Museum Sejarah Jakarta di Kawasan Kota Tua

Koran Sulindo – Kawasan Kota Tua dan empat pulau di Kepulauan Seribu di Jakarta tak dilirik sama sekali oleh badan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang mengurus pendidikan, keilmuan, dan kebudayaan (UNESCO) untuk dijadikan warisan dunia. Karena itu, tak ada disebutkan namanya ketika UNESCO mengumumkan nama 19 situs sebagai warisan dunia yang baru, awal Juli 2018 lalu.

Padahal, pengusulannya oleh Indonesia sudah berlangsung sejak beberapa tahun lampau. Apa pasal?

Ternyata, International Council on Monuments and Sites (Icomos) menilai Kota Tua dan Kepulauan Seribu tidak layak menyandang predikat tersebut. Icomos adalah lembaga profesional yang dipercaya UNESCO untuk meninjau dan menilai peninggalan sejarah dan budaya. Selain Icomos, UNESCO juga menunjuk International Union for the Conservation of Nature (IUCN) dan International Centre for the Study of the Preservation and Restoration of Cultural Property (ICCROM) untuk menjalankan tujuan yang hampir sama.

Menurut laporan Icomos, Indonesia gagal mendemonstrasikan keistimewaan Kota Tua. Alasan lainnya terkait dengan reklamasi laut yang dilakukan di antara Kota Tua dan Pulau Onrust, Pulau Cipir, Pulau Bidadari, serta Pulau Kelor.

“Saat ini, 17 pulau dengan ukuran lebih dari 5.000 hektare sedang dibuat di antara dua komponen lokasi. Icomos menilai pulau-pulau ini dan Great Seawall Project sangat mengubah pemandangan Laut Jakarta dan mengganggu hubungan visual di antara dua komponen lokasi,” demikian antara lain bunyi laporan Icomos, yang didapat dari situs web UNECO. Reklamasi lahan di Teluk Jakarta membuat hubungan antara kawasan Kota Tua dan pulau telah hilang. “Padahal, empat pulau ini mendukung cerita tentang garis pertama pertahanan Batavia.”

Menurut Icomos lagi, pembangunan high-rise di pusat sejarah berpengaruh negatif terhadap nilai sejarah dan visualnya. Bukti fisik yang disimpan di empat pulau tersebut juga tidak mendukung klaim yang dipaparkan.

Empat pulau itu dulunya memang merupakan tempat pertama VOC berlabuh, memperbaiki kapal, dan kemudian VOC bisa menuju daratan Batavia. Namun, dalam pandangan Icomos, kehadiran reklamasi mengubah cerita sejarah ini sehingga konsep Kota Tua dianggap belum bisa diterima.

Apalagi, ada juga normalisasi Kali Besar di Kawasan Kota yang dianggap mengubah orisinalitas Kota Tua. Icomos menilai, normalisasi Kali Besar menggunakan beton mengubah orisinalitas. “Misalnya, Kanal Tengah Besar, yang disorot sebagai salah satu fitur utama dari rencana kota VOC, saat ini sedang direnovasi dengan beton di permukaan tanahnya dan dinding kanal dibangun dengan beton,” tulis Icomos dalam laporannya.

Disarankan Icomos, sebaiknya perbaikan atau rehabilitasi kawasan Kota Tua didampingi oleh ahli sejarah dan informasi lengkap mengenai kehidupan kota pada masa Batavia dulu. Dengan demikian, keaslian dari kawasan ini bisa tetap terjaga dan bangunan tetap dalam kondisi baik.

Secara garis besar setidaknya ada enam alasan utama yang membuat Kota Tua dan empat pulau itu tidak masuk kriteria untuk dijadikan warisan dunia. Pertama: Kota Tua tak sanggup menyaingi keunikan dan faktor luar biasa dari kota kolonial lain di wilayah Asia Tenggara dan dunia.

Kedua: kawasan ini dianggap tidak menjadi saksi keberagaman dan perpaduan multikultural Indonesia sekarang. Sebagai pusat perdagangan pun, Kota Tua masih kalah jika dibandingkan dengan kota sejenis di Asia Tenggara. Adanya tradisi pembuatan perahu tradisional yang masih bertahan di Kampung Luar Batang dinilai Icomos bukan bukti yang cukup kuat.

Ketiga: Kota Tua tidak menunjukkan perannya sebagai tempat pertukaran nilai kemanusiaan dari waktu ke waktu, baik terkait dengan pembangunan arsitektur maupun teknologi. Tidak pula memengaruhi rencana pengembangan kota atau perancangan tata kota.

