Data dari misi STEREO NASA menunjukkan Angin Matahari sedang berhembus. Para ilmuwan mengurangi kecerahan bintang dan debu dalam data yang direkam agar Angin Matahari dapat terlihat lebih jelas. (Sumber: NASA/SwRI/Craig DeForest)
Data dari misi STEREO NASA menunjukkan Angin Matahari sedang berhembus. Para ilmuwan mengurangi kecerahan bintang dan debu dalam data yang direkam agar Angin Matahari dapat terlihat lebih jelas. (Sumber: NASA/SwRI/Craig DeForest)

Sejak tahun 1960-an, para ilmuwan telah berhipotesis bahwa Matahari merupakan sumber bahan pembentuk air di Bulan.

Melalui beberapa misi luar angkasa, para ilmuwan telah mendeteksi jejak molekul air dan molekul hidroksil (OH), yang merupakan komponen air, di permukaan bulan.

Menurut teori mereka, Angin Matahari yang menghantam permukaan bulan memicu reaksi kimia yang dapat menghasilkan molekul air.

Sebuah eksperimen baru yang dipimpin NASA, yang dijelaskan pada Senin (17/03/2025) di jurnal JGR Planets, mengonfirmasi teori tersebut.

Apa itu Angin Matahari?

Melansir dari situs resmi NASA, Angin Matahari adalah badai partikel bermuatan yang mengalir dari Matahari dengan kecepatan lebih dari 1 juta mph (1,6 km/jam). Angin ini sebagian besar terdiri dari proton, yang merupakan inti atom hidrogen yang telah kehilangan elektronnya.

Angin Matahari membombardir semua yang ada di Tata Surya, termasuk Bumi, dan menyebabkan aurora saat bertabrakan dengan molekul-molekul di atmosfer.

Magnetosfer Bumi melindungi semua makhluk hidup dari dampak cuaca luar angkasa. Namun, Bulan memiliki medan magnet yang sangat lemah dan tidak merata, sehingga kurang terlindungi.

Seperti yang ditunjukkan oleh model komputer dan eksperimen laboratorium, ketika proton menghantam permukaan Bulan, yang terbuat dari material berdebu dan berbatu yang disebut regolith, partikel tersebut bertabrakan dengan elektron dan bergabung kembali untuk membentuk atom hidrogen.

Kemudian, atom hidrogen dapat bermigrasi melalui permukaan bulan dan berikatan dengan limpahan atom oksigen yang sudah ada dalam mineral seperti silika untuk membentuk molekul hidroksil (OH), yang merupakan komponen air, dan molekul air (H2O) itu sendiri.

“Hal yang menarik di sini adalah bahwa hanya dengan tanah bulan dan bahan dasar dari Matahari, yang selalu mengeluarkan hidrogen, ada kemungkinan terciptanya air,” kata Li Hsia Yeo, seorang ilmuwan peneliti di Pusat Penerbangan Luar Angkasa Goddard NASA di Greenbelt, Maryland.

Para ilmuwan telah menemukan bukti adanya molekul hidroksil dan air di permukaan Bulan, hanya beberapa milimeter dalamnya.

Dengan peralatan yang tersedia saat ini, mereka masih kesulitan membedakan antara hidroksil dan air. Jadi mereka menggunakan istilah “air” untuk merujuk pada salah satu atau campuran kedua molekul tersebut.

Matahari Memengaruhi Siklus Air di Bulan

Pengukuran oleh wahana antariksa telah menunjukkan bahwa Angin Matahari merupakan penggerak utama air, atau komponen-komponennya, di permukaan Bulan.

Eksperimen yang dipimpin oleh tim Yeo mengonfirmasi bahwa sinyal air di Bulan berubah sepanjang hari.

Di beberapa wilayah, sinyal air lebih kuat di pagi hari yang lebih dingin dan memudar saat permukaan Bulan memanas. Ini mungkin karena molekul air dan hidrogen bergerak atau lepas ke luar angkasa. Saat permukaan Bulan mendingin lagi di malam hari, sinyal air kembali memuncak.

Siklus harian ini menunjukkan adanya sumber aktif yang mengisi kembali sejumlah kecil air di Bulan setiap hari, yaitu Angin Matahari.

Eksperimen

Untuk menguji apakah hal ini benar, Yeo dan koleganya, Jason McLain, seorang ilmuwan peneliti di NASA Goddard, membuat peralatan khusus untuk memeriksa sampel Bulan yang dibawa oleh wahana antariksa Apollo.

Peralatan tersebut menampung semua komponen percobaan di dalamnya, yaitu perangkat sinar partikel surya, ruang tanpa udara yang mensimulasikan lingkungan Bulan, dan detektor molekul. Tim menggunakan debu Bulan dari dua sampel berbeda yang diambil oleh astronot Apollo 17 NASA pada tahun 1972.

Yeo dan rekan-rekannya pertama-tama memanggang sampel tersebut untuk menghilangkan jejak-jejak air yang mungkin terbentuk selama penyimpanan kedap udara.

Kemudian, mereka menggunakan akselerator partikel kecil untuk membombardir sampel debu Bulan dengan angin Matahari tiruan selama beberapa hari. Ini setara dengan 80.000 tahun di Bulan, berdasarkan dosis tinggi partikel yang digunakan.

Mereka juga menggunakan sebuah detektor yang disebut spektrometer untuk mengukur seberapa banyak cahaya yang dipantulkan oleh molekul debu Bulan. Ini menunjukkan bagaimana susunan kimia sampel berubah seiring waktu.

Pada akhirnya, tim tersebut melihat penurunan sinyal cahaya yang memantul ke detektor di wilayah inframerah spektrum elektromagnetik, tempat air biasanya menyerap energi. Pengukuran terhadap susunan kimiawi menunjukkan bahwa hidroksil dan air muncul dalam sampel Bulan.

Tim menyimpulkan bahwa hantaman energi plasma yang keras dan konstan, suhu, dan waktu memengaruhi jumlah dan distribusi hidrogen di Bulan. Memahami bagaimana air terbentuk di Bulan penting bagi misi luar angkasa di masa mendatang. [BP]