Presiden Rusia Vladimir Putin

Koran Sulindo – Mengomentari pemilihan presiden di Rusia, Senator AS John McCain menyebut hasil pemilihan tersebut adalah penghinaan bagi semua orang-orang di Rusia.

Sama seperti patronnya, kritikus Rusia pro-Barat membeo bahwa kemenangan 75 persen bagi Putin membuktikan pemilu telah dicurangi. Mereka mengklaim di negara-negara yang demokrasinya ‘maju’ selisih suara tak pernah sejauh itu.

Intinya, secara keseluruhan sikap Barat dan medianya adalah tidak percaya dan curiga kecurangan telah terjadi. Barat sudah terlalu biasa berbohong dan bersikap munafik.

Semestinya Barat mulai harus bersikap ‘normal’ dengan hal-hal yang berbeda dengan mereka. Termasuk terhadap kemenangan besar yang diraih Putin. Di bagian dunia manapun, menjadi kelaziman bahwa rakyat berkerumun di sekitar pemimpinnya.

Selisih tipis perolehan suara seperti yang terjadi di Prancis atau AS justru menunjukkan gejala malaise serius dalam sistem demokrasi Barat.

Hal yang sangat menjijikkan dari reaksi para kritikus barat ini, adalah penghinaan terhadap jutaan orang Rusia yang dengan sukarela memberikan suara. Siapa yang memberi hak kepada McCain untuk mengevaluasi keinginan rakyat Rusia? Siapa yang dalam krisis? Ambil kaca dan lihatlah tengkuk sendiri!

Sistem politik dan sistem demokrasi di AS-lah yang justru mengalami krisis serius. Bahkan, banyak di antara mereka jelas-jelas memasang dan mengenakan pin ‘Bukan Presiden Saya’.

Hanya di AS, pengadilan menolak perintah eksekutif Presiden. Di sisi lain, meski secara teknis Kongres dikuasai Partai Republik mereka justru mengejar agenda Demokrat untuk memberatkan Presiden.

Belum lagi bagaimana sebuah lembaga seperti FBI diduga telah memata-matai seorang kandidat Presiden. Juga pejabat tinggi pemerintah yang enteng saja berbohong pada Kongres hanya untuk mendukung afiliasi partai mereka.

Meski jelas melanggar hukum, Hillary Clinton lolos begitu saja sementara Departemen Kehakiman menutup-nutupi penyelidikan email. Pentagon mengabaikan Presiden sekaligus bertindak sendiri di Suriah. Inikah tanda-tanda sistem demokrasi yang berfungsi dengan normal?

Tentu saja bukan, ini adalah gejala disfungsi dalam sistem politik, kemacetan dan dan ketidakberdayaan Presiden

Hal yang tidak dipahami para kritikus Barat adalah apa yang justru tak diinginkan orang-orang Rusia. Seperti yang dilakukan Navalny yang mendesak Uni Eropa agar tak mengakui pemilihan di Rusia karena ia tak diizinkan bertarung. Ini arogansi, apakah dia berpikir jika dia diizinkan akan menang?

Tidak mungkin, bahkan Navalny tak memiliki apapun untuk ditawarkan kepada orang-orang Rusia. Ia hanya memamerkan unjuk rasa, kata-kata kosong yang semuanya bahkan buruk.

Ketika orang-orang yang pro-Barat ini berkuasa di awal 1990-an, mereka jelas teman Amerika sekaligus agen pasar bebas dan menenggelamkan Rusia dalam parit berlumpur. Harga meroket sementara orang-orang kehilangan tabungan mereka. Pabrik-pabrik tutup, gaji tak terbayar, dan kelaparan serta kemiskinan menjadi pemandangan sehari-hari.

Belum lagi sekelompok oligarki mengambil untuk diri mereka sendiri apapun yang berpuluh-puluh tahun telah dibangun Soviet. Lalu, entah dari mana datangnya tiba-tiba muncul perusahaan-perusahaan besar dengan partisipasi Barat mulai mengangkangi sumber daya alam Rusia.

Puluhan miliar aset yang dicuri dan dipindahkan ke luar negeri melalui berbagai skema. Sementara pengusaha-pengusaha ‘Barat’ di Rusia benar-benar 100 persen membuktikan diri mereka sebagai antek-antek perusahaan Barat.

Di daerah-daerah, kekuasaan direbut bos mafia dan geng-geng kriminal yang menteror musuh dan membunuh wartawan sekaligus mengubah taman kanak-kanak menjadi rumah pribadi. Mereka menciptakan tentara swasta sekaligus mengabaikan polisi setempat. Di beberapa tempat mereka bahkan mengubah polisi menjadi segerombolan penjahat berseragam. Rusia pada tahun 90-an benar-benar jatuh dalam kekacauan.

Di bidang politik, bahkan seorang presiden memerintahkan penyerbuan gedung parlemen dengan tank yang memicu tewasnya ratusan orang. Di saat yang sama, konstitusi diubah tanpa prosedur yang benar sementara Mahkamah Konstitusi diabaikan dan dibubarkan.

Ketika pemilihan presiden tahun 1996 digelar, Rusia memilih kembali seorang pemabuk untuk menjadi presiden, Boris Yeltsin. Dan untuk menambah penghinaan nasional, orang-orang Rusia terpaksa harus menonton presiden mereka yang menari sebagai konduktor sebuah orkhestra saat melepas kontingen terakhir Tentara Merah di Jerman.

Di atas itu semua, Yeltsin memulai perang di Chechnya yang berujung bencana.

Tapi apa yang dilakukan Barat? Mereka bertepuk tangan dan menerima Yeltsin dengan hangat di Gedung Putih sembari menyemangati sebagai pemimpin sejati demokrasi di Rusia. Apakah Barat buta dan menolak melihat apa yang terjadi di Rusia? Jelas  jauh di lubuk hati mereka memang menyukai jika Rusia merusak dirinya sendiri.

Sebagai bangsa, kala itu Rusia nyaris menghilang karena masa depan dan kelangsungan hidupnya diragukan. Demografi terus menurun karena tingkat kelahiran stabil sementara kematian meningkat dan mengalirnya arus orang serta modal ke barat.

Dalam situasi itulah muncul Vladimir Putin.

Tentu saja semua tak dilakukannya sendiri. Pemecatan Yeltsin hanya bisa tuntas setelah negoisasi sulit dan alot yang melibatkan kekuatan politik besar di belakang layar. Namun setidaknya, Rusia mulai menjalankan pemerintah baru di bawah kepemimpinan Putin.

Berbeda dengan Yeltsin yang berniat mengubah Rusia dalam seketika, Putin memilih perubahan perlahan selangkah demi selangkah, tanpa gerakan cepat yang kasar. Rusia sebagai negara, pelan tapi pasti mulai memenuhi fungsinya untuk memulihkan hukum dan ketertiban, membersihkan polisi, tentara dan birokrasi.

Kekuatan oligarki ditantang sementara beberapa yang paling buruk melarikan diri dari Rusia atau menerima ‘aturan baru’ jika tidak pilihannya adalah penjara. Bos-bos mafia dibabat, gaji pegawai mulai dibayarkan sementara undang-undang itu mulai dianggap serius untuk pertama kalinya sejak revolusi Bolshevik.(TGU)