Ilustrasi/Menkeu Sri Mulyani/Instagram Sri Mulyani

Koran Sulindo – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan utang Indonesia terus mengalami tren penurunan dari tahun ke tahun. Pada 2 tahun sebelumnya utang Indonesia berada pada angka 2,99 persen, tahun lalu turun menjadi 2,55 persen, dan tahun ini kembali turun menjadi 2,19 persen.

“Pemerintah menargetkan pada tahun depan, utang kita bisa turun 2 persen dari angka saat ini,” kata Menkeu, pada kuliah umum di Kampus IAIN Surakarta, Jawa Tengah, Sabtu (26/5/2018), seperti dikutip antaranews.com.

Menurut Menkeu, produk domestik bruto di Indonesia saat ini sebesar Rp14.000 triliun. Sedangkan berdasarkan UU Keuangan batas maksimum utang total tidak boleh lebih besar dari 60 persen dari PDB dalam negeri. Jika melihat PDB Indonesia sekitar Rp14.000 triliun, batas maksimum utang bisa mencapai Rp8.400 triliun.

“Sesuai dengan yang diatur dalam undang-undang keuangan, setiap tahun kita tidak boleh utang lebih dari 3 persen dari total kue ekonomi kita. Padahal sekarang utang kita sekitar Rp4.000 triliun,” katanya.

Sri menyayangkan pernyataan tentang utang negara yang memojokkan pemerintah.

“Utang ini bukan seenaknya Menteri Keuangan, semua sudah diatur dalam undang-undang,” katanya.

Selama ini utang masa lalu Indonesia juga telah dibayarkan tetapi ada pengajuan utang baru. Utang baru tersebut dampak dari neraca perdagangan dalam negeri yang mengalami defisit.

“Untuk diketahui, penerimaan negara yang di antaranya berasal dari pajak dan hibah sebesar Rp1.890 triliun, sedangkan untuk kebutuhan belanja negara sekitar Rp2.200 triliun. Pada prinsipnya kita mengalami defisit sekitar Rp325 triliun,” katanya.

Tingginya kebutuhan belanja negara itu karena banyaknya subsidi dari pemerintah yang masih dirasakan oleh masyarakat. Di sisi lain, pemerintah juga terus membenahi infrastruktur untuk kemudahan hidup masyarakat termasuk untuk perkembangan industri di dalam negeri.

Alternatif Pembiayaan Utang

Sebelumnya, pemerintah menyatakan memiliki tiga sumber alternatif pembiayaan pemerintah, di saat Surat Berharga Negara (SBN) tidak laku akibat pasar mengharapkan imbal hasil (yield) yang tinggi. Namun pemerintah juga mengklaim kas negara dalam kondisi yang baik, dalam menjawab tantangan peningkatan ketegangan global.

Pemerintah terus mempersiapkan alternatif sumber pembiayaan utang selain dari pasar untuk mengantisipasi ketidakpastian akibat gejolak pasar global.

Alternatif itu bisa melalui mekanisme Penambahan Modal Tanpa Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu (Private Placement), dan pinjaman dari mitra baik bilateral maupun multilateral.

“Penerbitan SBN bisa dilakukan melalui private placement, tidak hanya melalui market. Samurai bond (surat utang berdenominasi yen Jepang), juga bisa di-upsize saat ini mencapai 150 miliar yen Jepang,” kata Sri, dalam jumpa pers di Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak Jakarta, 11 Mei 2018 lalu, sperti dikutip kemenkeu.go.id.

Soal private placement, pemerintah memiliki opsi tersebut apabila pasar menunjukkan tanda-tanda tingka imbal hasil (return) yang tidak rasional. Oleh karena itu, pemerintah akan terus menjaga alternatif pembiayaan melalui private placement sampai mendapatkan harga yang sesuai.

Kedua, pemerintah akan melakukan pinjaman bilateral dan multilateral dengan beberapa negara dengan potensi sekitar US$1,3 miliar dan 850 juta euro.

Selain itu, pemerintah juga memiliki Badan Layanan Umum (BLU) yang mampu menyerap SBN hingga mencapai Rp12 triliun. Pemerintah telah mempersiapkan dana Bond Stabilization Framework (BSF) untuk menstabilkan pasar surat utang negara.

