Koran Sulindo – Sebanyak 35 koli benih bening lobster (BBL) Jumat (10/7/2020) dini hari lalu meninggalkan tanah air melalui Bandara Soekarno Hatta. Lalu dua hari kemudian dua perusahaan eksportir juga mengekspor 14 koli BBL pada Jumat (12/7/2020)
“Menteri KP ngotot memberikan izin ekspor benih bening lobster kepada sejumlah perusahaan, meski sarat pelanggaran hukum,” kata Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan, Abdul Halim, di Jakarta, akhir pekan lalu, seperti dikutip mongabay.co.id.
Peraturan No.12/2020 tentang Pengelolaan Lobster (Panulirus spp.), Kepiting (Scylla spp.), dan Rajungan (Portunus spp.) di Wilayah Negara Republik Indonesia belum melalui kajian dari Komisi Nasional Pengkajian Sumber daya Ikan (Komnas Kajiskan) serta kuota dan lokasi penangkapan BBL.
Menurut Abdul Halim, tidak adanya sinkronisasi dengan Komnas Kajiskan, menjadikan kegiatan ekspor BBL melanggar ketentuan dalam Pasal 3 ayat (1) Permen KP 12/2020 dan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan. Izin ekspor itu juga bertentangan dengan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 12 Tahun 2020 Pasal 3 Ayat (1).
Pelanggaran lain Menteri KKP Edhy Prabowo adalah memberikan perizinan kepada perusahaan eksportir yang terindikasi tidak memiliki rekam jejak usaha pembudidayaan lobster. Indikasi biasanya dibuktikan melalui panen usaha secara berkelanjutan. Ketentuan itu sudah diatur dalam Pasal 5 ayat (1) huruf C Permen KP 12/2020.
Pelanggaran berikut Pak Menteri adalah pemberian izin melaksanakan ekspor BBL pada 12 Juni dan 10 Juli 2020 dini hari. Kegiatan tersebut mengindikasikan adanya potensi pelanggaran hukum yang bisa merugikan Negara.
“Sudah semestinya apara penegak hukum melakukan penyelidikan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan,” kata Abdul.
Kolusi
Sebelumnya pada awal Juli lalu KKP menerbitkan izin ekspor BBL pada 31 perusahaan. Kebijakan memperbolehkan ekspor BBL diputuskan Mei 2020 lalu.
Bukan saja terindikasi melanggar hukum, kegiatan ekspor BBL juga menjelaskan adanya indikasi praktik kolusi yang dilakukan KKP, karena kegiatan ekspor melibatkan para politisi nasional, terutama dari Partai Gerindra, partai yang membesarkan Menteri Edhy.
Indikasi praktik kolusi yang kental karena perizinan yang sudah diterbitkan, ada yang ditujukan kepada perusahaan-perusahaan yang baru memulai usaha budi daya lobster, dan ada keterlibatan politisi di dalamnya.
Dari sebanyak 31 perusahaan eksportir yang diberi izin ekspor BBL, terdapat sejumlah nama politisi dari Partai Keadilan Sejahtera, Partai Gelora, Partai Gerindra, dan Partai Golkar.
Pada 6 Juli 2020 lalu, Menteri Edhy mengakui memang ada sejumlah temannya sesama politisi yang memperoleh izin ekspor BBL.
Perizinan yang diterbitkan untuk perusahaan eksportir BBL dinilainya sangat kilat. Izin yang sudah terbit diketahui prosesnya dilaksanakan hanya dalam waktu sebulan saja saja.
“Itu menunjukkan bahwa KKP melanggar aturan sendiri yang telah dibuat,” kata Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Susan Herawati, akhir pekan lalu.
Permen KP 12/2020 mengatur setiap perusahaan diwajibkan untuk bisa melaksanakan usaha budi daya dan panen berkelanjutan, dengan dua persen hasilnya dilepasliarkan kembali ke alam.
Untuk melaksanakan panen lobster dengan metode berkelanjutan, dibutuhkan waktu antara 1 hingga 2 tahun dan itu artinya baru 2021 atau 2022 perusahaan yang sudah berizin baru bisa melaksanakan ekspor BBL.
“Dengan kata lain, izin ekspor benih lobster itu seharusnya baru bisa dilakukan satu hingga dua tahun kemudian, bukan dalam hitungan satu bulan,” kata Susan.
Eksploitasi
Ekspor yang melanggar hukum dikhawatirkan memicu eksploitasi BBL di alam dan menyebabkan sumber daya perikanan mengalami degradasi yang cepat. Apalagi KKP sudah menargetkan kuota BBL yang bisa diambil mencapai 500 juta ekor BBL.
“Kebijakan jangka pendek ini akan berdampak buruk dalam jangka panjang bagi kehidupan nelayan dan keberlangsungan sumber daya perikanan di Indonesia,” kata Susan.

Seperti dikutip tempo.co, empat perusahaan yang melaksanakan kegiatan ekspor pada Jumat (10/7/2020) adalah PT Aquatic SSLautan Rejeki, PT Tania Asia Marina, PT Grahafood Indo Pacific, dan UD Samudera Jaya. Keempat perusahaan mengekspor 35 koli BBL.
Dari informasi yang dihimpun, 35 koli BBL diterbangkan pada pukul 00.05 WIB dengan tujuan akhir Vietnam. Dari jumlah tersebut, sebanyak 23.987 ekor Panulirus homarus dan 1.140 ekor Panulirus ornatus dikirim oleh PT Aquatic SSLautan Rejeki.
Lalu, PT Tania Asia Marina mengirimkan BBL sebanyak 22.671 Panulirus homarus dan 4.045 ekor jenis Panulirus ornatus, PT Grahafoods Indo Pacific mengirimkan sebanyak 79.268 ekor jenis Panulirus homarus dan 5.707 ekor Panulirus ornatus.
Sedangkan, UD Samudera Jaya mengirimkan sebanyak 16.000 ekor jenis Panulirus homarus dan 1.000 ekor Panulirus ornatus. Adapun, kegiatan ekspor tersebut menjadi kal kedua setelah pada 17 Juni 2020 juga dilaksanakan kegiatan yang sama atau setelah hampir 1,5 bulan Permen KP 12/2020 resmi diterbitkan.
Kepala Kantor Bea dan Cukai Soekarno Hatta Finari Manan membenarkan adanya kegiatan ekspor BBL yang dilaksanakan oleh empat perusahaan pada Jumat. Namun, dia tidak merinci seperti apa kegiatan ekspor tersebut berlangsung di Cengkareng, Tangerang, Banten.
Umumkan ke Publik
Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia, Moh Abdi Suhufan, meminta KKP terbuka menjelaskan proses yang dijalankan untuk kebijakan ekspor BBL karena sejak disahkan mengundang pro dan kontra.
KKP harus menjelaskan secara detail kepada publik perihal dua perusahaan yang telah melaksanakan ekspor benih Lobster beberapa minggu lalu. Apakah kedua perusahaan tersebut apakah sudah memenuhi ketentuan Peraturan Menteri KP Nomor 12 Tahun 2020 atau belum.
“Umumkan ke publik apa hasil uji tuntas 30 perusahaan yang telah mendapatkan izin ekspor benih Lobster,” kata Abdi. [RED]