Ada kalanya, sebuah meja makan menyimpan lebih dari sekadar makanan. Ia bisa menjadi cermin budaya, saksi sejarah, bahkan simbol kekuasaan. Begitulah kira-kira gambaran tentang rijsttafel, sebuah tradisi kuliner yang lahir di masa penjajahan, namun masih dikenang hingga kini sebagai salah satu peristiwa penting dalam sejarah pertemuan dua bangsa: Indonesia dan Belanda.
Secara harfiah, rijsttafel berarti “meja nasi” dalam bahasa Belanda. Tapi jangan bayangkan meja sederhana dengan satu dua lauk. Rijsttafel adalah sebuah jamuan besar yang bisa memuat hingga puluhan hidangan khas Nusantara, disajikan dalam tatanan Eropa yang mewah. Di balik kelezatannya, ada kisah panjang tentang kekuasaan, percampuran budaya, dan tentu saja—rasa. Di rangkum dari berbagai sumber, berikut penjelasan singkat mengenai rijsttafel,
Awal Mula dari Keinginan Memamerkan Kekayaan
Tradisi rijsttafel mulai dikenal di Hindia Belanda pada akhir abad ke-19. Saat itu, Belanda ingin menunjukkan kepada para tamu asing betapa kayanya tanah jajahan mereka, termasuk dalam urusan dapur. Maka lahirlah konsep jamuan besar yang menyatukan masakan dari berbagai daerah—dari rendang khas Sumatra, opor ayam Jawa, hingga sambal dan kerupuk yang tak pernah absen di meja makan orang Indonesia.
Menariknya, meskipun masakannya lokal, cara penyajiannya sangat bergaya Eropa: rapi, berurutan, dan formal. Para pelayan berseragam menyajikan hidangan satu per satu, sementara para tamu menikmati makanan dengan sendok, garpu, dan etiket yang ketat.
Pada masanya, rijsttafel bukanlah tradisi semua orang. Ia hanya hadir di kalangan elit kolonial: di rumah-rumah pejabat, di hotel-hotel mewah, atau di acara-acara kenegaraan. Jamuan ini menjadi simbol status sosial, seolah ingin berkata: “Kami tidak hanya menguasai tanah ini, tapi juga mengatur dan menata budayanya.”
Satu sesi rijsttafel bisa menghadirkan lebih dari 40 jenis masakan. Bagi orang Belanda, ini bukan hanya soal kenyang, tapi soal keindahan dan keteraturan. Bagi kita hari ini, mungkin juga pengingat bahwa sejarah bisa hadir dalam bentuk yang lezat—namun penuh makna.
Setelah Merdeka, Rijsttafel Ditinggalkan
Usai Indonesia merdeka tahun 1945, tradisi rijsttafel perlahan menghilang dari meja makan Nusantara. Ia dianggap sebagai simbol kolonialisme yang tak lagi relevan di negeri yang baru bebas dari penjajahan. Namun di sisi lain, di tanah Eropa, khususnya Belanda, rijsttafel justru tetap hidup.
Mereka yang pernah tinggal di Indonesia, atau para keturunan Indo-Belanda, membawa kenangan rasa itu ke negara asalnya. Di sana, rijsttafel berkembang menjadi bentuk nostalgia—bukan lagi tentang kekuasaan, tapi tentang rumah yang pernah mereka tinggali, tentang aroma dapur masa kecil, dan tentang pertemuan dua dunia yang begitu berbeda.
Hari ini, rijsttafel mungkin sudah jarang kita temukan dalam bentuk aslinya. Tapi semangatnya masih ada—di hotel-hotel yang menyajikan “Indonesian tasting menu”, di acara perjamuan khusus, atau bahkan dalam cara kita menyajikan berbagai lauk dalam satu meja saat Lebaran atau hajatan keluarga.
Lebih dari itu, rijsttafel adalah pengingat bahwa makanan bisa menjadi jembatan budaya. Ia bukan sekadar daftar menu, melainkan kisah tentang perjumpaan, adaptasi, dan bahkan luka sejarah yang lambat laun disembuhkan melalui rasa.
Rijsttafel mengajarkan kita bahwa makanan tidak pernah berdiri sendiri. Ia lahir dari ruang dan waktu, dari tangan-tangan yang bekerja, dari budaya yang bertemu. Dalam setiap suapan rendang, dalam gigitan kerupuk yang renyah, ada jejak sejarah yang tidak bisa kita abaikan.
Kini, saat dunia semakin saling terhubung, rijsttafel bisa dilihat bukan sebagai simbol masa lalu yang kelam, tapi sebagai warisan budaya yang mengajarkan kita makna saling mengenal dan menghargai. Sebab dari meja makan, kita tak hanya berbagi rasa—kita juga bisa belajar memahami dunia. [UN]