerakan pemuda itu menyebar ke daerah-daerah di luar Jakarta seperti Bandung, Jawa Barat. Tentara Jepang mencoba melawan. Gerakan pemuda di Bandung berhasil dipatahkan. Tentu saja aksi balas tentara Jepang itu mengagetkan bagi gerakan pemuda di luar Jawa. Mereka lalu belajar dari kenyataan itu. Pemuda di Jawa Tengah, misalnya, belajar dari kegagalan pemuda Jawa Barat menyiapkan berbagai perlengkapan dalam menghadapi perlawanan tentara Jepang.

Perlawanan pemuda di Jawa Tengah itu membuat Jepang kewalahan. Pertempuran sengit pun pecah di Semarang. Ujungnya, tentara Jepang berhasil menundukkan gerakan pemuda itu hingga ke Magelang. Gerakan serupa juga terjadi di Jawa Timur. Dengan militansi dan semangat baja, pemuda Jawa Timur mampu meladeni perlawanan Jepang. Salah satu organisasi pemuda yang ketika itu cukup berperan adalah Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo). Organisasi kemasyarakatan (ormas) ini berperan aktif ketika revolusi fisik sedang bergelora pada periode 1945 hingga 1949.

Sebuah penelitian, lalu dibukukan berjudul Pemuda Sosialis Indonesia 1945-1950 mencatat jejak ormas pemuda tersebut dalam revolusi Indonesia. Buku ini boleh jadi yang pertama membahas organisasi pemuda terbesar di masa revolusi tersebut. Karenanya, menarik mengikuti sejarahnya dan bagaimana sesungguhnya awal mula berdirinya ormas yang digawangi Wikana, Sudisman, Djalaloeddin Jusuf Nasution, Djokosoedjono, Ruslan Widjajasastra, dan Krissubanu tersebut.

Kisah Pesindo
Dalam buku Sejarah Singkat Gerakan Rakyat untuk Kebebasan, Supeno bercerita, tanggal 6 hingga 10 November 1945 dilangsungkan kongres pemuda yang pertama selepas Indonesia merdeka. Kongres ini diselenggarakan di Balai Mataram, Yogyakarta, yang di masa kolonial disebut Societeit Mataram. Supeno, yang kelak menjadi pimpinan Pesindo, menyinggung soal kemunculan berbagai ormas pemuda selepas pembacaan proklamasi.

Di Jakarta, misalnya, muncul API. Di Jawa Tengah muncul Angkatan Muda Republik Indonesia (AMRI) berpusat di Semarang. Salah satu pendiri AMRI adalah S. Karno yang nantinya akan menjadi tokoh PKI, menjadi Residen Semarang dan gugur dalam Peristiwa Madiun 1948. Di Yogyakarta berdiri Gerakan Pemuda Republik Indonesia (GERPRI) di bawah pimpinan S. Lagiono. Di Jawa Timur berdiri Pemuda Republik Indonesia (PRI). Beberapa tokoh PRI antara lain Sumarsono, Bambang Kaslan, dan Ruslan Widjajasastra.

Menurut Supeno, umumnya asas dan tujuan ormas pemuda nyaris serupa: revolusioner, anti-kolonialisme dan anti-fasisme. Karena itu, dalam majalah Revolusioner, asas Pesindo disebutkan adalah kedaulatan rakyat penuh atau sosialisme dalam lapangan politik, ekonomi dan sosial. Tujuannya memperteguh negara Republik Indonesia berdasarkan masyarakat sosialistis. Pendeknya, Pesindo ingin menggalang masyarakat sosialistis.

Di samping ormas yang sudah disebutkan itu, juga berdiri beberapa ormas pemuda lainnya seperti Angkatan Muda Kereta Api (AMKA), Angkatan Muda Gas dan Listrik (AMGL), Angkatan Muda Pos, Tilpon dan Tilgrap (AMPTT), AngkatanMuda Guru (AMG) dan lain-lain. Sedangkan kaum wanita bergabung dalam organisasi sendiri dengan nama Persatuan Pemuda Putri Indonesia (PPPI), yang salah seorang pemimpinnya adalah Nyonya Harkristuti Subandrio.

Para pemuda yang berlatar belakang agama seperti Islam mengorganisasi diri dalam Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII), pemuda Kristen menyatukan diri dalam Persatuan Pemuda Kristen Indonesia (PPKI). Barisan Pelopor yang berdiri pada zaman Jepang berubah menjadi Barisan Banteng dan bermarkas di Surakarta. Pemuda-pemuda di luar Jawa juga membentuk organisasi mereka seperti Pemuda Indonesia Maluku (PIM), Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS) dan lain-lain.

Kongres pemuda yang bersejarah di Yogyakarta itu, kata Supeno, melahirkan dua organisasi yang ikut memainkan peranan dalam revolusi. Pertama, melahirkan Pesindo yang merupakan gabungan dari API, AMRI, GERPRI, PRI, AMKA, AMPTT dan AMGL. Pesindo disebut menjadi ormas terbesar dan terkuat dalam hal persenjataan. Pesindo juga menjadi anggota Gabungan Pemuda Demokratis Sedunia (WFDY) dan menjalin hubungan yang erat dengan Organisasi Pemuda Belanda (Algemene Nederlandse Jeugd Vereniging) serta Liga Pemuda Eureka (Eureka Youth League) Australia.

Kedua, kongres pemuda juga melahirkan satu badan federasi dengan nama Badan Kongres Pemuda Republik Indonesia (BKPRI). Badan ini terdiri atas Ikatan Pelajar Indonesia (IPI), Persatuan Pemuda Putri Indonesia (PPPI), Barisan Banteng, KRIS, PIM, GPII, Angkatan Muda Kalimantan (AMK), Angkatan Muda Pembangunan (AMP), Pesindo dan 14 organisasi pemuda lainnya. Badan tertinggi dalam BKPRI adalah rapat presidium yang diwakili oleh semua anggota.

Sebagaimana dengan sikap politiknya, ormas ini hingga akhir usianya membaktikan diri menjaga kestabilan pemerintahan. Dengan begitu, Pesindo sebagai golongan “kiri” pernah memberi dan mewarnai perjalanan Republik untuk mewujudkan kedaulatan rakyat. [Kristian Ginting]