Kombinasi Tjipto dan Misbach di Surakarta membuat Insulinde terlihat menjadi benar-benar revolusioner. Ini magnet yang selalu menarik perhatian orang-orang radikal yang tak mendapat tempat di SI. Insulinde tampil menjadi front utama oposisi menghadapi kekuasaan priyayi yang mengontrol Boedi Oetomo serta pedagang batik di Laweyan yang mengendalikan SI dan dominasi pemuka agama formal di kraton.
Bagi Misbach, Insulinde ibarat sudah menjadi rumahnya sendiri. Selain menjabat sebagai wakil ketua, Tjipto juga memberi mandat memimpin aktivitas propaganda di luar Surakarta, termasuk menerbitkan kartu anggota dan mendirikan kring-kring Insulinde Surakarta.
Bersama Misbach, Insulinde tumbuh pesat wilayah Surakarta setelah sukses mengorganisasi petani. Taksiran paling moderat, hingga akhir 1918, jumlah anggota Insulinde sudah mencapai angka 10 ribu orang.
Keberhasilan mengorganisasi petani bisa dibilang murni peran Misbach. Dengan cara sederhana, dia menelanjangi bobroknya sistem agraria di Surakarta. Kasunanan yang mandul, kapitalis yang serakah, dan pemerintah yang sewenang-wenang adalah tiga serangkai yang menindas dan mengisap petani.
Paling khas dari propaganda Misbach adalah kutipan perintah-perintah Tuhan di Quran sekaligus meletakkannya pada konteks yang tepat. Misbach menulis seperti ketika dia berbicara dalam pertemuan tabliq. Termasuk seruan berperang di jalan Tuhan untuk melawan penindasan. Bagi Misbach, menjadi prajurit Islam yang sejati adalah berjuang untuk meniadakan pengisapan, penindasan, dan kebobrokan. Bagi Misbach, melawan kapitalis adalah menjalankan perintah Tuhan. Contoh yang terus-menerus diulang Misbach adalah metoda Nabi Muhammad dalam perjuangannya menyiarkan Islam.
Sejak reorganisasi pedesaan tahun 1912, bagaimanapun pedesaan di Kasunanan mengalami transformasi mendalam. Ada empat dasar reorganisasi, yakni penghapusan sistem lungguh dan bekel, pembentukan desa sebagai unit administrasi, transformasi kuli kenceng, dan perbaikan aturan sewa tanah.
Berbeda dengan wilayah lain di Kasunanan yang tuntas April 1918, reorganisasi di Klaten masih berlangsung, bahkan hingga 1919, dengan mayoritas pemimpin kring Insulinde bekel atau bekas bekel. Mereka inilah yang tersingkir atau akan tersingkir dalam waktu dekat. Di tengah ketidakpastian, pemimpin kring kompak menggenjot militansi petani dengan menyinggung ketidakpuasan paling konkret, yakni soal pajak, kerja wajib, aturan keraton, dan seruan mogok.
Misbach hanya punya dua pilihan menghadapi meningkatnya militansi petani. Mendukung gelombang ketidakpuasan itu atau mundur. Secara moral, pilihan mundur tak masuk hitungan. Bagi Misbach, mundur adalah khianat dan menunjukkan watak “Islam lamisan”, sama dengan kiai dan pegawai agama yang selalu dikritiknya. Keresahan petani bagi Misbach justru memberikan panggung untuk membuktikan kesejatian Islam dengan risiko dipenjara. Dan itulah yang memang terjadi.
Aksi pemogokan secara sporadis dimulai awal tahun 1919 di pedesaan yang memiliki kring Insulinde dan meningkat terus intensitasnya hingga akhir April. Awal bulan Mei, sedikitnya 20 ribu petani dari 17 desa mogok di Perkebunan Tegalgondo. Pemerintah tak menoleransi. Mereka mengirim polisi bersenjata ke desa-desa untuk membubarkan mogok. Atas perintah Residen Surakarta, Misbach ditangkap pada 7 Mei 1919.
Selain memicu solidaritas, penangkapan itu adalah ajang untuk menunjukkan keteguhan hati Misbach. Islam Bergerak edisi 20 Juni menulis, Misbach dan pemimpin Insulinde yang lain “dipenjara bukan karena merampok, mencuri, menodong, menipu, atau membunuh, tetapi justru karena mereka melawan pihak yang bertindak sewenang-wenang atau tepatnya bandit-bandit yang mengganggu kesejahteraan umum.”
Beruntung, ia tak harus lama-lama mendekam di penjara. Setelah enam bulan dikurung, Misbach dibebaskan pada 22 Oktober dan segera kembali bergabung dengan Tjipto di Sarekat Hindia (SH), “mengganggu’”sunan dalam kampanye anti-raja. Mewakili sifat Insulinde yang radikal, SH adalah organ baru dengan watak serupa.
Pidato-pidato Misbach juga tak berubah. Nadanya tetap militan. Ia menyoal legitimasi sunan dan pemerintah yang dianggap tak punya hak mengatur petani.
Misbach menanggap sistem kepemilikan tanah kerajaan hanya menguntungkan sunan dan merugikan petani. “Coba ingatlah siapa yang punya tanah ini, toh bukan ratu atau gubernemen. Mana ada ratu atau gubernemen punya tanah? Tanah itu dulunya toh milik embah-embah kita sendiri. Dan lagi, kalau kerajaan hanya disahkan oleh satu orang yang disebut ratu tentu tidak baik karena dia pasti hanya mementingkan dirinya sendiri,” ujarnya.
Pada kesempatan lain, Misbach menyamakan pemerintah Hindia Belanda dengan pencuri sekaligus menelanjangi praktik kejinya. Dia mencontohkan pemerintah membeli beras seharga 9 gulden dan menjualnya ke orang kecil dengan harga 18 gulden. “Siapa yang untung?” tanya Misbach pada suatu pertemuan terbuka di Delanggu, Klaten, 4 April 1920. Pertanyaan itu sontak disambut peserta dengan teriakan: “Pemerintah, pemerintah!”
“Pemerintah memproduksi garam murah dan menjual mahal kepada rakyat kebanyakan, siapa yang mengantongi untung?” tanya Misbach lagi.
“Pemerintah, pemerintah!” jawab kerumunan massa itu.