Koran Sulindo – Hakim tunggal praperadilan mengabulkan permohonan Ketua DPR Setya Novanto terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pengabulan permohonan itu sekaligus mengubah status tersangka Novanto dalam kasus korupsi KTP elektronik (e-KTP) dan memerintahkan KPK untuk menghentikan penyidikan kepada Ketua Umum Partai Golkar itu.
Hakim Cepi Iskandar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menyebutkan penetapan tersangka oleh KPK kepada Novanto tidak sah. KPK karena itu diminta untuk menghentikan penyidikan kasus Novanto. Sidang putusan ini dihadiri oleh para pihak baik dari pengacara Novanto maupun biro hukum KPK.
Keputusan Cepi tersebut telah melalui pertimbangan sejumlah dalil gugatan dari pihak Novanto serta jawaban atas gugatan dari pihak KPK. Juga saksi-saksi dan bukti-bukti yang diajukan kedua belah pihak.
KPK telah menetapkan Novanto sebagai tersangka dalam kasus e-KTP sejak 17 Juli lalu. Karena penetapannya itu, ia pun mengajukan praperadilan pada 4 September 2017. Novanto keberatan dengan penetapannya sebagai tersangka yang dituduh memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi dan menyalahgunakan kewenangan serta jabatan.
Novanto dituduh ikut mengatur angar anggaran proyek e-KTP yang mencapai sekitar Rp 5,9 triliun itu disetujui DPR. Ia bersama pengusaha Andi Agustinus alias Andi Narogong diduga mengakibatkan kerugian negara mencapai Rp 2,3 triliun. Kendati telah menjadi tersangka, Novanto mangkir dua kali dari pemeriksaan dengan dalih sakit.
Sejumlah Kejanggalan
Sebelumnya, Indonesia Corruption Watch (ICW) telah menduga hakim akan mengabulkan permohonan Novanto dalam sidang praperadilan. Pasalnya, lembaga ini menilai ada sejumlah keganjilan yang dilakukan hakim Cepi dalam memimpin sidang praperadilan tersebut.
Pertama, ICW menyoal keengganan hakim untuk memutar rekaman bukti keterlibatan Novanto dalam korupsi e-KTP. Hakim menilai pemutaran rekaman sudah memasuki pokok perkara walau itu menjadi salah satu bukti keterlibatan Novanto dalam kasus e-KTP. Tentu saja dalih hakim itu kontradiksi dengan putusannya yang menolak eksepsi KPK. Artinya, hakim Cepi justru membuka ruang untuk menguji materi perkara ketika menolak eksepsi KPK.
Selanjutnya, hakim Cepi menunda keterangan ahli KPK pada 27 September lalu. Ahli yang didatangkan KPK adalah Bob Hardian Syahbudin yang merupakan ahli teknologi informasi Universitas Indonesia. Cepi beralasan materi yang disampaikan sudah masuk pokok perkara.
Kemudian, hakim menolak eksepsi KPK yang berkaitan dengan dua hal yaitu status penyelidik dan penyidik independen KPK. Juga dalil permohonan Novanto yang sudah dianggap memasuki substansi pokok perkara. Itu berarti hakim Cepi tidak mempersoalkan dalil permohonan Novanto yang sudah masuk pokok perkara. Lain halnya akan pemutaran rekaman yang diajukan KPK, Cepi malah menyebutnya sudah masuk pokok perkara.
Lalu, hakim Cepi mengabaikan permohonan intervensi dari Masyarakat Anti Korupsi Indonesia dan Organisasi Advokat Indonesia. Cepi beralasan gugatan intervensi itu belum terdaftar dalam sistem informasi pencatatan perkara. Sejatinya gugatan intervensi itu menguatkan posisi KPK.
ICW juga menyoroti tentang pertanyaan hakim Cepi kepada ahli soal lembaga KPK bersifat adhoc walau itu sama sekali tidak ada kaitannya dengan pokok perkara praperadilan. Terakhir, laporan panitia khusus angket DPR dijadikan sebagai bukti dalam praperadilan. Dokumen itu dikatakan diperoleh dengan cara yang tidak sah. Dokumen yang pada intinya tentang kinerja KPK selama 10 tahun. [KRG]