Sebelumnya, pemerintah memutuskan untuk tidak menerima seluruh penawaran lelang dari lima seri Surat Utang Negara (SUN) pada Rabu (8/5) lalu karena para investor tersebut mematok imbal hasil (yield)yang sangat tinggi dan tidak rasional. Penawaran yang masuk pada lima seri SUN itu hanya Rp7,18 triliun dari target indikatif Rp17 triliun. Penawaran tersebut merupakan yang terendah sejak 18 Juni 2013 lalu sebesar Rp7,74 triliun.

Menurut Menkeu, seluruh komponen penopang perekonomian Indonesia berada pada jalur positif. Perumbuhan konsumsi, investasi, dan eksport relatif positif dan lebih baik dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

Pemerintah menjamin kondisi kas dalam posisi aman sehingga tidak harus menerima permintaan yield lelang SBN yang mana tidak lagi rasional bila dibandingkan dengan peringkat investment grade Indonesia.

“Posisi kas pemerintah dalam kondisi yang cukup memadai dan pemerintah akan terus menjaga pelaksanaan APBN sehingga jadi pilar stabilitas dalam kondisi yang dinamis dan bergejolak. Jadi, kita mampu memberi kepercayaan pada masyarakat, dunia usaha dan pelaku pasar sehingga tidak menambah gejolak,” katanya.

Terlepas dari tiga sumber alternatif pembiayaan utang itu, Sri Mulyani kembali menegaskan bahwa pemerintah terus mengupayakan maksimalnya penerimaan negara, baik dari pajak, bukan pajak, hingga cukai untuk memenuhi kebutuhan anggaran.

Selain itu, pemerintah juga masih bisa memaksimalkan penggunaan Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (Silpa), di mana posisi Silpa per April 2018 sebesar Rp133,6 triliun. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu sebesar Rp123,2 triliun.

Selain itu, pemerintah mengklaim kas negara dalam kondisi yang baik, dalam menjawab tantangan peningkatan ketegangan global. Sejumlah ketegangan global yang dimaksud adalah, potensi kenaikan suku bunga The Fed yang diperkirakan pada Juni mendatang, potensi proteksionisme dalam perdagangan global yang disebabkan Amerika dan China, dan ketegangan dalam geopolitik yang disebabkan oleh kesepakatan nuklir antara Amerika dan Iran.

Dia memaparkan, hingga 30 April, defisit APBN mencapai Rp55,1 triliun, atau lebih kecil dari tahun sebelumnya, yakni Rp72,2 triliun. Keseimbangan primer juga memberikan surplus yang lebih baik yakni Rp24,2 triliun, atau jauh lebih besar dibanding tahun lalu Rp3,7 triliun.

Selain itu, penerimaan perpajakan sampai April juga menunjukkan pertumbuhan sehat. Penerimaan pajak telah mencapai Rp416,9 triliun, atau tumbuh 11,2% jika dimasukkan amnesti pajak, atau 15% jika tanpa amnesti pajak

Hampir 2 Tahun

Sri Mulyani diangkat Presiden Joko Widodo menjadi Menkeu pada 27 Juli 2016, setelah hampir sewindu menjadi Direktur Pelaksana Bank Dunia.

Kembalinya Sri Mulyani diharap membawa aura positif, terutama pada penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang lebih kredibel.

Kembalinya Sri Mulyani membuat Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada hari ketika ia dilantik, melonjak sekitar 1,03 persen ke level 5.278 pada penutupan sesi pertama. Tak hanya IHSG, nilai tukar (kurs) rupiah juga turut menguat sekitar 0,5 persen menjadi Rp13.115 per dolar Amerika Serikat (AS) pada penutupan sesi pertama.

Sri Mulyani mengakui kesediaannya ‘pulang kampung’ bukan hanya karena diminta Presiden Jokowi, namun karena kecintaannya kepada Indonesia dengan ikut ambil peran dalam memajukan perekonomian Tanah Air.

“Ketika saya disumpah, saya merasa merinding karena saya tahu sekali kalau ini suatu beban yang luar biasa besar,” kata Sri Mulyani, setahun lalu, seperti dikutip cnnindonesia.com.[DAS]