Bandara Kemayoran menyimpan kisah penting dalam sejarah penerbangan Indonesia. Di balik lanskap urban Jakarta masa kini, tersembunyi jejak kejayaan masa lalu dari sebuah bandara yang pernah menjadi pintu gerbang dunia internasional bagi Nusantara.
Dibuka secara resmi pada 6 Juli 1940, Bandara Kemayoran merupakan bandara internasional pertama milik Indonesia. Selama lebih dari empat dekade, bandara ini menjadi saksi bisu perkembangan dunia aviasi tanah air, hingga akhirnya berhenti beroperasi pada 1 Juni 1984.
Melansir laman setneg-ppkk.co.id, cikal bakal Bandara Kemayoran bermula pada tahun 1934 ketika pemerintah kolonial Belanda mulai membangun sebuah lapangan udara baru di kawasan Kemayoran, Batavia.
Landasan pacu ini diresmikan pada 8 Juli 1940 dan langsung dikelola oleh Koninklijke Nederlands Indische Luchtvaart Maatschappij (KNILM). Menjelang peresmiannya, sebuah pesawat DC-3 milik KNILM yang berangkat dari Tjililitan (sekarang Halim Perdanakusuma) menjadi pesawat pertama yang mendarat di bandara tersebut, disusul sehari kemudian oleh penerbangan internasional menuju Australia.
Momentum penting lainnya adalah airshow pertama yang diadakan pada 31 Agustus 1940 untuk memperingati ulang tahun Raja Belanda. Beragam pesawat ikut serta, termasuk pesawat-pesawat pribadi dari Aeroclub Batavia, seperti Buckmeister Bu-131, de Haviland DH-82 Tigermoth, Piper Cub, dan Walraven W-2, yang sempat mencatatkan penerbangan Batavia-Amsterdam pada 1935.
Perang, Pendudukan Jepang, dan Peran Strategis
Ketika Perang Asia Pasifik pecah, Bandara Kemayoran turut menjadi sasaran serangan udara Jepang. Pada 9 Februari 1942, sejumlah pesawat seperti DC-5, Brewster, dan Fokker F-VII mengalami kerusakan. KNILM pun terpaksa mengungsikan pesawat-pesawatnya ke Australia. Tak lama kemudian, bandara dikuasai oleh Jepang. Pesawat tempur Mitsubishi A6M2 Zeke, atau lebih dikenal sebagai “Zero”, menjadi pesawat pertama yang mendarat di Kemayoran pada masa pendudukan.
Pasca-kekalahan Jepang, pesawat-pesawat Sekutu mulai berdatangan. Nama-nama seperti Supermarine Spitfire, B-25 Mitchell, dan P-51 Mustang meramaikan langit Kemayoran, disusul berbagai pesawat komersial seperti DC-4 Skymaster, DC-6, Boeing 377 Stratocruiser, hingga Lockheed Constellation.
Setelah Indonesia merdeka, Bandara Kemayoran menjadi saksi lahirnya Garuda Indonesian Airways. Maskapai kebanggaan nasional ini membawa berbagai pesawat modern, menandai era penerbangan sipil pasca-kolonial.
Tahun 1950-an menjadi titik awal perkembangan pesawat bermesin jet dan turboprop di Indonesia. Pesawat-pesawat seperti Saab 91 Safir, Grumman Albatros, Ilyushin Il-14, Cessna, hingga pesawat buatan dalam negeri seperti NU-200 Sikumbang, Belalang, dan Kunang, turut beroperasi dari bandara ini.
Tak hanya melayani penerbangan sipil, Bandara Kemayoran juga menjadi basis penting bagi Angkatan Udara Republik Indonesia (kini TNI AU). Pada akhir 1950-an hingga awal 1960-an, pesawat-pesawat tempur buatan Soviet seperti MiG-15 UTI, MiG-17, MiG-19, dan pembom Ilyushin Il-28 mewarnai kegiatan militer di Kemayoran.
Masa Keemasan dan Akhir Perjalanan
Dekade 1970-an menjadi era kesibukan tertinggi Bandara Kemayoran. Pesawat jet berbadan lebar seperti Boeing 747, Lockheed L-1011 TriStar, DC-10, dan Airbus mulai beroperasi. Salah satu momen penting adalah pendaratan pesawat DC-10 milik KLM yang disewa Garuda untuk penerbangan haji pada 29 Oktober 1973. Pesawat tersebut menjadi yang terbesar dan terberat yang pernah mendarat di Kemayoran.
Namun, letaknya yang berada di tengah kawasan pemukiman padat serta lonjakan frekuensi penerbangan membuat Pemerintah Orde Baru mengambil keputusan strategis: membangun bandara baru yang lebih besar dan modern. Maka, Bandara Soekarno-Hatta mulai dibangun di Cengkareng dan resmi beroperasi pada 1985 sebagai pengganti utama Bandara Kemayoran.
Satu tahun sebelumnya, tepat pada 1 Juni 1984, Bandara Kemayoran resmi ditutup. Pesawat DC-3 Dakota menjadi pesawat terakhir yang meninggalkan landasan bersejarah ini. Meski operasionalnya telah berakhir, suasana bandara masih sempat hidup sejenak kala menjadi lokasi Indonesia Air Show (IAS) pada 1986.
Hari ini, Bandara Kemayoran mungkin hanya tinggal dalam kenangan dan catatan sejarah. Namun jejaknya tetap abadi sebagai tonggak penting dalam perjalanan bangsa membangun kedirgantaraan. Bandara ini bukan sekadar tempat lepas-landas dan mendaratnya pesawat, melainkan simbol keterhubungan Indonesia dengan dunia, saksi perjuangan kemerdekaan, serta panggung awal dari ambisi besar dalam dunia penerbangan nasional.
Dalam setiap riwayatnya dari zaman kolonial, perang dunia, kemerdekaan, hingga masa modern Bandara Kemayoran adalah bukti bahwa langit Indonesia tak pernah diam. Ia terus menjadi ruang bagi sejarah, kebanggaan, dan cita-cita bangsa. [UN]