Koran Sulindo – Mengapa Bung Karno memutuskan bekas kediamannya di Jalan Pegangsaan Timur No, 56, yang menjadi tempat upacara proklamasi kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945, dibongkar di tahun 1964?
Pertanyaan itu diajukan seorang peserta diskusi bertajuk “Hikayat Sebuah Jalan: Pegangsaan Timur” dalam Kancah Revolusi, beberapa hari lalu. Menurut sejarawan Dr. dr. Rushdy Hoesein, yang sudah hampir 30 tahun melakukan riset tentang “Rumah Proklamasi” dan memperjuangkan pembangunan kembali situs bersejarah tersebut, hanya ada satu catatan menarik terkait pembongkaran rumah itu.
Suatu kali, Henk Ngantung (Wakil Gubernur Jakarta saat itu) mengajukan keberatan soal rencana pembongkaran rumah itu. Mendengar keberatan itu, Bung Karno berkata: “Apakah kamu akan memamerkan celana dalamku di situ?”
Apa yang dimaksud Bung Karno dengan “celana dalam” tersebut?
Dalam diskusi itu saya sempat memberikan jawaban spekulatif berdasarkan pengetahuan yang saya punya. Bisa jadi yang dimaksud “celana dalam” oleh Bung Karno itu, kemunkingnan besar adalah kepahitan hidup yang mendera Bung Karno selama menempati rumah tersebut.
Lantas, apa saja kepahitan hidup Bung Karno itu?
Saya akan memulai dengan cuplikan dari buku Proklamasi, karya Osa Kurniawan Ilham, juga dari buku saya: Riwu ga, 14 tahun Mengawal Bung Karno.
Setelah meninggalkan Bengkulu, Bung Karno bersama Bu Inggit dan para anak angkatnya, menetap sebentar di Palembang. Setelah dengan susah payah Bung Karno meninggalkan Palembang, sesampainya di Jakarta, ia bersama keluarga kecilnya ditempatkan di Hotel Des Indes. Oleh Achmad Soebardjo, keluarga itu diusahakan menempati rumah di Jalan Diponegoro No. 11. Barulah kemudian menempati rumah di Jalan Pegangsaan Timur No. 56, milik seorang Arab bernama Faradj bin Said Awad Martak.
Yang berperan mengusahakan rumah di Jl. Pegangsaan No. 56 ini adalah Chaerul Basri, seorang pemuda yang sejak umur 8 tahun menjadi pengagum Bung Karno. Dia kemudian dari Padang ia pindah ke Jakarta untuk melanjutkan sekolah di AMS Jakarta. Kebetulan ia bersahabat dengan keponakan Husni Thamrin bernama Abdel Hassan. Dari situ ia dekat dengan tokoh-tokoh pergerakan dan membuat ia dikenal oleh Hitoshi Shimizu, pegawai Sendenbu, divisi propaganda Jepang, Gunseikanbu yang saat itu menjadi penggerak Gerakan Tiga A.
Ketika Bung Karno sudah mendarat di Jakarta, ia didekati oleh Shimizu untuk memimpin PUTERA dan Bung Karno menyatakan persetujuannya. Lalu pihak Jepang bermaksud menyediakan sebuah rumah dan mobil untuk Bung Karno. Shimizu lalu meminta tolong Chaerul Basri: “Orang muda, bisakah engkau mencarikan rumah untuk orang besar ini sambil menunjuk Bung Karno di sampingnya”. Bung Karno lalu menjelaskan tipe rumah yang diinginkan, yaitu rumah yang pekarangannya luas agar bisa menerima rakyat banyak.
Mendengar permintaan itu, Chaerul Basri sore itu juga berkeliling di wilayah Menteng, dengan berboncengan dengan sahabatnya Adel Sofian. Hasil observasinya, semua rumah di sekitar Taman Suropati Menteng sudah ditempati para pembesar Jepang. Ia pun berkeliling lagi. Sampai di Jl. Pegangsaan Timur, Basri dan Adel melihat sebuah rumah yang cocok sekali dengan yang diinginkan Bung Karno.
Keesokan harinya ia sudah melaporkan penemuannya ke Hitoshi Shimizu. Agar jelas, Hitoshi meminta Basri untuk menjelaskan sendiri kepada Bung Karno, melalui telepon dengan bahasa Indonesia. Mendengar penjelasan itu, Bung Karno langsung setuju.
Lantas, hari itu juga Basri dan Adel Sofian mendatangi rumah yang masih ditempati seorang perempuan Belanda, yang suaminya baru saja ditahan tentara Jepang. Mendengar permintaan Basri, sang nyonya rumah marah besar dan menolak untuk pindah, walau dijanjikan akan dipindahkan ke rumah yang lebih besar.
Basri lantas menyarankan kepada Hitoshi agar pengosongan rumah dilakukan oleh pihak Jepang. Hitoshi setuju, dan seminggu kemudian sang nyonya bersedia pindah ke sebuah rumah bertingkat di Jalan Lembang sebagai gantinya.
Demikian sejarahnya rumah itu ditempati Bung Karno bersama keluarga kecilnya yang terdiri dari Bung Karno, Ibu Inggit, Kartika, dan Riwu Ga. Kartika adalah anak angkat mereka yang dibawa dari Ende, sedang Riwu Ga adalah pemuda yang selama dalam pembuangan bekerja apa saja untuk membantu Bung Karno.
