Koran Sulindo – Lewat perjuangan yang sangat gigih dan heroik, termasuk di meja-meja perundingan, akhirnya kedaulatan Indonesia sebagai negara merdeka diakui Pemerintah Kerajaan Belanda pada 27 Desember 1949, meski bentuk negaranya ketika itu adalah Republik Indonesia Serikat (RIS). Sehari setelah pengakuan kedaulatan tersebut, 28 Desember 1949, Presiden Soekarno beserta keluarga dan rombongan tiba di Jakarta dari Yogyakarta, dengan menggunakan pesawat Dakota milik Garuda Indonesia Airways, yang mendarat di Lapangan Udara Kemayoran pukul 11.40. Dengan demikian, secara otomatis, pusat pemerintahan berpindah juga dari Yogyakarta ke Jakarta. Dicantumkan pula dalam Pasal 68 Konstitusi RIS, pemerintah RIS berkedudukan di ibu kota Jakarta, kecuali jika dalam hal darurat pemerintah menentukan tempat yang lain.

Pada Hari Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1950, setelah melalui perundingan antara para pemimpin dari pemerintah RIS dan Republik Indonesia, Indonesia kembali menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Konstitusi yang digunakan adalah Undang-Undang Dasar Sementara 1950, yang pada 46-nya juga menyebutkan “pemerintah berkedudukan di Jakarta, kecuali jika dalam hal darurat pemerintah menentukan tempat yang lain.”

Pada 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan dekret, yang isinya antara lain kembali ke Undang-Undang Dasar 1945. Dalam konstitusi itu memang tidak disebutkan kedudukan ibu kota negara. Baru pada tahun 1961, melalui Penetapan Presiden Nomor 2, Jakarta mendapat status Daerah Khusus Ibukota, yang kemudian diperkuat dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1964. [PUR]