Tradisi tato dalam budaya Dayak tak muncul begitu saja. Di balik simbol-simbol yang terpatri di kulit, terdapat jejak sejarah panjang yang menjadi bagian dari perjalanan peradaban suku Dayak itu sendiri. Untuk memahami kedalaman makna tato ini, penting menelusuri akar sejarahnya, mulai dari migrasi nenek moyang mereka hingga bagaimana seni rajah tubuh ini berkembang di berbagai wilayah Borneo dan diwarisi lintas generasi. Melalui artikel ini, kita akan menelusuri makna tato Dayak hingga jenis-jenisnya.
Asal Usul
Di balik goresan tinta yang terpatri di tubuh, tato Dayak menyimpan warisan budaya yang telah bertahan ribuan tahun lamanya. Lebih dari sekadar seni tubuh, tato ini merupakan simbol kehidupan, spiritualitas, dan identitas yang begitu sakral bagi masyarakat suku Dayak, khususnya Dayak Iban. Tradisi ini telah diwariskan sejak sekitar 1500–500 SM, berkembang di wilayah Kalimantan Barat, Sabah, Sarawak, dan Brunei Darussalam, dan pada tahun 2010 telah resmi diakui sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia.
Budaya tato Dayak diyakini berasal dari daratan Asia, tepatnya wilayah Cina Selatan, yang merupakan tanah asal nenek moyang suku Dayak. Dari sana, mereka bermigrasi ke Kalimantan dan berkembang menjadi berbagai subsuku dengan ciri khas budaya masing-masing, termasuk dalam hal seni rajah tubuh. Tidak semua subsuku Dayak memiliki tradisi tato, namun beberapa yang dikenal kuat menjaganya adalah Dayak Iban, Kenyah, Kayan, Bahau, Sa’ban, Ngaju, dan Bakumpai.
Makna dan fungsi tato bagi masyarakat Dayak tidaklah sesederhana sebagai bentuk ekspresi seni tubuh. Bagi mereka, setiap goresan tinta adalah representasi dari perjalanan hidup, spiritualitas, serta kedalaman nilai budaya yang diwariskan secara turun-temurun. Tato menjadi penanda identitas dan status sosial dalam komunitas. Beberapa motif tertentu bahkan hanya boleh dimiliki oleh mereka yang telah mencapai kedudukan khusus atau berjasa besar bagi masyarakat, menjadikannya simbol eksklusif yang sarat kehormatan.
Di sisi spiritual, tato dipercaya memiliki kekuatan magis yang mampu melindungi pemiliknya dari gangguan roh jahat. Bahkan, dalam kepercayaan Dayak, tato menjadi cahaya penerang dalam perjalanan menuju alam keabadian setelah kematian—terutama setelah dilangsungkannya upacara Tiwah yang sakral. Selain itu, tato juga berfungsi sebagai bentuk penghargaan atas keberanian, jasa dalam menolong sesama, atau pencapaian dalam seni bela diri tradisional seperti Kinyah.
Tato juga menjadi penanda kedewasaan dan kesiapan seseorang untuk menikah, khususnya bagi perempuan. Dalam konteks ini, tubuh yang ditato tidak hanya menjadi medium artistik, tetapi juga mencerminkan transformasi peran sosial seseorang dalam komunitas. Tak kalah penting, beberapa motif tato Dayak mencerminkan jejak pengembaraan atau perantauan, menjadi semacam peta visual atas perjalanan hidup sang pemilik dari satu wilayah ke wilayah lainnya. Dengan demikian, tubuh yang ditato ibarat naskah hidup yang terus menuturkan kisah—tentang keberanian, pencapaian, dan spiritualitas yang mendalam.
Motif-Motif Tato Dayak yang Sarat Filosofi
Setiap tato dalam budaya Dayak mengandung simbolisme yang mendalam. Berikut beberapa motif yang populer:
1. Motif Rekong
Diperuntukkan bagi panglima atau tokoh adat, dengan bentuk seperti kupu-kupu, kalajengking, atau kepiting. Di luar komunitas Dayak Iban, tato ini bisa bermakna hukuman adat.
2. Motif Bunga Terong
Simbol anak rantau yang mampu hidup di mana saja. Letaknya di bahu, pinggang, atau bagian tubuh lain. Di masa lalu, menjadi penanda bahwa seseorang telah terjun ke medan perang dan mampu memenggal kepala musuh.
3. Motif Ketam
Melambangkan keberanian dan kejantanan. Umumnya berada di pundak, lengan, atau punggung, dan berhubungan erat dengan alam.
4. Motif Buah Andu
Melambangkan sumber kehidupan, biasanya ditato di belakang paha atau punggung. Motif ini menandakan seseorang telah hidup mandiri dalam perantauan.
5. Motif Bunga Engkabang
Mengandung makna kehidupan dan kesejahteraan. Engkabang adalah pohon besar penghasil minyak nabati, ditato di bagian perut atau punggung atas.
6. Motif Tegulun
Hanya boleh dimiliki oleh mereka yang telah membuktikan keberanian ekstrem, seperti memenggal kepala musuh. Bentuknya berupa garis-garis melintang di tangan hingga jari.
Alat Tradisional dan Proses Sakral Pembuatan Tato
Berbeda dengan mesin modern, tato Dayak dibuat secara manual dengan teknik tradisional yang memerlukan ketelitian dan ketahanan fisik. Proses ini merupakan ritual sakral yang melibatkan beberapa alat khas:
1. Tukul Tedak: Palu kecil untuk memukul jarum ke kulit
2. Helan Tedak: Bantal khusus untuk menopang bagian tubuh
3. Bungaan Tedak: Penjepit jarum atau duri
4. Lu Tedak: Jarum atau duri sebagai alat penusuk
5. Sake Damar: Pewarna alami dari arang damar atau jelaga lampu
6. Bahan Tambahan: Upih pinang, seruas bambu, besi gepeng, kayu ulin
Proses pengerjaannya dimulai dengan mencelupkan duri ke dalam pewarna, lalu dipukul-pukul ke permukaan kulit mengikuti motif tertentu. Warna hitam pekat diperoleh dari campuran jelaga dengan air tebu atau lemak babi, lalu dikeringkan hingga mengkristal dan digunakan kembali sesuai kebutuhan.
Di tengah modernisasi dan masuknya budaya global, tato Dayak tetap menjadi lambang kebanggaan etnik yang tak ternilai. Sayangnya, tidak semua generasi muda mengenal makna sakral di balik ukiran ini. Oleh karena itu, pelestarian dan edukasi terhadap warisan budaya seperti tato Dayak sangat penting agar nilai-nilai luhur ini tidak tergerus waktu.
Tato Dayak bukan sekadar tinta di kulit, ia adalah narasi hidup yang dibisikkan dari leluhur, ditorehkan dengan keteguhan, dan diwariskan dengan penuh hormat. Sebuah bahasa visual yang terus bercerita, bahkan ketika suara telah lama terdiam. [UN]