Ilustrasi: Reklamasi Teluk Jakarta/bantuanhukum.or.id

Koran Sulindo – Reklamasi Teluk Jakarta dilanjutkan oleh Menko Kemaritiman Luhut Pandjaitan, Menko Maritim sebelumnya, Rizal Ramli, membatalkan proyek itu. Apa yang sebenarnya terjadi?

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya, Luhut Binsar Panjaitan, mendadak berkunjung ke pulau hasil reklamasi di Teluk Jakarta, awal September lalu. Luhut hanya mengunjungi Pulau G, pulau seluas 161 hektar yang direklamasi PT. Muara Wisesa Samudra, kelompok usaha Agung Podomoro Land (APL).

Sekitar 2 jam kemudian Mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan itu merapat di Dermaga Pantai Mutiara, Penjaringan.”Saya memantau saja, tidak ada masalah di sana. Saya cuma memantau outlet saluran air, sirkulasi airnya,” kata Luhut.

Kurang dari tiga bulan setelah dihentikan, pemerintah memutuskan untuk melanjutkan reklamasi Pulau G di Teluk Jakarta.

Maka polemik soal reklamasi Teluk Jakarta itu kembali ramai lagi. Pemerintah dianggap melecehkan hukum, karena Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) pada 31 Mei lalu memenangkan gugatan nelayan soal proyek reklamasi Pulau G seluas 161 hektare itu.

Selain mengabulkan gugatan pemohon, pengadilan juga memerintahkan penundaan pelaksanaan izin reklamasi yang tertuang dalam Surat Keputusan (SK) Gubernur DKI Nomor 2.238 Tahun 2014 sampai berkekuatan hukum tetap.

Pengadilan menilai SK Gubernur itu tidak sah dan harus dicabut.

Dalam pertimbangannya, hakim menyatakan bahwa izin reklamasi yang dikeluarkan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tidak mematuhi syarat formal sesuai perundang-undangan dengan tidak dijadikannya UU No.27 tahun 2007 dan perubahannya UU No 1 tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagai pijakan.

Cacat formal lainnya yang diungkap majelis hakim adalah soal izin Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL). Dalam penerbitan izin reklamasi pulau G, tergugat terbukti tidak melakukannya sesuai ketentuan.

Reklamasi juga dinyatakan tidak sesuai dengan prinsip pembangunan untuk kepentingan umum karena menimbulkan dampak buruk terhadap lingkungan hidup yang juga berdampak terhadap kehidupan sosial dan ekonomi nelayan.

Dibatalkan Menko Maritim

Pada 30 Juni 2016 Menko Maritim saat itu, Rizal Ramli, mengatakan pembangunan Pulau G mengandung pelanggaran berat sehingga harus dibatalkan. Keputusan tersebut diambil dalam pertemuan yang dihadiri oleh Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, perwakilan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, serta Pemerintah Provinsi.

Menko Kemaritiman Rizal Ramli mengatakan penghentian tersebut dilakukan dengan beberapa pertimbangan. Salah satunya, rumit dan tumpang tindihnya aturan soal reklamasi.

Sebelumnya, pada 11 Mei 2016 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyegel Pulau C, D, dan G. Diwakili oleh Direktur Jenderal Penegakan Hukum (Gakum) KLHK Rasio Ridho Sani, mereka memasang plang segel.

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya mengatakan selain rumit, dari aspek lingkungan, reklamasi tersebut juga berpotensi mengganggu lingkungan.

Berdasarkan indikasi ditemukan beberapa permasalahan lingkungan serius. Permasalahan pertama, menyangkut sedimentasi atau pendangkalan. Berdasarkan temuan awal kementerian tersebut, ada proses pendangkalan yang cukup kuat terjadi di sekitar proyek reklamasi.

Selain itu tidak ada kejelasan sumber air bersih.

Permasalahan lain, menyangkut keterbukaan pengembang terhadap penggunaan material yang mereka gunakan untuk melakukan reklamasi.

