Koran Sulindo – Suatu hari, tak lama setelah Peristiwa Gestok 1965, beberapa orang tentara berseragam mendatangi sebuah rumah di Jalan Teuku Umar, Menteng Jakarta Pusat. Izedrik Emir Moeis, yang saat itu masih remaja, menerima kedatangan tamu tak diundang tersebut. Salah seorang tentara kemudian menyerahkan sebuah surat beramplop dengan kop surat Markas Besar TNI Angkatan Darat.

“Perasaan saya bergidik. Saya menunggu Ayah pulang, lalu memberikan surat itu langsung kepada beliau. Ayah berusaha tenang tatkala membacanya,” kata Emir Moeis. Sang ayah tak lain adalah Inche Abdoel Moeis, salah seorang tokoh Partai Nasional Indonesia (PNI), yang juga seorang soekarnois tulen.

“Ayah dipanggil besok, jam 10 pagi,” kata Inche, setelah membaca surat yang diserahkan putranya itu.

Mendengar jawaban ayahnya tersebut, Emir tidak bisa tidur semalaman. Di masa itu memang banyak tokoh PNI yang dipanggil aparat keamanan tak kembali ke rumah, bahkan ada yang hilang tanpa kabar berita.

Belum lama sebelumnya, Gubernur Bali Suteja juga dijemput aparat keamanan, lantas menghilang tanpa diketahui jejaknya sampai hari ini. Selain Sutedja, nasib buruk serupa diterima Gubernur Kalimantan Tengah Tjilik Riwut, Gubernur Kalimantan Barat Johanes Chrisostomus Oevaang Oeray, Gubernur Sumatera Utara Brigjen TNI Oeloeng Sitepu, Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta Henk Ngantung, Gubernur Sumatera Selatan Pagar Alam, dan Gubernur Jawa Tengah Mochtar. Tujuh Gubernur soekarnois itu memang pendukung setia Presiden Soekarno.

Karena khawatir tentang keselamatan sang ayah, Emir Moeis membolos sekolah hari berikutnya. Ketika ayahnya berangkat dengan mobil pagi-pagi sekali untuk memenuhi penggilan Mabes TNI AD itu, Emir mengikuti dengan menggunakan sepeda motor.

Mobil Inche menuju ke arah Jalan Merdeka Timur dan berhenti di salah satu gedung. Lewat pukul 17.00, Inche tampak keluar dari gedung dan segera mobilnya keluar dari halaman kantor tersebut. Melihat ayahnya keluar dengan selamat barulah Emir bernapas lega.

Meski baru saja melewati saat yang menakutkan seperti itu, beberapa hari kemudian, pada 6 Juni 1967, Inche masih berani menghadiri ulang tahun Bung Karno di  Istana Bogor, Jawa Barat. Inche datang bersama Mr Hardi (mantan Wakil Perdana Menteri dari PNI) beserta istri, Lasmijah Hardi.

Di sekitar para tamu undangan ada beberapa perwira yang berpakaian dinas. Salah seorang di antaranya ajudan Bung Karno dari Angkatan Kepolisian RI, yaitu Sidharto Danusubroto.

Saat itu Inche adalah salah satu Ketua DPP PNI, di bawah Ketua Umum DPP PNI saat itu, Hadi Soebeno.

Selepas terjadinya Peristiwa Gestok 1965, PNI memang mengalami perpecahan. Semua itu diawali ketika Sekertaris Jenderal PNI saat itu, Ir Surachman, mengeluarkan statemen pada 1 Oktober 1965 yang bersimpati terhadap gerakan para perwira menengah Angkatan Darat itu.

Surachman juga memecat mereka yang menolak garis kebijakan partai. Namun, mereka yang dipecat itu pada 4 Agustus 1965 mengeluarkan deklarasi pembentukan PNI Baru. Kedua versi PNI ini baru bersatu setelah diadakan kongres luar biasa di Bandung pada 24-27 April 1966, yang diprakarsai Letjen Soeharto selaku pemegang kuasa Supersemar.

Saat itu, PNI telah menuju jurang kehancuran yang disebabkan kekisruhan internal dan serangan eksternal. Demonstrasi dan teror dilakukan terhadap kantor-kantor PNI di seantero negeri. Kebijakan-kebijakan pemerintah pun banyak yang merugikan dan membatasi gerak partai ini. Puncaknya ketika pemerintah Orde Baru membatasi jumlah partai pada tahun 1973. Tepatnya pada 10 Januari 1973 pukul 24.00 resmilah fusi antara PNI, Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI), Partai Kristen Indonesia (Parkindo), Partai Katolik, dan Partai Murba menjadi Partai Demokrasi Indonesia (PDI).  Tanggal tersebut turut menjadi tanggal matinya PNI, yang didirikan di Bandung pada 4 Juli 1927.

Sejak itu, Partai Nasional Indonesia (PNI) sebagai partai rakyat telah tidak ada. Tetapi, sebagai pergerakan rakyat dengan semboyannya “Indonesia Merdeka Sekarang” dan banteng segitiga sebagai lambang perjuangannya telah berhasil bersama-sama seluruh rakyat Indonesia mengantarkan rakyat Indonesia memasuki pintu gerbang kemerdekaan.

Dalam proses itu, Inche meneruskan kiprahnya di PDI dan sempat menjadi anggota MPR/DPR. Pada titik itu kelihatan sekali memang darahnya terlahir sebagai anggota parlemen.

Gubernur Kalimantan Timur Pertama

Inche Abdul Moeis, sering disingkat IA Moeis, adalah seorang pendukung Soekarno dan  marhaenis sejati. IA Moeis dikenal fasih berbahasa Belanda, Inggris, dan Jepang. Putra Banjar kelahiran Samarinda, Kalimantan Timur, 2 Agustus 1920, itu sebelumnya pernah menjabat sejumlah jabatan penting di masa permerintahan Bung Karno.

