Koran Sulindo – Tingkat kebebasan pers di Asia Tenggara mulai terancam. Buktinya pemerintah Myanmar, Kamboja, Filipina dan Thailand hampir memiliki sikap yang sama mengenai perlunya pengendalian terhadap pers.
Tekanan terhadap kebebasan pers itu menunjukkan pemerintah tiap-tiap negara itu kian otoriter. Media massa dituduh menyebarkan penghinaan sehingga perlu langkah represifitas. Bahkan beberapa wartawan kini telah ditetapkan sebagai “musuh” negara.
Mantan ketua organisasi profesi wartawan Thailand Kavi Chongkittavorn menuturkan, kecenderungan tersebut menggambarkan wacana yang berkembang di masyarakat adalah politik identitas atau populisme. “Para penguasa politik itu merasa percaya diri dan merasa kebal hukum sehingga merasa mampu mengendalikan narasi mereka,” tutur Chongkittavorn seperti dikutip Nikkei pada pekan ini.
Di Myanmar, misalnya, ancaman terhadap kebebasan pers itu justru didukung Aung San Suu Kyi, tokoh yang dianggap pro pada demokrasi dan kebebasan pers. Sahabatnya dari Amerika Serikat, Bill Richardson kecewa terhadap Suu Kyi karena mendukung penahanan terhadap dua wartawan Reuters. Kedua wartawan ini dituduh membocorkan rahasia negara.
Richardson yang telah mendukung Suu Kyi sejak 1990-an dan bahkan menjadi penasihatnya pad saat ini resmi mengundurkan diri karena sikap Suu Kyi itu. Alasan Richardson adalah dirinya tidak bersedia menjadi sekadar “pemandu sorak” bagi pemerintah Myanmar.
Kedua wartawan Reuters yang ditangkap itu bernama Wa Lone dan Kyaw Soe Oo. Mereka ditangkap di luar restoran kota Yangon pada akhir Desember lalu karena dianggap membocorkan dokumen rahasia negara. Terutama berkaitan dengan pembunuhan Rohingya di negara bagian Rakhine.
Dokumen itu juga berkaitan dengan pembunuhan delapan pria, pemilik toko, nelayan dan seorang guru beragama Islam serta dua remaja putri pada 2 September. Kematian mereka berhubungan dengan operasi pembantaian warga Rohingya dari sebuah desa di Rakhine. Akan tetapi, kedua wartawan itu tidak pernah terbukti membocorkan dokumen rahasia negara.
Itu sebabnya, penangkapan terhadap kedua wartawan itu lantas menimbulkan kecurigaan.
Aturan dengan tuduhan demikian juga sedang dirancang dalam Rancangan KUHP yang setidaknya memuat sekitar 16 beleid dan mengancam kebebasan pers dan kebebasan berekspresi masyarakat. Salah satunya tentang membocorkan rahasia negara. Melalui aturan demikian, maka para wartawan rentan masuk penjara karena penafsiran yang longgar itu.
Wartawan bisa dijerat secara hukum jika memberitakan informasi atau dokumen yang dianggap sebagai rahasia negara. Padahal dalam rangka kerja jurnalistik, memberitakan dokumen tersebut agar informasi yang diberitakan itu akurat dan mendekati kebenaran. [KRG]