Koran Sulindo – Tetiba kantor Kejaksaan Agung (Kejagung) terbakar pada Sabtu, 22 Agustus malam. Api melalap empat lantai gedung utama di seberang kantor Jaksa Agung ST Burhanuddin. Sumber api berasal dari lantai enam yang merupakan bagian kepegawaian lalu menjalar ke tiga lantai di bawahnya.
Terlalu naif untuk menjadikan peristiwa kebakaran itu sebagai pengalihan isu kasus suap jaksa Pinangki Kumala Sari terkait kasus Joko Tjandra. Tidak berlebihan pula menjadikan peristiwa kebakaran ini sebagai pelecut agar Korps Adhyaksa maupun Polri mempercepat penyidikannya untuk mengungkap siapa saja pihak yang layak dimintai pertanggungjawaban terkait “Joker”.
Kejagung masih terlalu lamban dalam mengusut keterlibatan internalnya. Sejauh ini hanya Pinangki yang ditersangkakan dan ditahan. Sementara Mabes Polri telah melebarkan penyidikannya dengan membagi kasus Joko Tjandra dalam tiga kluster.
Kluster pertama terkait penanganan perkara Joker pada medio 2008-2009 yang masih didalami Polri. “Terkait adanya dugaan penyalahgunaan wewenang pada saat itu,” kata Kabareskrim Listyo Sigit Prabowo memberi penjelasan.
Kluster kedua adalah peristiwa pertemuan DJoko Tjandra dengan Pinangki yang penanganannya diserahkan kepada Kejagung.
Sedangkan kluster ketiga terkait pidana penghapusan red notice dan pembuatan surat jalan palsu di mana Polri telah mentersangkakan sedikitnya lima orang termasuk Djoko Tjandra, Anita Kolopaking, Brigjen Prasetijo Utomo dan Irjen Napoleon Bonaparte.
Apabila Jaksa Agung masih lamban dalam menangani kasus Pinangki, Mabes Polri malah telah memeriksa Antasari Azhar dengan kapasitasnya selalu bekas penyidik dan penuntut umum perkara pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali. Pemeriksaan terhadap Antasari Azhar dilakukan terkait pendalaman kluster pertama perkara Joker. Antasari mengaku hanya dimintai konfirmasi saja agar penyidik memahami perkara Bank Bali.
“Penyidik ingin jelas seperti kasusnya dulu, saya sebagai penyidiknya dan 1999 sidang saya ditunjuk lagi sebagai penuntut umumnya,” terang dia.
Eksekusi
Sekalipun begitu, Antasari memiliki pertanyaan besar mengenai progres penanganan kasus Bank Bali yakni, eksekusi uang Rp 546 miliar yang disita dari Bank Bali/Permata terkait perkara Joko Tjandra. Pasalnya dia tidak mengetahui lagi perkembangan perkara Bank Bali lantaran sempat dipromosi menjadi Wakajati Riau dan akhirnya menjadi Ketua KPK.
“Eksekusi itu disita untuk negara, bukan untuk dibagi-bagi dan saya secara moral juga ingin kasus ini tuntas,” kata Antasari.
Pengakuan Antasari ini sejatinya bukan kejutan namun menjadi penting untuk ditelisik siapa pihak yang terindikasi melakukan penyalahgunaan wewenang seperti yang disebut Kabareskrim. Apabila pada peristiwa 2008-2009 terdapat upaya menggangsir uang alat bukti dari Bank Bali maka Polri sebaiknya segera memeriksa pihak-pihak selaku eksekutor perkara Bank Bali.
Menurut Antasari, Mabes Polri bisa segera memeriksa Kajari Jaksel periode 2008-2009 yang memegang putusan pengadilan terkait perkara Bank Bali. Salah satu Kajari yang berwenang adalah Setia Untung Arimuladi yang kini menjabat Wakil Jaksa Agung.
“Siapa kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan waktu itu, tinggal dipanggil. Kalau menunjuk petugas, siapa petugasnya. Jadi begitu,” ungkap Antasari.
Penjelasan Antasari nampaknya bisa menjadi pintu masuk untuk memastikan ada atau tidaknya penyalahgunaan wewenang dalam penanganan perkara Joko Tjandra hingga yang bersangkutan memutuskan untuk melarikan diri dan menyandang status buron lebih dari 10 tahun.
Setelah Kabareskrim mengumumkan adanya tiga kluster peristiwa hukum terkait Joko Tjandra, dimulai pada medio 2008-2009, Jaksa Agung diharapkan memberi respons dengan melakukan pemeriksaan internal untuk memastikan jajarannya bekerja sesuai dengan aturan perundangan yang berlaku saat menangani perkara Joko Tjandra.
Sikap pasif Jaksa Agung dalam memproses perkara Pinangki malah membuka lebih lebar lagi pintu kecurigaan yang membuat publik bertanya-tanya apakah posisi Wakil Jaksa Agung menjadi pengganjal bagi Korps Adhyaksa dalam menuntaskan pemeriksaan internal.
Soal ini, Setia Untung mengakui sebagai eksekutor putusan pengadilan itu selaku Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan pada 2009. Selaku jaksa, ia telah mengeksekusi putusan tersebut sebagaimana yang tertuang dalam putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
“Tentunya perlu saya jelaskan kepada publik agar tidak terjadi kesimpangsiuran berita yang menyesatkan warga masyarakat. Saya akan sampaikan bukti-bukti bahwa saat itu telah dilaksanakan eksekusi di Bank Permata, bahkan saat itu pelaksanaan eksekusi diliput oleh rekan-rekan media,” tutur Setia Untung pada akhir Agustus lalu.
Untuk memastikan eksekusi itu telah berjalan sesuai dengan aturan, Setia Untung menyilakan media massa untuk memverifikasi pernyataannya itu ke Kementerian Keuangan. Bahkan jejak digital eksekusi putusan pengadilan itu mudah sekali dicari di berbagai pemberitaan media daring, kata Setia Untung.
Karena itu, kata Setia Untung, pihaknya meminta masyarakat untuk tidak berspekulasi dan menyudutkan Kejaksaan selaku eksekutor. Ia berharap media massa memuat berita yang tidak menyesatkan masyarakat. Ia memastikan warga Kejaksaan tidak akan patah semangat dan tidak kendor untuk menegakkan hukum meski sedang diterpa isu tak sedap dan gedung kantor mereka terbakar.
Hingga kini publik belum tahu hasil pemeriksaan internal Korps Adhyaksa terhadap Pinangki. Bahkan Komisi Kejaksaan selaku pengawas eksternal mengaku kesulitan untuk mengakses hasil pemeriksaan tersebut.
Kita layak untuk berharap agar Polri memiliki sikap lurus dalam mengusut rentetan kasus Joko Tjandra, bukan hanya tidak pandang bulu terhadap jajaran internalnya, pihak lain di luar institusi Polri pun bisa dimintai pertanggungjawabannya. [Erwin C. Sihombing]