Sejarah dunia penuh dengan kisah peperangan besar yang mengubah arah peradaban manusia. Dari Perang Dunia yang mengguncang seluruh benua, hingga konflik regional yang berkepanjangan dan meninggalkan luka mendalam bagi jutaan jiwa. Dalam narasi umum, perang kerap dikaitkan dengan durasi panjang, strategi militer yang rumit, serta penderitaan berkepanjangan yang membayangi generasi berikutnya.
Namun, tidak semua perang mengikuti pola tersebut. Di antara deretan panjang pertempuran yang mendominasi buku-buku sejarah, ada satu peristiwa yang sangat berbeda, begitu singkat, begitu cepat, dan nyaris tak terbayangkan. Ia terjadi dalam waktu kurang dari satu jam, namun cukup kuat untuk tercatat secara resmi sebagai perang paling singkat dalam sejarah umat manusia.
Perang ini bukan hanya soal tembakan dan taktik, melainkan juga potret tajam dari dinamika kolonialisme, persaingan kekuatan imperial, dan perebutan pengaruh di wilayah strategis yang terlupakan. Dalam tempo yang bahkan lebih singkat daripada sebuah pertandingan sepak bola, konflik antara Kekaisaran Inggris dan Kesultanan Zanzibar di tahun 1896 memperlihatkan bagaimana kekuasaan global dapat digerakkan dengan kecepatan dan ketegasan yang brutal.
Apa yang membuat perang ini begitu singkat? Mengapa Zanzibar, yang tampak jauh dari hiruk-pikuk kekuatan besar dunia, tiba-tiba menjadi medan konflik terbuka? Dan bagaimana benturan selama hanya 38 menit ini mampu menggambarkan seluruh wajah politik kolonial di Afrika pada akhir abad ke-19?
Melalui artikel ini, kita akan menelusuri kembali peristiwa yang seolah hanya sekelebat dalam waktu, namun penuh makna dalam konteks sejarah global. Inilah kisah Perang Inggris-Zanzibar, konflik mini yang menyimpan pesan besar.
Pada tahun 1896, dunia menyaksikan sebuah konflik yang begitu singkat hingga lebih mirip dengan sebuah insiden militer kilat: Perang Inggris-Zanzibar, yang tercatat sebagai perang terpendek dalam sejarah dunia, berlangsung hanya sekitar 38 menit.
Zanzibar, sebuah kepulauan di lepas pantai timur Afrika (kini bagian dari Tanzania), memiliki nilai strategis yang tinggi. Terletak di jalur pelayaran utama Samudra Hindia, wilayah ini menjadi titik krusial dalam jaringan perdagangan antara India Britania dan Eropa. Lebih dari itu, Zanzibar juga merupakan pusat perdagangan budak Afrika Timur, sesuatu yang coba diberantas oleh Inggris dengan dalih kemanusiaan yang sekaligus membungkus ambisi imperialisme mereka.
Melansir laman History Extra, pada tahun 1890, Inggris telah menetapkan Zanzibar sebagai protektorat. Kekuasaan formal tetap berada di tangan sultan, namun kendali sesungguhnya berada di bawah kekuasaan Inggris. Kepentingan ini menjadi semakin penting di tengah rivalitas kolonial dengan kekaisaran Jerman yang juga memiliki pengaruh di kawasan tersebut.
Pemicu
Ketegangan memuncak ketika Sultan Hamad bin Thuwaini—penguasa pro-Inggris—meninggal dunia secara mendadak pada Agustus 1896. Banyak pihak meyakini bahwa ia diracuni oleh sepupunya, Khalid ibn Barghash, yang dengan cepat menyatakan dirinya sebagai sultan baru, tanpa persetujuan Inggris.
Langkah Khalid dianggap sebagai ancaman serius. Bukan hanya karena ia merebut kekuasaan tanpa izin, tetapi juga karena kedekatannya dengan Jerman, yang dapat menggoyahkan dominasi Inggris di wilayah tersebut.
Sebagai respons, Inggris menolak mengakui pemerintahan Khalid dan mengajukan ultimatum: Khalid harus turun takhta paling lambat pukul 09.00 pagi pada 27 Agustus 1896, atau akan menghadapi aksi militer. Khalid menolak. Ia justru mempersenjatai istananya, mengumpulkan sekitar 2.800 pendukung bersenjata lengkap dengan artileri dan senapan mesin, serta menyiapkan kapal pesiar kerajaan sebagai satu-satunya kekuatan lautnya.
Inggris pun bersiap. Tiga kapal perang mereka berlabuh di lepas pantai, siap melancarkan serangan. Ketika waktu ultimatum habis, tepat pukul 09.02, tembakan pertama dilepaskan.
Serangan dari kapal perang Inggris menghantam istana Khalid secara telak. Dalam hitungan menit, bangunan hancur, kapal kerajaan tenggelam, dan barisan pertahanan Khalid tercerai-berai. Pasukan Inggris kemudian mendarat dan bergerak menuju reruntuhan tanpa perlawanan berarti.
Dalam waktu hanya 38 menit, kekuasaan Khalid berakhir. Ia melarikan diri ke konsulat Jerman untuk mencari suaka dan kemudian hidup dalam pengasingan. Inggris mengalami satu korban jiwa, sementara korban di pihak Zanzibar mencapai ratusan, sebagian besar akibat pemboman.
Setelah Perang
Dengan cepat, Inggris menunjuk Hamoud bin Mohammed—sultan pilihan mereka—untuk menggantikan Khalid. Hamoud menjalankan pemerintahan sesuai kepentingan Inggris, menjadikan Zanzibar tetap berada dalam cengkeraman kekuasaan kolonial hingga protektorat tersebut resmi berakhir pada tahun 1963.
Meskipun berlangsung sangat singkat, Perang Inggris-Zanzibar adalah cerminan brutal dari dominasi militer dan politik kekuatan Eropa di Afrika pada akhir abad ke-19. Konflik ini memperlihatkan betapa ketimpangan kekuatan begitu besar antara imperium kolonial dan penguasa lokal, dan menjadi simbol nyata dari apa yang disebut sebagai “Perebutan Afrika”—periode pembagian benua oleh kekuatan Eropa.
Perang Inggris-Zanzibar mungkin bukan perang terbesar atau paling berdarah dalam sejarah, namun dengan durasi hanya 38 menit, konflik ini tetap abadi dalam catatan sejarah sebagai perang terpendek yang pernah ada. Di balik singkatnya waktu, tersimpan narasi besar tentang imperialisme, perebutan kekuasaan, dan transformasi geopolitik yang membentuk wajah Afrika Timur modern. [UN]