Koran Sulindo – Poenale Sanctie merupakan salah satu kebijakan hukum kontroversial yang diterapkan pemerintah kolonial Belanda pada akhir abad ke-19. Kebijakan ini diberlakukan pada tahun 1880, terutama di perkebunan pertanian dan industri di Sumatera Timur.
Poenale Sanctie adalah sebuah peraturan yang memuat ancaman hukuman terhadap para buruh atau kuli yang melanggar atau tidak menepati kontrak kerja mereka. Tujuannya adalah untuk melindungi kepentingan perusahaan asing yang menjalankan perkebunan, agar para buruh tidak melarikan diri sebelum masa kontraknya berakhir.
Dengan diberlakukannya Poenale Sanctie, pemerintah kolonial berusaha menundukkan para buruh secara sosial dan menjaga agar mereka tidak menjadi ancaman politik bagi para pemilik modal di perkebunan.
Kebijakan ini lahir di tengah situasi politik liberal yang diterapkan di Indonesia, menggantikan sistem tanam paksa (cultuurstelsel) yang sebelumnya dijalankan. Sistem liberal tersebut membuka peluang bagi perusahaan swasta asing untuk membangun perkebunan di Indonesia, termasuk perkebunan tembakau di Deli, Sumatera Timur.
Untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja di perkebunan-perkebunan tersebut, pemerintah kolonial mendatangkan buruh yang disebut kuli, yang dipekerjakan di bawah sistem kerja kontrak.
Setelah perbudakan resmi dihapus, sistem kerja kontrak dianggap sebagai solusi terbaik bagi perkebunan agar dapat menahan tenaga kerjanya selama beberapa tahun.
Pada tahun 1880, pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan Koelie Ordonnantie atau Undang-Undang Kuli, yang mengatur hubungan kerja kuli kontrak di Sumatera Timur. Di dalam Koelie Ordonnantie inilah Poenale Sanctie dimuat, memberikan landasan hukum untuk menjatuhkan sanksi kepada para kuli yang melanggar kontrak.
Pelaksanaan Poenale Sanctie
Dalam pelaksanaannya, Poenale Sanctie memberi kewenangan kepada majikan untuk menangkap kuli yang melarikan diri dengan menggunakan kekerasan jika diperlukan.
Hal ini menjamin para majikan agar buruh tidak kabur sebelum masa kontrak selesai. Sementara itu, ada pula peraturan yang bertujuan melindungi pekerja dari tindakan sewenang-wenang majikan, meskipun dalam praktiknya perlindungan ini hanya sebatas ancaman di atas kertas. Hukuman terhadap majikan yang melanggar hak kuli hampir tidak pernah dijalankan.
Sebagian besar buruh tidak memahami isi kontrak yang mereka tanda tangani karena kebanyakan dari mereka buta huruf. Mereka hanya membubuhkan cap jari sebagai tanda persetujuan, tanpa mengetahui hak dan kewajiban mereka secara rinci.
Jika seorang kuli melanggar kontrak, hukuman berat siap menanti. Hukuman tersebut bisa berupa denda, cambukan, atau kurungan, yang sering kali dijatuhkan tanpa melalui proses peradilan.
Yang lebih menyedihkan, setelah menjalani hukuman, para kuli harus kembali bekerja di perkebunan dengan kondisi yang lebih buruk, upah rendah, serta kebutuhan makan dan kesehatan yang tidak terjamin.
Pencabutan Poenale Sanctie
Kekejaman yang diakibatkan oleh Poenale Sanctie mengundang protes dari berbagai pihak, termasuk tokoh-tokoh pergerakan di Indonesia dan beberapa orang Belanda.
Meskipun Koelie Ordonnantie dihapus pada tahun 1905, praktik Poenale Sanctie masih terus berlanjut karena kebiasaan menghukum para kuli sudah mengakar kuat dalam sistem kerja perkebunan.
Upaya untuk mencabut Poenale Sanctie mulai mendapat perhatian serius pada tahun 1925 ketika Perkumpulan Budi Utomo menyelenggarakan kongres di Surakarta.
Salah satu agenda yang dibahas dalam kongres tersebut adalah tuntutan untuk menghapus Poenale Sanctie. Gerakan ini terus diperjuangkan, termasuk oleh tokoh penting seperti Thamrin, yang mengangkat isu ini dalam sidang Volksraad.
Akhirnya, setelah bertahun-tahun diperjuangkan, Poenale Sanctie resmi dicabut pada tahun 1930, mengakhiri era panjang penindasan terhadap para kuli kontrak di perkebunan kolonial Sumatera Timur.
Poenale Sanctie mencerminkan salah satu bentuk ketidakadilan dalam sistem kerja kolonial di Indonesia. Meskipun Poenale Sanctie awalnya dimaksudkan untuk menjaga kepentingan perusahaan asing, kebijakan ini memperlihatkan betapa para kuli menjadi korban dari eksploitasi dan perlakuan sewenang-wenang.
Pencabutannya pada tahun 1930 menandai kemenangan kecil dalam perjuangan buruh di Indonesia, meskipun dampaknya terhadap kehidupan mereka telah berlangsung lama. [UN]