Di masa awal kemerdekaan, Inche Moeis aktif ikut terjun dalam gejolak revolusi di tanah kelahirannya, Kalimantan Timur. Pada 1949, bersama putra Sultan Kutai Kartanegara, Inche Moeis menjadi anggota delegasi di Konferensi Meja Bundar (KMB) di Belanda, mewakili Kalimantan Timur.

Di tahun 1950-an, Inche Moeis tercatat sebagai pengurus DPP PNI di Jakarta. Dalam buku terbitan tahun 1950 yang banyak dipakai ilmuwan politik asing ketika membahas Indonesia terlihat ketekunan Inche mencatat kiprah partai milik kaum marhaenis tersebut di parlemen. Buku berjudul Perdjuangan PNI dalam Parlemen itu diterbitkan di Malang, Jawa Timur, terutama membahas kiprah PNI dalam masa sejak merdeka 1945 hingga penyerahan kedaulatan Indonesia pada tahun 1949.

Inche Moeis juga menjadi anggota parlemen hingga menjelang Pemilu 1955. Selain itu, Inche Moeis berwiraswasta dengan mendirikan CV Pelayaran Nusantara Mahakam. Inilah pelayaran pertama yang menghubungkan seantero wilayah Kalimantan Timur. Salah satu kapal perusahaan ini pernah berlubang besar dan tak bisa dijalankan karena ditembak seorang pilot Amerika Serikat.

Di akhir tahun 1950-an, Inche Moeis pulang ke kampung halamannya. Ia ditugaskan Presiden Soekarno sebagai Gubernur Provinsi Kalimantan Timur yang pertama, saat itu masih bernama Swatantra Tingkat I Kalimantan Timur.

Sebagaimana diketahui, tiga etnis terbesar asli di Kalimantan Timur adalah Banjar, Kutai, dan Dayak. Dalam rentang waktu lebih dari setengah abad sejak pemilu pertama pada 1955, partai-partai dengan warna nasionalisme lebih unggul dibanding partai dengan warna lain di Kalimantan Timur. Keunggulan tersebut karena sejarah politik di Kalimatan Timur dimulai oleh kaum pergerakan nasional.

Etnis Banjar dipandang turut berperan dalam membangun kesadaran politik dan mengembangkan gerakan politik di Kota Samarinda dan Kota Balikpapan. Pada zaman sebelum kemerdekaan, gerakan etnis Banjar terorganisasi lewat Badan Pembela Republik Indonesia (BPRI), sebuah wadah perjuangan rakyat yang memiliki tujuan untuk menyingkirkan Belanda dari Kalimantan.

Seiring perjalanan waktu, pengorganisasian gerakan politik lebih diarahkan untuk memperjuangkan status Kalimantan Timur sebagai daerah otonom. Puncak dari perjuangan etnis Banjar tersebut adalah dengan didirikannya Partai Nasional Indonesia (PNI) Cabang Kalimantan Timur pada tahun 1950.

Setelah berdirinya PNI, peta politik di Kalimantan Timur diwarnai oleh keragaman partai, dengan konfigurasi etnis yang terbagi ke dalam faksi-faksi yang lebih kecil. Persaingan politik tidak saja terjadi secara institusi, tetapi juga secara faksional, dengan sentimen etnis, geografis, dan kepentingan.

PNI didominasi oleh faksi pejuang BPRI—beretnis Banjar—di Samarinda yang memiliki garis politik nasionalis, sedangkan faksi pejuang di Balikpapan mayoritas mendominasi Partai Murba. Selain itu, faksi pejuang yang berasal dari kedua kota tersebut juga menyokong Partai Sosialis Indonesia (PSI).

Hasil Pemilu 1955 memberikan kekuasaan yang lebih luas kepada etnis Banjar-Samarinda. Ketika Inche Moeis menjadi Gubernur Kalimantan Timur, ia berhasil ”mem-PNI-kan” birokrasi di sana, mulai dari tingkat provinsi hingga kecamatan. Hal ini diteruskan gubernur selanjutnya, Muis Hasan.

PNI mengendalikan birokrasi Kalimantan Timur sampai tahun 1965 seiring dengan jatuhnya pamor Presiden Soekarno. Namun, sebelum tahun 1965, kekuatan PNI di birokrasi mulai digerogoti oleh perwira-perwira TNI dari etnis Jawa yang  mengurangi kekuatan PNI.

Pada Pemilu 1971, PNI kalah telak dari Golkar. Masa-masa awal konsolidasi kekuatan Orde Baru ditandai dengan sentimen anti-Soekarno. Bahkan, anak-anak tokoh PNI, terutama para aktivis GMNI garis keras, dikenai larangan berkuliah, ada yang dikeluarkan dan sebagian diskors.

Melihat hal itu, Inche Abdoel Moeis bersama Sudiro—tokoh PNI yang pernah menjadi Walikota Jakarta, dan ayahanda Tarto Sudiro (fungsionaris PDI Perjuangan di masa-masa awal pendiriannya)—mendatangi Rektor Universitas Indonesia, Syarif Thayeb, agar mencabut larangan tersebut. Tapi, larangan itu tak digubris.

Tak lama setelah pemilu pertama di masa Orde Baru itu, Inche Moeis meninggal dunia. Kiprah politiknya kemudian diteruskan oleh putra sulungnya, Emir Moeis, dan cucunya Ananda Emira Moeis—yang kini menjabat Sekretaris DPD PDI Perjuangan Kalimantan Timur. [DIS]