Koran Sulindo – Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan, yang Presiden Kelima Republik Indonesia, Megawati Soekarnoputri, merupakan salah seorang politisi senior di negara ini. Bukan saja karena usianya sudah 70 tahun pada 23 Januari 2017 lalu, namun juga karena pengalamannya yang panjang di dunia politik, terutama politik kebangsaan.

Sebagai anak Proklamator Kemerdekaan yang juga Presiden Pertama Republik Indonesia Soekarno, Megawati sudah mengenal politik kebangsaan sejak usia belia. Tak mengherankan jika Adis—demikian panggilan kesayangan kedua orang tuanya kepada Megawati—ketika masih duduk di sekolah dasar sudah bergelora semangat nasionalisme-nya dan kemudian “magang” sebagai pasukan pengibar bendera pusaka (paskibraka) untuk Peringatan Detik-Detik Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada tahun 1955. Lalu, tahun 1964, pemilik nama lengkap Dyah Permata Megawati Setyawati Soekarnoputri ini pun menjadi anggota Paskibraka Nasional. Ketika itu, ia masih duduk di bangku sekolah menengah atas.

Ia juga kerap diajak Bung Karno melakukan kunjungan persahabatan ke negara-negara sahabat. Begitu pula ketika tokoh-tokoh dari negara lain berkunjung ke Indonesia, Megawati diminta mendampingi ayahnya. Pada masa menjadi mahasiswi, ia pun aktif di Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia.

Namun, di dunia politik yang hiruk-pikuk, perjalanan panjang Megawati sebagai politisi kerap tak terlihat banyak orang. Bahkan, kemudian, banyak tudingan miring diarahkan ke dirinya. Yang paling sering muncul adalah stigma bahwa Megawati merupakan sosok politisi yang memiliki karakter dan sikap feodal.

Tentu saja, semua tuduhan tersebut terkesan mengada-ada kalau dilihat dari rekam jejaknya. Kalau melihat dengan hati jernih, kita akan menemukan gambaran yang bertentangan dengan semua tudingan itu. Soal tudingan dan sikap feodal, misalnya, jelas hal tersebut tidak benar. Karena, justru Megawati adalah salah seorang tokoh di Indonesia yang dengan gigih memperjuangkan demokrasi, yang merupakan antitesa feodalisme. Bahkan, sejumlah pengamat politik menyebut Megawati sebagai Ibu Demokrasi Indonesia.

Sebutan atau gelar itu diberikan karena dia berjuang tanpa kenal lelah untuk menegakkan kehidupan yang demokratis di Indonesia, dengan terjun langsung memimpin partai politik, menjadi anggota parlemen, hingga akhirnya meraih pucuk pimpinan negara sebagai Presiden Republik Indonesia. Pada masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri, upaya-upaya menegakkan nilai-nilai demokrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dilakukan dengan penuh kesungguhan.

Sebagai contoh, pada masa pemerintahannyalah Provinsi Aceh Darussalam memperoleh otonomi khusus serta pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung untuk pertama kalinya diselenggarakan di Republik Indonesia. Padahal, logikanya, kalau Megawati adalah pribadi dan pemimpin yang feodal, sukar dibayangkan dari tangannya lahir keputusan-keputusan politik semacam itu. Karena, seperti kita ketahui, feodalisme menafikan semangat egaliter yang menjadi jiwa demokrasi dan mengagungkan pemusatan kekuasaan

Ketika tidak lagi menjadi presiden, Megawati Soekarnoputri pula yang konsisten membawa PDI Perjuangan menjadi partai oposisi pemerintah. Sikap ini diputuskan secara resmi dalam Kongres Ke-3 PDI Perjuangan pada April 2010.

Megawati jelas sangat menyadari: feodalisme merupakan sistem yang merugikan negara-bangsa bila diterapkan dalam sistem perpolitikan. Karena, pertama, feodalisme merupakan akar dari praktik-praktik korupsi dan mematikan kreativitas. Itu sebabnya, pada masa pemerintahannya, Megawati antara lain membentuk Komisi Pemberantasan Korupsi, yang punya kewenangan begitu besar dalam menjalankan tugasnya. Kedua: feodalisme tidak cocok lagi dengan zaman keterbukaan dan egaliter seperti sekarang ini. Singkat kata, feodalisme baik sebagai sistem maupun praktik harus dilawan.

Jadi, Megawati sama dengan sang ayah: sama-sama antifeodalisme. Bung Karno sering menegaskan agar bangsa dan rakyat Indonesia melawan feodalisme. Marhaenisme yang diajarkan Bung Karno secara keseluruhan mengandung alur pemikiran yang konsisten, suatu ideologi yang membela rakyat dari penindasan dan pemerasan kapitalisme, kolonialisme /imperialisme, serta feodalisme, untuk membangun masyarakat adil-makmur dan beradab, bebas dari segala penindasan dan pemerasan, baik oleh bangsa atas bangsa maupun oleh manusia atas manusia. [PUR]