Dokter Soeharto, yang kemudian menjadi dokter pribadi Bung Karno, dan keluarga sebelumnya sudah akrab dengan rumah itu. Ketika masih belajar di Sekolah Tinggi Kedokteran (GHS – Geneeskundige Hoogeschool ) tahun 1928 dia mendapatkan beasiswa bulanan dari Tjandi Stichting, sebuah yayasan di Gravenhage, Belanda, yang begerak untuk melakukan kampanyek agar pemerintah Belanda secara bertahap memerdekaan Indonesia.
Kebetulan perwakilan di Batavia adalah Prof. F. M. Baron van Asbeck yang menempati rumah di Jalan Pegangsaan Timur itu. Prof. Asbeck adalah Guru Besar di Sekolah Tinggi Hukum. Tiap bulan dr. Soeharto pergi ke rumah itu untuk mengambil beasiswanya. Dr. Soeharto pun kemudian akrab dengan penghuni baru, Bung Karno dan keluarganya. Bahkan, ia ikut juga ke Dalath bersama Bung Karno, Bung Hatta, dan dokter Radjiman, untuk menerima janji kemerdekaan dari Jepang.
Setelah Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta hijrah ke Yogyakarta, awal Januari 1946, “Rumah Proklamasi” dijadikan kantor Perdana Menteri Sjahrir. Disinilah, Sjahrir kerap memimpin rapat kabinetnya, serta menerima tamu.
Dibongkar Karena Kenangan Pahit?
Kisah dr. Soeharto dan Chaerul Basri diatas tidaklah cukup untuk menjawab, mengapa rumah bersejarah itu akhirnya dibongkar justru oleh Bung Karno sendiri. Meski mendapat tentangan dari berbagai kalangan saat itu, termasuk Walikota Jakarta Henk Ngantung, dr. Soeharto, dan sejumlah petinggi pemerintahan. Di lahan bekas “Rumah Proklamasi” itu kemudian dibangun Gedung Pola, dan kemudian juga Tugu Proklmasi.
Kartika (kini sudah berusia 90 tahun), anak angkat Bung Karno dan Bu Inggit dalam sebuah wawancara dengan saya, menceritakan: “Saya sudah terlelap tidur malam itu. Tiba2 kami dibangunkan . Sudah ada Bung Hatta, Kiyai Mas Mansyur, dan Ki Hadjar Dewantoro. Saya kaget ketika ditanya, mau ikut siapa, bapak atau Ibu. Maksudnya Bung Karno atau Ibu Inggit. Baru saya tahu, keduanya akan bercerai”.
Cerita Riwu Ga, juga seperti itu:
“Setelah Kartika, saya lalu dipanggil masuk. KH Mas Mansyur bertanya pada saya, “Riwu, kamu mau ikut siapa, Bapak atau Ibu?
Saya tertegun menunduk. Bibir saya berat. Bung Karno dan Ibu Inggit sama-sama menyayangi saya. Saya pun begitu, menyayangi keduanya. Tidak. Saya harus memilih salah satu, inilah pilihan yang paling sulit seumur hidup saya. Tiba-tiba muncul sebuah pikiran, entah itu dari mana, andaikan saya ikut ibu, siapa yang menjaga Bung Karno? Dia orang penting bagi bangsa ini yang perlu dijaga. Tapi saya tak mampu mengucapkannya sampai KH Mas Mansyur mengulangi pertanyaannya.
Saya mengangkat muka, memandang kiai itu lurus-lurus. Lalu, dengan berat hati saya katakan: “saya iku bapak saja.” Sungguh, saya tak berani memandang mata Ibu Inggit. Takut, ia menyangka saya lebih sayang pada Bung Karno. Tapi rupanya Ibu Ingit mengerti perasaan saya.
“Riwu,” kata Bu Inggit, “Jaga bapak baik-baik. Tapi kalau sempat, datang-datang menengok saya di Bandung ya,” pesannya. Hati saya hancur. Perempuanj sejati itu lalu berpaling kepada Bung Karno lalu berkata, “ Izinkan Riwu ke Bandung kalau dia ingin menjenguk saya. Juga kalau suatu saat saya butuh dia.”
Itulah saat terakhir kami berkumpul. Saya tak dapat menahan air mata. Tak terasa kenanganku melayang jauh. Jauh ke Ende saat-saat rumah tangga ini bahagia, jauh ke belantara Sumatra ketika bersama kami melintasi hutan yang penuh binatang buas itu, jauh ke atas perahu yang membawa kami mengarungi laut yang bergelora sampai ke Jakarta sini. Sampai ke rumah Pegangsaan ini. Kini, ternyata, semua itu saya lalui untuk menyaksikan suatu perpisahan yang menyakitkan begini”.
Dari kisah Riwu Ga dan Kartika tersebut, barangkali sedikit dapat memberi jawaban suasana hati Bung Karno, hingga akhirnya memutuskan untuk membongkar “Rumah Proklamasi”– tempat yang menyimpan kenangan pahit bagi dirinya.
Bersamaan dengan itu pula, berbagai kenangan tentang sejarah bangsa nan penting ikut terkuburkan. Kini, tugas kita sebagai anak bangsa, untuk menghidupkan lagi memori bangsa itu, hingga “Rumah Proklamasi” bisa dibangun kembali di lokasi yang asli.
Peter A. Rohi, wartawan senior