Keempat: kawasan wisata ini juga tidak menunjukkan keunikannya sebagai saksi tradisi budaya atau peradaban yang telah hilang. Kelima: kawasan ini tak menunjukkan contoh bangunan yang luar biasa baik secara arsitektural, teknologi, ataupun tata kota, yang menunjukkan tingkatan penting dalam sejarah manusia.

Keenam: bangunan yang tersisa di wilayah ini terancam berbagai faktor. Misalnya tata kota yang tidak memperhitungkan kawasan bersejarah ini, risiko banjir, dan tidak adanya solusi manajemen bencana dari pemerintah.

Icosmos juga memberi catatan agar bangunan peninggalan abad ke-19 dan ke-20 itu perlu lebih banyak investasi dan revitalisasi agar tetap lestari dan menjadikannya bagian dari karakter kota.

Soal ketidakabsahan izin reklamasi di Teluk Jakarta, khususnya Pulau G, sebenarnya telah resmi diputuskan oleh hakim PTUN Jakarta pada 2016 lampau. Menurut hakim pengadilan itu, Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta No. 2238/2014 yang diberikan kepada PT Muara Wisesa tidak sah.

Dalam pertimbangan putusannya, majelis hakim mengatakan, izin reklamasi sarat pelanggaran hukum, antara lain tidak punya peraturan daerah tentang zonasi, analisis mengenai dampak lingkungannya mengabaikan nelayan, bertentangan dengan Undang-Undang Pengadaan Lahan, bertujuan semata-mata bisnis, bukan untuk kepentingan umum, dan membahayakan obyek vital negara. Belum lagi risiko-risiko seperti kerusakan lingkungan, pemiskinan nelayan, perubahan bentang alam fisik dan dampak biologi, sosial-ekonomi, dan infrastruktur. Yang tidak disebutkan hakim tapi kemudian terbukti lewat penilaian Icomos adalah dampak reklamasi terhadap situs sejarah dan budaya di pesisir Jakarta.

Sebenarnya, sudah ada pula riset para ahli dari Institut Pertanian Bogor, Institut Teknologi Bandung, dan Litbang Kementerian Kelautan dan Perikanan terkait dampak pembangunan Jakarta Giant Sea Wall serta reklamasi 17 pulau. Hasil riset mereka telah dipublikasikan pada tahun 2014 dengan judul Dinamika Teluk Jakarta.

Dalam buku tersebut antara lain diungkapkan, Pulau Onrust di Kepulauan Seribu yang sangat bersejarah itu akan hilang. Padahal, menurut banyak sejarawan, tak mungkin menulis sejarah awal Jakarta yang berakar pada Batavia tanpa menyertakan peran sejarah Pulau Onrust. Bahkan, pendiri Batavia, Jan Pieterzoon Coen, pernah mengatakan hal itu juga: tanpa Onrust tidak akan pernah ada Batavia.

Di pulau dan perairan sekitar itulah Coen menyiapkan armadanya pada Desember 1618 untuk menahan 15 kapal yang dikomandani Laksamana Thomas Dale dari Inggris. Dale membawa pasukan untuk membantu penguasa Jayakarta, Pangeran Wijayakarta.

Pulau Onrust sendiri sudah sejak 1615 dijadikan tempat bengkel kapal oleh VOC. Bengkel kapal ini tersohor karena kualitasnya. James Cook melaporkan, kapalnya yang bernama Endeavour masuk bengkel di pulau itu pada tahun 1770 dan mendapat penanganan yang sangat baik. Padahal, Endeavour mengalami kerusakan parah selama menjalani pelayaran keliling dunia.

Pada masa itu, di Pulau Onrust ada kurang-lebih 2.000 orang Belanda, Cina, Arab, India, Melayu, dan Jawa. Mereka umumnya adalah pekerja pembuat perahu dan kapal dengan keahlian mumpuni. Tak mengherankan jika bengkel kapal di Pulau Onrust selalu diramaikan kapal-kapal yang ingin diperbaiki dan para pekerjanya bekerjanya siang dan malam. Mereka bekerja seolah tanpa istirahat atau onrust dalam bahasa Belanda. Dari sinilah asal-muasal nama Pulau Onrust.

Namun, nasi telah menjadi bubur. Setidaknya apa yang terjadi pada Kota Tua dan empat pulau di Kepulauan Seribu, Jakarta, bisa dijadikan pelajaran sangat penting bagi siapa pun yang diberi amanah untuk menjadi pengambil keputusan di negara ini. Ambil hikmahnya! [PUR]