Selain perizinan dan studi lingkungan yang karut-marut, masalah lain juga muncul: skandal korupsi. Dugaan korupsi proyek reklamasi tersebut menyeret sejumlah petinggi DPRD DKI dan perusahaan pemenang tender reklamasi.

Pada 31 Maret 2016, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan tangkap tangan terhadap Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta, M Sanusi dan Trinanda Prihartono, karyawan PT Agung Podomoro Land.

Keduanya ditetapkan sebagai tersangka dugaan suap pembahasan rancangan Peraturan Daerah (Raperda)  Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (ZWP3K) dan Raperda Tata Ruang Kawasan Stategis Pantai Utara Jakarta.

Raperda ZWP3K dan Raperda Tata Ruang Kawasan Stategis Pantai Utara Jakarta memiliki keterkaitan dengan proyek reklamasi untuk membuat 17 pulau buatan di Pantai Utara Jakarta.

Selain Sanusi dan Trinanda, KPK juga telah menetapkan Presiden Direktur PT Agung Podomoro Land (APL) Ariesman Widjaja sebagai tersangka.

Sanusi diduga menerima uang suap dari Ariesman sebanyak dua kali. Pertama, Sanusi menerima Rp 1 miliar. Kemudian, pada penerimaan kedua, Sanusi menerima Rp 1 miliar lagi.

Dalam operasi tangkap tangan, penyidik KPK baru mengamankan Rp 1,14 miliar. Karena menyangkut kebijakan publik, KPK menyebut kasus ini sebagai “grand corruption”.

Wakil Ketua KPK Laode M Syarief, mengatakan KPK ingin menyasar korupsi besar yang melibatkan swasta dan pembuat undang-undang. Kasus ini menjadi contoh yang tepat menggambarkan grand corruption itu terjadi.

“Bisa dibayangkan bagaimana kalau semua kebijakan publik dibikin bukan berdasarkan kepentingan rakyat banyak, tetapi hanya untuk mengakomodasi kepentingan orang tertentu atau korporasi tertentu,” kata Syarief.

Ekonomi sebagai Panglima

Pada mega proyek Teluk Jakarta ini terdapat sembilan perusahaan yang mendapatkan jatah mereklamasi 17 pulau. Perusahaan tersebut antara lain, PT Agung Sedayu, PT Agung Podomoro Land, PT Taman Harapan Indah, PT Jaladri Eka Paksi, dan PT Pembangunan Jaya Ancol.

Saat ini luas pulau di Pantura Jakarta yang direklamasi bervariasi dari 63 hektar hingga 481 hektar dengan total seluruh pulau sebesar 5.100 hektar. Izin tiap pulau dikeluarkan secara terpisah.

Hingga saat ini baru sepuluh pulau yang sudah mengantongi izin amdal dan pelaksanaan reklamasi.

Kantor Menteri Koordinator bidang Kemaritiman yang terletak di Gedung Badan Penerapan dan Pengkajian Teknologi (BPPT) sejak itu hampir setiap hari didatangai pendemo. Berganti-ganti, dari Badan eksekutif Mahasiswa UI, Pemuda Muhammadiyah, Universitas Negeri Jakarta, Universitas Indonesia, Politeknik Negeri Jakarta, Institut Pertanian Bogor, Yarsi, dan STIANI. Selain itu, lembaga swadaya masyarakat (LSM) Walhi dan beberapa nelayan dari Teluk Jakarta juga bergantian menyambangi gedung yang jauh dari istana merdeka itu.

Luhut mengatakan walau reklamasi dilanjutkankan, kepentingan nelayan menjadi prioritas. “Presiden menegaskan itu. Prioritas kepada 12.000 nelayan dipastikan mendapatkan kehidupan lebih layak dibandingkan saat ini,” kata Luhut.

Sampai saat ini, satu-satunya alasan Luhut yang masuk akal adalah proyek reklamasi dilanjutkan karena pengembang sudah berinvestasi besar-besaran. “Ini demi kepastian berinvestasi,” kata Luhut.

Inilah masa ketika ekonomi menjadi panglima, di atas hukum, lingkungan, dan kemaslahatan orang banyak. [Didit Sidarta]