Wartawan bagi TK memang bukan sekadar teman secara emosional, tetapi juga banyak yang di antaranya dilibatkan langsung dalam perjuangan dan bermain di belakang layar dalam membesarkan PDI dengan simbol kepemimpinan Megawati. Mereka yang terlibat langsung misalkan Nuah Torong dari Koran Merdeka, Rahadi Zakaria dari Pelita, Yosep Umar Hadi (Kompas), Jakobus Mayong Padang (Suara Pembaruan Biro Makasar), dan tentunya juga Panda Nababan (Sinar Harapan). Mereka kemudian dalam Pemilihan Umum 1999 ikut menjadi calon anggota legislatif dan beberapa lolos ke Senayan, ada juga yang memulai dari DPRD seperti Rahadi Zakaria yang dua kali di DPRD Jawa Barat dan kemudian lolos di DPR RI.
“Berkawan dengan wartawan itu pilihan sadar TK karena wartawan itulah yang bisa membangun jaringan koneksi politik,” kata Andus Simbolon, mantan wartawan Harian Terbit, yang juga terlibat langsung cukup lama dalam pergumulan politik dengan TK.
TK juga sangat jeli dalam melihat wartawan yang secara ideologis sudah menunjukkan keberpihakannya dari tulisan dan geraknya memang searah dengan dirinya. Maka, dengan beberapa wartawan yang saat itu masih aktif meliput dan menulis berita di tempatnya bekerja, para wartawan beberapa di antaranya membentuk semacam tim untuk menyukseskan misi mengambil alih kepemimpinan PDI. TK yang hampir tiap hari menemui kader PDIP dari berbagai daerah yang datang ke Kebagusan untuk menyampaikan aspirasi dan dukungan terhadap Mega melihat betul bahwa arus bawah memang menghendaki perubahan, khususnya di internal PDI dan secara umum perubahan perpolitikan nasional.
Awal-awal mengalirnya dukungan arus bawah terhadap Mega memang masih belum serta-merta bisa mendapatkan jawaban kesediaan Mega untuk memimpin PDI. Namun, dari lobi TK dan juga gencarnya masukan dari wartawan serta semakin derasnya arus bawah yang datang ke Kebagusan untuk menyampaikan aspirasi dan dukungan, akhirnya Mega bersedia menjadi kandidat Ketua Umum PDI dalam kongres luas biasa di Surabaya.
Merespons kesediaan Mega memimpin PDI, TK yang melihat potensi beberapa wartawan kemudian membuat tim wartawan dengan nama sandi Tim Garuda. Tim yang beranggotakan beberapa wartawan, seperti Panda Nababan, Yoseph Umar Hadi, Rahadi Zakaria, dan Nuah Torong, tersebut dibentuk untuk menyukseskan Megawati di Kongres Luar Biasa PDI dia Surabaya kala itu.
Dengan posisi sebagai wartawan, mereka dengan mudah bisa masuk ke arena KLB meski ada penjagaan ketat. Mereka juga yang kemudian melakukan wawancara secara eksklusif untuk kemudian diwartakan. Hasilnya, tentu menjadi pemberitaan yang positif bagi Mega dan memberikan harapan segar bagi para simpatisan PDI yang mendukung Mega.
Menurut Sururi Alfaruq, TK dari segi personal sangat merakyat. TK adalah orang kaya yang sederhana. “Bayangkan, dia itu suami yang mendampingi Mega dalam posisi pernah menjadi wakil presiden dan presiden. Namun, dalam keseharian, TK mau bertemu dengan siapa pun, termasuk para wartawan. Dia memanggil siapa saja yang ingin diajak ngobrol, diajak untuk berbaur di lingkaran kepresidenan. Bahkan, ketika TK sudah menjadi Ketua MPR, dia masih hangat dengan semua wartawan yang dulu pernah bersama-sama di Kebagusan saat masih tertindas secara politik,” kata Sururi.
Ia mengaku merasakan sendiri bagaimana seorang Ketua MPR, suami dari Megawati, mau menyempatkan diri datang ke rumahnya. “Makan pecel daun turi sama daun genjer layaknya rakyat biasa di rumah saya itu adalah sikap yang sulit dicari seorang pejabat tinggi yang masih punya sikap seperti itu. Waktu ke rumah saya itu hanya makan siang, dia ingin melihat kondisi saya. Bayangkan sampai seperti itu, mungkin karena saya kenal beliau saat berjuang sampai sekarang, mungkin dia ingin tahu. Sangat surprise, cara bersahabat itu membuat wartawan bangga, merasa nyaman,” ungkap Sururi.
Ia juga sulit membayangkan bagaimana TK jauh-jauh dalam perjalanan dari Bandung mampir ke rumahnya di Bekasi. Ketua MPR itu begitu perhatian dan peduli dengan orang yang ia anggap teman. Sikap seperti itu yang tentu membuat wartawan yang dikenal TK menjadi bangga.