PT Freeport Indonesia di Papua [Foto/Istimewa]

Koran Sulindo – Chappy Hakim kaget ketika diberitakan “memukul” seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada awal bulan ini. Bagi Chappy, berita seperti itu ibarat petir di siang bolong. Bagaimana tidak. Itu menyangkut harga dirinya sebagai Direktur Utama PT Freeport Indonesia.

Ditambah pula, “pemukulan” itu diberitakan berkaitan dengan rapat dengar pendapat antara Komisi VII DPR dengan PT Freeport Indonesia. Tanpa berpikir lama, mantan Kepala Staf Angkata Udara (KSAU) itu segera mengklarifikasi dan membantah pemberitaan tersebut. “Tidak benar terjadi pemukulan seperti yang diberitakan media,” kata Chappy seperti dikutip situs Asia Pasific Report pada pertengahan Februari 2017.

Cerita yang berbeda disampaikan politikus Partai Hanura Mukhtar Tompo, “korban” Chappy. Menurutnya, bos Freeport itu berteriak dan menunjuk dadanya setelah rapat antara Komisi VII dan Freeport usai. Semuanya berawal dari cuitan Mukhtar lewat akun Twitter-nya tentang Freeport.

Mukhtar menuliskan Freeport telah melanggar Undang Undang tentang Pertambangan Mineral dan Batubara tahun 2009. Perusahaan ini disebut hanya bermain-main dan berjanji saja untuk membangun fasilitas pemurnian hasil tambang atau smelter. “Semua adalah opera sabun,” tulis Mukhtar di Twitter pada 7 Desember tahun lalu.

Tidak hanya sampai di situ, Mukhtar juga menuliskan tentang pernyataan bos Freeport yang memastikan perusahaan asal Amerika Serikat (AS) itu tidak akan membangun smelter jika kontrak mereka tidak diperpanjang. Pernyataan ini, menurut Mukhtar, menjadi lucu. Padahal perusahaan ini sudah berjanji akan membangun smelter di Gresik, Jawa Timur. Karena itu, perusahaan ini tidak akan diizinkan mengekspor konsentrat jika tidak membangun smelter.

Kendati telah meminta maaf dan membantah insiden tersebut, Mukhtar tetap melaporkan “perbuatan” Chappy itu ke Bareskrim Mabes Polri pada 14 Februari lalu. Agaknya ada yang ganjil dari peristiwa tersebut. Pasalnya, setelah ramai diberitakan, tetap saja negara tidak mampu membendung “kekuatan” korporasi multinasional ini. Freeport tetap saja mendapatkan semua kemudahan-kemudahan dan kerap membuat negara pusing.

Apa yang dipersoalkan Mukhtar itu bukanlah sekadar omong kosong. Pada awal tahun ini, misalnya, pemerintah Joko Widodo-Jusuf Kalla menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Penerbitan PP ini menandakan pemerintah tidak konsisten terutama terhadap Freeport. Padahal, pengusaha tambang membutuhkan kepastian hukum untuk menjalankan bisnisnya.

Kendati tidak memberi kepastian hukum, para perusahaan tambang tentu saja gembira menyambut aturan ini. Apalagi perusahaan diberi kelonggaran untuk bisa mengekspor bahan mentah dalam waktu lima tahun ke depan. Sejak aturan ini diterbitkan. Itu sebabnya, aliansi lembaga swadaya masyarakat seperti Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Publish What You Pay (PWYP), Indonesia for Global Justice (IGJ) dan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) melihat aturan tersebut hanya menguntungkan perusahaan tambang.

Manajer Advokasi dan Jaringan PWYP Indonesia Aryanto Nugroho mengatakan, Freeport Indonesia sebagai perusahaan paling diuntungkan akibat PP ini. Kelonggaran ekspor menjadi alasan perusahaan ini untuk tidak menyelesaikan smelter hingga Kontrak Karya selesai. Kendati ia tak punya bukti PP tersebut berkaitan dengan Freeport, akan tetapi ada benang merah antara keinginan perusahaan dengan aturan tersebut.

50 Tahun Freeport di Indonesia
Mantan Menteri Perekonomian Kwik Kian Gie mengatakan, keberadaan Freeport hari ini sesungguhnya menandai 50 tahun  proses terjajahnya negeri ini sejak 1967. Sejak itu pula, ujar Kwik, kehidupan berbangsa dan bernegara mengalami kemerosotan yang cukup parah. Terutama setelah kejatuhan Bung Karno.

Segera setelah itu kekuatan modal asing yang dipakainya untuk melakukan eksploitasi atau korporatokrasi beraksi. Praktik eksploitasi lewat kapitalisme global itu justru banyak digambarkan para sarjana Eropa dan sejarawan Amerika Serikat (AS). “Ada delapan tonggak fundamental untuk mengukur apakah memang kita mengalami kemajuan atau kemorosotan setelah 1967,” kata Kwik dalam sebuah tulisan yang dimuat dalam laman resminya.

