Tari Hudoq. (Foto: Direktorat Event Daerah Kemenparekraf)

Kalimantan Timur bukan hanya dikenal karena kekayaan alam dan potensi ekonominya, tetapi juga sebagai rumah bagi ragam budaya yang hidup dan terus bertahan di tengah arus modernisasi. Salah satunya adalah Tari Hudoq, tarian tradisional yang bukan hanya menarik dari segi estetika, tetapi juga menyimpan nilai spiritual yang mendalam.

Di balik denting gong dan gerakan penari yang meliuk dalam balutan daun-daunan, tersimpan kisah tentang hubungan manusia dengan leluhur, alam, dan kepercayaan yang diwariskan secara turun-temurun oleh Suku Dayak Bahau. Lebih dari sekadar pertunjukan, Tari Hudoq merupakan cermin kearifan lokal yang terus dijaga hingga hari ini.

Salah satu ciri paling menonjol dari Tari Hudoq terletak pada topeng-topeng kayu yang dikenakan para penari. Topeng-topeng tersebut umumnya menyerupai bentuk binatang, leluhur, atau dewa, yang diyakini sebagai perwujudan roh-roh pelindung. Dalam kepercayaan masyarakat Dayak Bahau, roh-roh tersebut dipercaya hadir untuk memberikan perlindungan sekaligus berkah.

Tradisi dalam Masyarakat Agraris

Melansir laman Direktorat Event Daerah Kemenparekraf, Tari Hudoq awalnya dilakukan dalam rangkaian ritual pertanian, terutama menjelang pembukaan lahan baru atau setelah musim panen. Melalui tarian ini, masyarakat Dayak Bahau menyampaikan doa kepada para leluhur agar diberi kekuatan, dijauhkan dari marabahaya, serta mendapatkan hasil panen yang melimpah di masa mendatang.

Dalam praktiknya, tarian ini menjadi semacam media komunikasi antara manusia dan roh nenek moyang. Pemilihan istilah hudoq, yang berarti “menjelma”, merujuk pada keyakinan bahwa roh leluhur hadir dan merasuk ke dalam tubuh para penari.

Topeng-topeng Hudoq tidak hanya digunakan sebagai pelengkap visual, tetapi juga membawa makna simbolis yang kuat. Setiap warna yang digunakan memiliki arti tersendiri: merah melambangkan keberanian, putih melambangkan kesucian, hitam melambangkan keagungan, kuning melambangkan kemakmuran.

Sementara itu, kostum yang digunakan disebut Hudoq Chum Tai, terbuat dari daun-daunan hijau yang melambangkan kesuburan dan kesejukan. Kostum ini membalut tubuh para penari dari kepala hingga kaki, menyatu dengan alam yang menjadi pusat kehidupan mereka.

Tari Hudoq umumnya ditarikan oleh laki-laki yang bergerak secara ekspresif dengan hentakan kaki dan gerakan tangan. Sedangkan kaum perempuan berada di sisi luar lingkaran, bertugas sebagai pengiring dengan menyanyikan lagu-lagu yang berisi cerita rakyat, mitos, dan hubungan antara manusia dan alam.

Musik Tradisional dan Spiritualitas

Tarian ini diiringi oleh alat musik tradisional seperti gong, kempli, dan suling. Irama yang dihasilkan tidak hanya menghidupkan suasana, tetapi juga diyakini membuka jalan bagi para roh untuk hadir dan menyatu dengan upacara yang berlangsung.

Salah satu momen penting yang menampilkan Tari Hudoq dalam skala besar adalah Festival Hudoq Pekayang, yang rutin digelar di beberapa wilayah Kalimantan Timur. Festival ini menjadi ajang pelestarian budaya sekaligus sarana promosi pariwisata berbasis kearifan lokal.

Meski zaman terus bergerak dan budaya global kian mendominasi, Tari Hudoq tetap menjadi bagian penting dari identitas masyarakat Dayak Bahau. Pelestarian tarian ini tidak hanya dilakukan melalui festival, tetapi juga melalui pendidikan budaya kepada generasi muda.

Tari Hudoq menjadi bukti bahwa nilai-nilai spiritual, penghormatan terhadap leluhur, serta keterikatan manusia dengan alam masih dijunjung tinggi di tengah masyarakat adat. Di balik hentakan kaki dan topeng kayu, tersimpan warisan yang terus hidup, membisikkan kearifan kepada siapa saja yang mau mendengarkan. [UN]