Peningkatan kasus diabetes dan gagal ginjal pada anak di Indonesia sudah mencapai angka yang mengkhawatirkan. Belum lama ini Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) mengungkapkan data bahwa kasus diabetes anak pada tahun 2023 telah meningkat hingga 70 kali lipat dibandingkan dengan tahun 2010 lalu.
Ketua Umum PP IDAI, dr. Piprim Basarah Yanuarso, SpA(K) mengakui kenaikan kasus diabetes melitus tipe 2 pada kelompok anak-anak semakin meningkat karena pola hidup yang tidak baik.
Dalam pernyataannya, IDAI menyampaikan terdapat 1.645 anak di Indonesia yang menderita diabetes pada Januari 2023, di mana prevalensinya sebesar 2 kasus per 100.000 anak.Ia juga membandingkan dengan prevalensi kasus diabetes anak pada tahun 2010 yang hanya sebesar 0,028 per 100.000 anak.
Berdasarkan data IDAI hampir 60% penderitanya adalah anak perempuan. Sedangkan berdasarkan usia, sebanyak 46% berusia 10-14 tahun, dan 31% berusia 14 tahun ke atas. Data itu berasal dari 15 kota di Indonesia, dan paling banyak berasal dari Jakarta serta Surabaya.
Rilis IDAI itu terkonfirmasi juga oleh pernyataan Direktur Utama Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan Ali Ghufron. Ia mengatakan pasien anak yang menderita diabetes meningkat sekitar 1.000 kasus pada 2022 dibandingkan 2018.
Data itu menggambarkan situasi yang sangat mengkhawatirkan bahwa anak-anak telah mengadopsi pola hidup tidak sehat, salah satunya akibat konsumsi makanan berkandungan gula tinggi. Selain buruknya pola makan, rendahnya aktivitas anak dapat mempengaruhi peningkatan kasus diabetes anak. Hal ini ditemui sebagai dampak dari berbagai pembatasan aktivitas sosial selama pandemi covid-19.
Penyakit diabetes anak dapat menyebabkan gangguan kesehatan lainnya, salah satunya adalah gagal ginjal. Bila kerusakan ginjal semakin parah maka diperlukan hemodialisa atau cuci darah. Belum lama ini terungkap bahwa banyak pasien anak-anak yang melakukan tindakan cuci darah di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM). Menurut pihak RSCM saat ini pihaknya melayani sekitar 60 pasien anak-anak yang harus menjalani cuci darah secara rutin.
Melindungi anak dari diabetes dan gagal ginjal
Menurut penelitian, sekitar 80 persen kasus anak dengan diabetes dibarengi dengan kondisi tubuh obesitas atau berat badan berlebih. Obesitas itu pangkal mula berbagai penyakit termasuk ginjal. Karena dari obesitas, biasanya nanti diikuti hipertensi, resistensi insulin.
Obesitas anak sejak kecil biasanya akan terbawa hingga dewasa, sulit untuk diubah. Meningkatnya angka obesitas menunjukkan gaya hidup anak sangat memprihatinkan baik itu pola makan, pola gerak hingga pola tidurnya.
Salah satu pola hidup tidak sehat yang disoroti adalah konsumsi junk food dan ultra processed food sejak anak masih kecil sehingga dapat memperparah kondisi ginjal seiring bertambah usianya. Selain itu kecenderungan anak mengkonsumsi makanan minuman mengandung pemanis terus meningkat.
Menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, dua dari tiga remaja berusia 5-19 tahun mengonsumsi minuman berpemanis sekali sehari atau lebih. Anak-anak menjadi gemar mengonsumsi makanan dan minuman manis karena terbiasa dengan pola asuh dan pola makan yang tidak sehat sejak dini akibat makanan dan jajanan berkandungan gula tinggi.
Kerentanan anak terhadap penyakit juga tercipta karena situasi. Saat ini makanan instan dan berpemanis lebih mudah dijangkau dan dianggap lebih praktis. Sementara, makanan sehat lebih sulit didapat dan harganya lebih mahal dibanding makanan tidak sehat.
Mengingat masalah kesehatan anak yang ditimbulkan oleh pola konsumsi dan pola hidup tidak sehat, maka peran orang tua menjadi sangat penting untuk membiasakan anak menerapkan pola hidup sehat. Hal ini juga memerlukan peningkatan edukasi bagi orang tua agar mampu memilah dan memilih makanan sehat bagi anak.
Masalah regulasi
Namun hanya mengandalkan peran orang tua tidaklah cukup, butuh peran pemerintah menciptakan regulasi misalnya untuk melindungi anak dari konsumsi makanan tidak sehat. Peningkatan penyakit diabetes dan gagal ginjal anak salah satu penyebabnya adalah lemahnya regulasi yang dibuat pemerintah.
Selama ini pemerintah melalui kementerian kesehatan hanya mengeluarkan anjuran batasan konsumsi gula perhari sebesar 50 gram atau sekitar empat sendok makan. Hal itu termaktub dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 30 Tahun 2013.
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) juga mengatur soal batas maksimak penggunaan pemanis buatan untuk produk pangan olahan melalui Peraturan BPOM Nomor 11 Tahun 2019. Selain itu juga ada aturan soal pelabelan pada kemasan soal kandungan gizi, termasuk dula di dalam pangan olahan juga diatur berdasarkan Peraturan BPOM Nomor 26 Tahun 2021.
BPOM juga membuat label “Pilihan Lebih Sehat” untuk produk pangan olahan yang mengandung gula kurang dari 6 gram per 100 mililiter sebagai acuan masyarakat dalam memilih.
Sementara itu, untuk makanan siap saji diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 30 Tahun 2013 mewajibkan produsen pangan siap saji yang memiliki lebih dari 250 gerai diwajibkan menyampaikan informasi kandungan gula, garam, dan lemak.
Kementerian Kesehatan menyatakan kebijakan yang dilakukan sejauh ini adalah mengedukasi para orang tua untuk memahami informasi label nilai gizi pada bahan pangan dan minuman kemasan serta siap saji.
Namun berbagai regulasi itu kurang berjalan efektif, hal ini terlihat dari menjamurnya penjualan makanan dengan pemanis berlebih yang mudah dibeli oleh anak. Hingga kini belum ada pembatasan secara ketat bagi produsen yang mengandung pemanis baik itu berupa cukai ataupun pembatasan penjualannya.
Belajar dari pengalaman negara lain kita sebenarnya bisa mencontoh praktik baik di Meksiko yang mampu menurunkan jumlah pembelian makanan berpemanis dalam kemasan (MBDK) hingga 19 persen melalui pemberlakuan cukai. Praktik penerapan cukai serupa juga dilakukan di Inggris untuk menurunkan kadar gula sebesar 11 persen. Kebijakan itu berhasil mendorong para produsen untuk membuat produk mereka lebih sehat.
Untuk dapat mencegah semakin banyaknya kasus dibutuhkan upaya komprehensif atau menyeluruh, baik itu edukasi, pengawasan, pembatasan hingga penerapan cukai. Tentu ini tidak hanya ranah Kementerian Kesehatan, semua pihak harus dikoordinasikan dengan baik oleh pemerintah agar ada hasil nyata. [NUR]