Salah satu tonggak itu, menurut Kwik, adalah soal kemerdekaan ekonomi. Sejak Indonesia berada di bawah cengkeraman rezim Orde Baru, negeri ini nyaris dibagi-bagi kepada semua pengusaha swasta asing. Freeport merupakan di antaranya. Mengutip buku wartawan lepas BBC, John Pilger berjudul The New Rulers of the World, Kwik mengatakan, pada November 1967 The Life Time Corporation mensponsori konferensi istimewa di Jenewa, Swiss.

Dalam waktu tiga hari, mereka merancang pengambilalihan Indonesia. Para pesertanya meliputi para kapitalisme global yang paling berkuasa di dunia seperti David Rockefeller. Perusahaan raksasa Barat diwakili General Motors, Imperial Chemical Industries, British Leyland, British American Tobacco, American Express, Siemens, Goodyear, The International Paper Corporation, US Steel. Dalam kesempatan itu, hadir juga para ekonom-ekonom top Indonesia di bawah pimpinan Widjojo Nitisastro.

Kwik melanjutkan, masih menurut buku yang sama, hari kedua pertemuan itu, ekonomi Indonesia dibagi-bagi sektor demi sektor. Para korporasi raksasa ini membaginya ke dalam lima seksi yakni pertambangan, jasa, industri ringan, perbankan dan keuangan. Mereka disebut mendiktekan apa yang mereka mau kepada perwakilan pemerintah Indonesia. Freeport lantas mendapatkan bukit dengan tembaga di Papua Barat. Eropa disebut mendapat nikel di daerah yang sama.

Sementara sejumlah perusahaan AS, Jepang dan Prancis mendapat hutan-hutan tropis di Sumatra, Papua Barat, dan Kalimantan. Untuk membenarkan penanaman modal asing ini kemudian dibuatlah sebuah Undang Undang (UU) Penanaman Modal Asing tahun 1967. Lewat UU itu, sebut Kwik, perampokan ini bebas pajak untuk lima tahun. Sejak tahun itu, Kwik menyimpulkan Indonesia tak lagi mandiri secara ekonomi.

Apa yang disebutkan Kwik itu berlanjut hingga hari ini. Meski UU Pertambangan telah menetapkan agar perusahaan tambang melarang ekspor bahan mentah, tak membuat Freeport limbung. Justru pemerintah yang dibuat goyah karena berbagai manuver perusahaan AS itu. Semisal, Freeport mempertimbangkan memecat karyawannya karena larangan ekspor konsentrat. Karena disebut berdampak menurunnya produksi sebesar 40 persen dari jumlah awal.

Tentu saja manuver Freeport ini membuat banyak kalangan gusar, termasuk pemerintah dan DPR Papua. Belakangan, Freeport justru mendapatkan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) Operasi Produksi dari pemerintah. Dengan demikian, Freeport kembali bisa mengekspor konsentrat. Akan tetapi, perusahaan ini masih saja mengajukan syarat meski sudah mendapatkan kemudahan seperti jaminan dan stabilitas berinvestasi jangka panjang hingga pengenaan pajak dengan besaran tetap.

Soal ini pemerintah belum memutuskannnya. Masalahnya mengenai Freeport tidak hanya berkaitan dengan pajak, tapi banyak faktor lain. Pemerintah perlu merespons secara tegas keinginan Freeport yang terus menggelinding bak bola salju ini. Akan tetapi, seperti kata Bung  Karno kemerdekaan ekonomi tidak akan pernah tercapai tanpa kemerdekaan politik.

Bung Karno pun mengingatkan hal itu lewat pidato Nawaksara pada 22 Juni 1966. Pada waktu itu, ia  mengatakan, khusus mengenai prinsip berdikari bahwa itu tidak mengurangi kerja sama internasional. Justru prinsip tersebut momentum memperluas kerja sama internasional, terutama antara semua negara yang baru merdeka. Yang ditolak berdikari adalah ketergantungan kepada imperialis, bukan kerja sama yang sama – derajat dan saling menguntungkan.

Seperti Bung Karno, Kwik juga berpendapat serupa. Kemerdekaan politik disebut jembatan emas menuju kemakmuran yang berkeadilan dan kesejahteraan rakyat. Di samping Freeport yang sudah bercokol puluhan tahun, Indonesia pada tahun ini akan memperingati 72 tahun kemerdekaan. Melihat sikap pemerintah yang tidak tegas, mungkinkah Republik “merdeka” dari cengkeraman Freeport? [Kristian Ginting]