Misbach menarik perhatian karena karena kehangatan, keterbukaan, keramahan, serta konsistensi antara kata dan perbuatan. Menurut Marco, Misbach adalah teman bagi semua kalangan tanpa melihat status sosialnya. Sesuatu yang masih jarang dimiliki aktivis pergerakan kala itu.

Terjun di dunia pergerakan dengan mengusung bendera Islam, Misbach menempuh cara-cara modern untuk menyuarakan perjuangan kaum muslim di media massa dan pertemuan-pertemuan. Misbach mendirikan hotel Islami, sekolah agama modern, hingga membuka toko buku. Tahun 1915, Misbach mendirikan Medan Moeslimin, koran bulanan yang digagas menjadi wadah pertaruhan ide dan gagasan pergerakan. Dua tahun kemudian dia juga menerbitkan koran serupa, koran itu diberi nama Islam Bergerak.

Nama Misbach mulai diperhitungkan sebagai tokoh pergerakan ketika Sarekat Islam (SI) dan pemimpinnya, Tjokroaminoto, getol mengampanyekan Tentara Kanjeng Nabi Muhammad (TKNM). Kampanye itu mengincar koran Djawi Hiswara dan Martodharsono yang menerbitkan tulisan menghina Nabi Muhammad. Di Surakarta, sebenarnya artikel itu tak menyulut kegaduhan.

Tanggapan dan protes meluas baru meledak ketika Tjokroaminoto membuat tulisan tersebut menjadi isu nasional dengan menulisnya di koran Oetoesan Hindia. Kepada umat muslim dan anggota SI, Tjokro mendesak agar mereka bangkit membela Islam dari penghinaan. Reaksi luas bagaimanapun membuat kaum muda muslim di Surakarta tak bisa lagi mengabaikan artikel yang ditulis Martodharsono itu.

Ketika pertemuan akbar digelar di Surakarta, sedikitnya 20 ribu orang serempak mengutuk Djawi Hiswara dan Martodharsono. Ini pertemuan terbesar yang melibatkan kaum muslim saleh di Surakarta. Misbach adalah penggerak utama dan penyumbang terbesar kampanye TKNM di Surakarta. Satu hal yang luput disadari Misbach, kampanye TNKM menjadi tunggangan Tjokro untuk menghidupkan cabang-cabang SI yang mangkrak sekaligus menyerang seteru lamanya, Haji Samanhudi, pendiri SI yang dekat dengan Martodharsono.

Mewakili golongan muslim progresif di Surakarta, Misbach segera kecewa ketika TKNM tak melakukan apa pun selain hanya mengumpulkan iuran dan sumbangan. Aksi paling “nyata” kampanye tak lebih dari berkirim kawat ke gubernur jenderal dan sunan untuk menuntut para pelaku penghinaan dihukum. Pertengahan tahun 1918, tulisan-tulisan di Medan Moeslimin dan Islam Bergerak mulai diwarnai kekecewaan setelah secara diam-diam Tjokro menghentikan kampanye karena bertikai soal uang sumbangan.

Dalam tulisan bertajuk “Perasaan tentang Adanya Komite TKNM”, Islam Bergerak dengan sinis menulis, “dana komite sudah jadi sate yang dimakan oleh sepercik noda pes dan sekarang tinggal tusuknya saja. Ingat pemimpin komite, bangsa sudah siap membangun kekuatan luar biasa yang terus meningkat dari hari ke hari. Dan apa yang kau lakukan, pemimpin komite. Bersuka ria dan berdiam diri.”

Ketika Misbach benar-benar patah arang dengan Tjokro dan SI-nya, ia bertemu Tjipto dan Insulinde yang radikal. Segera setelah bergabung Maret 1918, Misbach membentuk komite penyelidik kegelisahan warga, menyusul program paksa perbaikan rumah akibat merebaknya wabah pes. Kampanye Misbach itu sukses dan penduduk mulai berhenti mengembalikan pinjaman pemerintah.